Aku masih mengingat kejadian sebulan yang lalu, saat di mana aku terlihat bahagia ketika bertemu dengan Rama. Seorang pria tampan yang berprofesi sebagai perawat magang di ruangan, satu-satunya perawat berjenis kelamin pria dan di temani dengan kelima teman wanita. Rama merupakan pria yang ramah dan memiliki sikap sopan, semua orang sangat menyayanginya termasuk perawat senior dan pasien-pasien yang dia tangani.
Aku berjalan gontai menuju tempat tidur, aku sebelumnya aku sempat mendatakan diri lewat buku absen, aku mencoret kertas yang masih bersih dan polos itu dengan tinta pena, menulis namaku di sana sebagai tanda bahwa hari ini aku akan menjalani transfusi darah. Setelah selesai aku meletakkan kotak berwarna merah yang berisikan kantong darah yang bergolongan A+ dan melangkah menuju brankar yang berada di pojok kiri sebelum melewati toilet ruangan dan duduk di sisinya.
"Ah, aku lelah sekali. Sungguh hari yang sangat menyebalkan!" keluhku kepada diriku sendiri. Aku menyenderkan tubuhku di sisi brankar, dan menghela napas penat, tanpaku kulihat ada sepasang mata yang sedang memperhatikan gerak-gerikku kala itu.
Tiba-tiba kudengar salah satu teman wanitanya sedang membuatnya kaget bukan kepalang, refleks Rama menoleh ke arah Lana–sahabatnya dengan cepat. Gadis itu benar-benar membuatnya kaget hingga berteriak tanpa rasa malu menyimpan rasa malu sedikitpun. Aku hanya acuh dan tak memperhatikan gerak-gerik mereka, aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri tanpa mau tahu urusan mereka. Namun perbincangan mereka tetap saja masuk ke teilnganku dan mencerna dalam otakku, hingga aku tahu apa yang sedang mereka katakan.
"Cie, lagi memperhatikan siapa hayo?" ledek Lana sahabatnya, "Jangan melamun terus dong, ntar kalau kaget teriak-teriak kayak tadi." ucap Lana yang terus saja menggoda teman-temannya itu. Rama hanya tersipu malu saat menatap ke arahku, pria itu salah tingkah. Aku hanya berani menatapnya melalui sudut mataku.
Aku tidak punya keberanian untuk mendekatinya. Meskipun hatiku sangat ingin menyapanya dan mendekatinya. Aku berharap kami bisa berkomunikasi dalam waktu yang di tentukan, karena aku hanya memiliki waktu dua hari lagi untuk bisa mendekati pria itu.
Aku beranjak dari sisi brankar menuju meja perawat, aku ingin memberitahukan bahwa darahku sudah sampai dan aku sudah siap menjalani transfusi darah, kemudian perawat senior menyuruhku untuk segera berbaring ke atas brankar untuk di pasang infus, agar transfusi darah bisa cepat di lakukan.
Rama membantu perawat senior untuk pemasangan infus, aku sedikit ragu dengannya, karena aku berpikir jika Rama belum terlalu ahli dalam memasang infus, jantungku berdegup kencang saat kulihat Rama tersenyum menatapku, dan mengatakan bahwa aku tidak perlu meragukan kemampuannya. Apakah Rama bisa membaca pikiranku? Batinku bertanya. Aku semakin ragu untuk menatapnya, karena hatiku terlanjut meleleh oleh pesonanya, dia begitu tampan. Belum lagi ketika melihat bola matanya yang berwarna cokelat bagaimana seorang bule yang sedang berpetualangan di Indonesia.
Aku menoleh dan membuang pandanganku ke arah lain, aku takut jika dia memang benar-benar bisa membaca pikiranku, apalagi aku benar-benar salah tingkah ketika melihat wajah Rama yang tampan bagaikan seorang pangeran.
"Kenapa, Fitri?" tanya Rama.
"Aku tidak apa-apa, Kak. Kakak tenang saja." sahutku yang berusaha mengendalikan perasaanku. Dia benar-benar tidak tahu jika aku salah tingkah saat menatapnya.
"Semangat ya, Fitri. Kamu tenang saja, kami akan melakukan yang terbaik. Semangat ya! Kamu pasti kuat." pria itu memberikan semangat kepadaku, membuat aku semakin kagum dan terpesona dengannya. Sungguh membuatku tak berdaya dan tak henti mengaguminya.
"Oh, Rama. Bagaimana bisa aku tenang jika caramu menatapku seperti itu." Aku bermonolog.
"Sungguh tatapan yang sangat lembut yang pernah aku terima dari seorang pria, dia benar-benar meluluhkan hatiku."
Aku masih bermain dengan pemikiranku sendiri, rasanya ingin sekali untuk berucap kagum padanya. Namun, aku tak mungkin melakukan hal segila itu, akhirnya pemasangan infus sukses. Rama membantuku untuk membawakan cairan infus yang masih menggantung di tiang infus yang berada di samping brankar.
"Kak!" panggilku dengan suara lembut.
"Ada apa, Fitri? Apakah ada yang bisa kubantu?" tanya Rama.
"Iya, bantu Fitri membawakan tiang infus ini." titahku seraya menunjuk ke arah tempat tidur yang berada di barisan nomor tiga setelah tempat tidur yang paling pojok.
Di sana Lana sudah menungguku, dan ingin menginterogasiku karena ingin bertanya beberapa hal mengenai thalasemia. Ya, seperti biasa, setiap perawat magang pasti akan menginterogasi pasien sesuai arahan perawat senior. Mereka di minta mengumpulkan setiap data-data pasien yang baru masuk dan melakukan transfusi darah.
"Dengan senang hati, Fitri." sahutnya yang menyunggingkan senyuman manisnya kepadaku. Pria itu terlihat sangat manis dengan senyumannya itu, di tambah lagi dengan perilakunya yang sopan. Pada zaman sekarang, sangat sukar ditemukan pria sopan seperti dia, rasanya sungguh bahagia bisa berkenalan dengan pria yang sopan seperti dia.
Rama mengikuti langkahku yang lebih dulu melangkah di depannya, aku memegang selang infus yang kini melekat di tanganku, meskipun begitu aku melangkah lebih cepat dari Rama sehingga membuat Rama bergidik ngeri melihat kebranianku.
"Jangan cepat-cepat jalannya, Fit. Apa kamu tidak takut dengan selang yang menempel di tanganku? Aku saja takut melihatnya." Tanya Rama penasaran.
"Jangan khawatir, Kak. Sama sekali tidak sakit kok, karena Fitri sudah terbiasa sejak kecil, jadi udah kenal dengan jarum suntik." ucapku yang berusia meyakinkan Rama.
"Wah, kamu memang hebat ya, Fitri. Semangat terus ya, jangan menyerah."
Rama tersenyum dan memberikan semangat kepadaku, akhirnya aku pun tiba di brankar yang kutuju, dan Rama mulai menggantungkan cairan infus di tiang yang berada di samping brankar. Begitu memastikan aku sudah duduk di atas brankar Rama pun meninggalkanku bersama Lana. Gadis berusia setahun lebih tua dariku itu mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku, baik pertanyaan formal maupun non–formal.
"Selamat pagi, Fitri." ucap Lana, seraya menyodorkan tangannya ingin berjabat tangan denganku, "Perkenalkan namaku, Lana. Bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, karena ini adalah bagian dari laporan yang akan Lana buat, Fitri." sambung Lana.
"Selamat pagi kembali, Lana. Boleh, dengan senang hati aku akan menjawab pertanyaan darimu. Boleh di mulai pertanyaannya." ucapku yang membalas jabat tangan darinya hingga tangan kami berjabat dengan erat. Dari sinilah kami mulai dekat dan terlihat akrab.
"Oke, kalau gitu Lana mulai pertanyaannya ya." ucap Lana yang menatap ke arah buku yang sedang berada di atas brankar, lalu memulai beberapa pertanyaan dan tak lupa mencatat setiap jawabanku. Hingga akhirnya Lana selesai mengajukan tugasnya, dan menjadi lebih mengerti mengenai dunia thalasemia. Ya, gadis itu memang benar-benar melakukan tugasnya dengan baik. Begitu sudah selesai melakukan tugasnya, gadis itu mulai mempertanyakan informasi pribadiku. Setelah sekian lama saling beradu percakapan, akhirnya kami saling mengenal satu sama lain. Ternyata gadis itu tinggal satu desa denganku.
Aku sangat beruntung bisa mengenal seseorang seperti Lana, dia merupakan gadis yang ramah dan sopan, tak salah jika aku nyaman saat bersamanya. Gadis itu meminta akun Instagramku dan kami mulai mengikuti akun masing-masing, dengan cara inilah kami akan saling terhubung dan mengetahui kabar jika suatu saat nanti perpisahan itu telah tiba.