Chereads / TENTANG AKU DAN MEREKA / Chapter 3 - Terpilih Menjadi Host

Chapter 3 - Terpilih Menjadi Host

Aku datang lebih awal di rumah sakit, meskipun aku tahu acara di mulai setelah pukul empat sore. Namun, aku memutuskan untuk ke rumah sakit lebih dulu dengan alasan ingin menenangkan pikiran. Aku tak sendirian ada seorang gadis kecil yang kubawa menemaniku. Namanya adalah Zulfa Aini, gadis berusaha delapan tahun yang berparas cantik bagaikan boneka. Matanya yang sipit membuatku ingin sekali mencubitnya. Aku berjalan bersamanya menyusuri lorong-lorong kecil, menempuh jalan pintas agar segera sampai ke rumah sakit. Aku menghabiskan waktuku selama tiga jam di gedung rumah sakit, aku mengajak gadis kecil itu mengelilingi seisi rumah sakit, meksipun masih di lantai satu. Setelah lelah kami memutuskan untuk beristirahat di ruangan santai.

Aku meraih ranselku dan mengambil ponselku di sana. Rasanya saat ini tenggorokan ku kering sekali, begitu juga dengan gadis kecil yang berada di sampingku. Dia merasakan hal yang sama denganku, bagaimana tidak? Aku menghabiskan waktuku untuk melawan teriknya matahari, hari baru menunjukkan pukul setengah tiga. Aku dan Zulfa memutuskan untuk datang lebih dulu ke ruang thalasemia.

Aku melihat hanya ada satu perawatan di sana, yang masih setia menata hidangan dengan rapi di atas meja. Mungkin teman-teman dan orang tua masih dalam perjalanan menuju ruang THALASEMIA CENTER. Aku dan Zulfa segera membantu perawat untuk menata makanan yang terhidang rapi di meja, kami menuju ke meja panjang yang masih kosong dan meletakkan beberapa minuman sehat di sana.

Setelah menyelesaikan semuanya, aku dan Zulfa membaringkan diri ke ruangan belakang. Di mana semua brankar di pindahkan ke sana. Rasanya tenggorokan ku semakin kering saja. Zulfa menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 04:30. Kami menuju waktu berbuka dengan bermain game hay day.

Detik demi detik terus berganti menjadi menit. Akhirnya semua para tamu sudah tiba di ruangan yang sama. Suasana sepi seketika menghilang dan menjadi ramai. Suara hiruk pikuk sang kanak-kanak tampak memekakkan telingaku, padahal sebelumnya suasana terasa sangat hening dan sepi. AkuAku terus merebahkan diriku sampai aku mendengar kehadiran teman-temanku di sini. Begitu juga dengan gadis kecil ini, dia ingin terus bersamaku sampai nanti aku bertemu dengan Elisya dan temanku yang lainnya.

"Hm, kakak!" panggil gadis kecil itu.

"Iya, ada apa?"

Aku kembali melontarkan pertanyaan kepadanya, sementara dia hanya tersenyum seperti ada yang dia sembunyikan kala itu. Aku sangat mengetahui sikapnya, dia sering malu untuk mengungkapkan pernyataannya. Meskipun dia gadis yang sangat cerewet, tapi dia memiliki sikap yang sopan. Dia menatapku dengan senyuman yang menampakkan gigi kelincinya.

"Kapan teman kakak akan datang? Jika dia sudah datang, jangan lupa bilang Zulfa ya, Kak. Nanti Zulfa takut ganggu kakak." ucapnya cengegesan.

"Baiklah, lagi pula kalau Zulfa mau gabung sama mereka gak apa-apa kok, bukankah Zulfa juga bagian dari keluarga thalasemia?" sahutku tersenyum.

"Tetap saja Zulfa tidak sopan kalau begitu." sahutnya lagi.

Beberapa menit kemudian akhirnya Eliysa dan Rissa datang menumuiku di ruang belakang. Tampaknya mereka sangat bahagia sekali, karena bisa menyempatkan waktu untuk datang ke acara buka bersama di ruangan. Aku langsung duduk dan merasa bersemangat menyambut kedatangan mereka.

Kami pun berbincang sebentar, entah apa yang kami bicarakan saat itu. Sebuah perbincangan yang tidak begitu penting tapi mampu membuat kami lupa waktu.

Akhirnya waktu berbuka pun tiba, aku dan Elisya masih sibuk menata minuman untuk anak-anak. Setelah menyelesaikan tugas, kamu kembali duduk ke tempat yang sebelumnya sudah kami pilih, karena di sana terasa lebih sejuk dan nyaman.

Tiba-tiba salah satu perawat menghampiriku dan menyuruhku untuk menjadi host.

Seketika tubuhku menjadi lemah dan tak mampu berkata apa-apa. Elisya menepuk pundakku dengan pelan dan memberikan semangat kepadaku. Bagaimana tidak,

aku harus memberikan sebuah kata sambutan untuk para perawat dan dokter yang

duduk di depan.

"Semangat ya, Fitri. Aku yakin kamu pasti bisa." gumam Elisya yang berusaha menenangkanku. Aku berusaha mengumbar senyumanku padanya.

"Baiklah, Elisya. Terima kasih ya." sahutku.

"Ayo, Fitri! Kamu pasti bisa!" sambung Dayani dan Rissa.

Aku melangkah gontai mengikuti langkah perawatku. Akhirnya aku benar-benar harus siap berada di depan banyak orang. Aku menarik nafas panjang dan siap bermain dengan kata-kata, seperti sebelumya yang pernah aku lakukan pada hari ulang tahun temanku. Akhirnya dengan keberanianku. Aku berhasil memandu acara dengan baik dan benar.

Sebagai penutupan perawatku menerima ucapan terima kasih kepadaku karena sudah menuruti permintaannya. Akhirnya adzan magrib berkumandang, kami segera membatalkan puasa dengan meminum air putih terlebih dahulu, dan mengawalinya dengan makanan manis. Kecuali aku dan Elisya, karena kamu tidak menyukai makanan manis.

Setelah mencicipi hidangan kami melangkah menuju tempat wudhu dan menunaikan sholat magrib, aku dan Elisya memilih ruang belakang agar lebih nyaman jika sholat berusaha saja, karena tempat yang lain sudah di penuhi oleh kaum bapak-bapak.

Sementara kaum ibu-ibu memenuhi ruangan samping. Setelah menunaikan sholat magrib, aku dan Elisya kembali melanjutkan mencicipi hidangan lain. Aku memilih ikan gurame bakar sebagai hidangan penutup yang sempurna.

"Fitri, jangan lupakan kuemu yang tadi." gumam Elisya yang menyodorkan kue cokelat untukku, karena Elisya tahu jika aku sangat menyukai cokelat.

"Wah, terima kasih Eliysa. Kalau begitu kita makan di belakang saja ya, di sana lebih tenang kelihatannya, kita bisa lebih nyaman untuk ngobrol." ajakku.

"Boleh, sebentar ya. Aku mau ambil lauknya dulu." sahut Elisya.

Aku dan Elisya melangkah menuju ruang belakang dengan alasan ruang tersebut lebih tenang dan nyaman. Belum lagi AC di ruang belakang jauh lebih kencang di bandingkan ruang depan. Di sini kami menghabiskan banyak waktu untuk bercerita, hingga akhirnya

hari sudah larut malam yang semuanya segera pulang ke rumahnya masing-masing.

Elisya pulang lebih dulu, karena rumahnya sangat jauh. Sedangkan jarak rumah singgah tak jauh dari lokasi rumah sakit. Elisya melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan, karena besok aku akan kembali ke kampung halamanku. Aku pun membalas senyumannya itu. Setelah memastikan Elisya pulang, gadis kecil itu kembali menghampiriku.

"Kakak, apakah kak Elisya sudah pulang?" tanya gadis kecil itu dengan wajah polosnya.

"Sudah, kamu dari mana saja? Sudah selesai makan belum?" tanyakan.

"Sudah, Kak. Oh iya, kata umi kita harus menunggu di depan, Kak. Sebentar lagi taksi online yang umi pesan akan datang menjemput." tukasnya.

"Baiklah." sahutku mengangguk.

Aku mengajak gadis itu menghampiri halaman depan. Sesuai dengan pernyataannya, di sana anak-anak sudah ramai menunggu bersama orang tuanya. Gadis ini sungguh polos dan amanah. Setelah kami sampai di halaman depan, akhirnya taksi yang sudah kami pesan telah tiba juga.

Aku menuntun gadis itu untuk lekas masuk ke dalam mobil, karena sebentar lagi hujan akan turun deras mengguyur bumi. Langit tak berbintang malam itu menambah pekatnya kegelapan. "Inikah gelap, di atas kegelapan?" batinku bertanya, aku menatap ke luar jendela. Tampak hitam tak menimbulkan sedikit cahaya pun di sekitar mobil. Aku menyalakan flash ponselku dan membantu anak-anak kecil yang kerepotan menaiki mobil. Setelah memastikan semuanya naik, aku menyuruh pak sopir untuk segera menyalakan kendaraan dan berjalan menuju rumah singgah. Meskipun jaraknya tak jauh dari rumah sakit. Akan tetapi, lumayan letih jika harus berjalan kaki untuk menuju ke sana.

"Hm, kakak masih kangen ya sama kak Elisya?" tanya gadis kecil yang sedang menatapku dengan tatapan teduhnya. Aku tersenyum saat merespon pertanyaan darinya, aku merangkul gadis itu dan memeluknya dengan erat saat mulai menjawab pernyataannya.

"Hm, kok kamu tahu sih?" tanyaku.

Aku menatap kagum kepada gadis itu, mengapa dia bisa mengetahui perasaanku? Ya, apa yang gadis itu katakan memang benar adanya, aku masih merindukan keberadaan sahabatku itu. Rasanya enggan untuk berpisah dengannya. Namun, aku berpikir persahabatan itu tidak akan pernah putus ketika saling memberi kabar meskipun di via WhatsApp. Di sepanjang perjalanan lamunanku tak henti akan tentangnya.