Aku tersentak dari lamunanku, tanpa sadar mobil sudah berhenti di depan rumah singgah. Sebagian anak-anak kecil membantu untuk membuka pagar rumah, dan para remaja membantu untuk mengangkat barang berat yang di bawa mengisi makanan tadi, sementara aku hanya membantu temanku untuk membawakan makanan yang tersisa tadi. Setelah pintu terbuka aku pun bergegas masuk untuk mengambil handuk lalu melangkah menuju kamar mandi. Rasanya sangat gerah sekali, meskipun cuaca terlihat mendung.
Saat usai mandi, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku menyisir pandanganku di sekeliling rumah singgah, betapa risihnya saat aku memandang rombongan anak kecil yang bermain di iringi suara haruk pikuk dari rombongan para remaja pula. Ya, untuk rumah yang berukuran sedang ini tentu saja rasanya masih sempit. Namun, kamu tetap bersyukur karena adanya rumah singgah. Tempat kami berteduh setelah lelah berjalan pulang dari rumah sakit, tempat bersenda gurau dengan teman-teman sesama sakit.
Terlalu banyak kenangan di rumah ini, sehingga sukar untuk dilupakan. Kenangan itu pasti akan selalu membekas di hatiku. Meskipun, aku masih memiliki saudara di sini. Akan tetapi, rumah singgah menjadi tempat terindah untukku, apalagi ketika kudapatkan cinta kasih dari teman-temanku. Kami saling berbagi dan bertukar pendapat, kamu sering menghabiskan waktu bersama, bermain, berlari dan menonton film bersama. Semuanya telah kami lalui di sini, karena hal ini kami dapat melupakan sejenak soal thalasemia.
Penyakit yang serius bahkan bisa mematikan jika tidak di tangani, terkadang kami berpikir. Sampai kapankah harus seperti ini? Sedangkan kami tahu, bahwa thalasemia merupakan penyakit seumur hidup. Dengan adanya pernyataan seperti ini, kami harus bisa kuat dan terus bersemangat. Kami selalu belajar untuk berpikir posistif, dan berusaha tegar dengan cobaan hidup kami. Prinsip itulah yang selalu kami tanamkan di hati, jika tidak seperti itu tentunya kami akan sering mengalami stress bahkan mengalami depresi.
Seperti apa yang pernah aku alami saat ini. Entah mengapa aku sering menangis tanpa sebab, aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi padaku beberapa bulan ini. Saat usiaku genap 22 tahun. Aku hanya menghabiskan waktuku untuk menyendiri dan menangis tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena aku sudah lelah dengan semua masalah yang datang secara bertubi-tubi. Terkadang aku berpikir, mengapa Tuhan tidak cabut saja nyawaku?
Tapi aku harus bisa mengendalikan diriku agar tetap bersyukur dengan apa yang sudah Allah tentukan untukku. Aku percaya Allah sudah menyiapkan sesautu yang baik untukku, meski belum waktunya untuk aku tahu. Aku hanya bisa pasrah dengan semua cobaan yang telah datang kepadaku. Mungkin aku bisa belajar dengan setiap cobaan yang diberikan.
Aku melamun dan tak sadar telah mengabaikan perkataan anak-anak yang sedang mengerumuni aku saat itu, termasuk Zulfa, aku tak sadar jika mereka telah melontarkan beberapa pertanyaan kepadaku. Sampai akhirnya ada tangan yang mencoba mendarat di pundakku hingga membuatku sedikit kaget dan marah.
"Ada apa?" tegasku yang menyeringai.
"Maaf." sahut Zulfa yang menunduk takut.
"Sudahlah, kakak juga minta maaf ya."
Aku menghela nafas kasar dan menyadari bahwa aku juga salah karena telah memarahi gadis kecil sebaik dan sepolos dia. Aku membelai pundak gadis itu dengan lembut dan tersenyum kepadanya. Akhirnya gadis itu kembali mendongak dan menyuguhkan sebuah senyuman yang indah yang selama ini selalu aku rindukan.
"Iya, Kak. Tidak apa-apa, aku mengerti dengan apa yang kakak pikirkan, bukankan kakak sudah dewasa. Jadi wajar saja kalau kakak bingung dan mudah marah."sahutnya
Sontak membuatku terkejut dengan jawabannya yang singkat itu. Gadis ini benar-benar mengerti dengan perasaanku, dia sedikit berbeda dengan gadis seusianya, tak salah jika aku menaruh perhatian kepadanya. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, apalagi aku merupakan anak terkahir dari dua bersaudara. Jadi aku sedikit penasaran bagaimana rasanya menjadi seorang kakak yang harus memberikan perhatian kepada adiknya.
"Kamu ini memang benar-benar pengertian. Terima kasih ya, selama ini kamu selalu saja mengerti dengan posisi kakak. Maaf jika tidak bisa menceritakan semuanya kepadamu. Suatu saat nanti kamu pasti paham ketika kamu sudah beranjak dewasa." sahutku seraya membelai wajah imut milik Zulfa, tak lupa aku mencubit pipinya yang tirus itu. Aku mencubitnya sebagai tanda sayangku terhadapnya.
Mungkin perhatianku kepadanya membuat teman-teman seusianya merasa sedikit cemburu kepadanya. Namun, tetap saja aku tak mempedulikan respon mereka, karena dari dulu aku tidak bisa memaksakan diri untuk menyayangi seseorang yang tak seharusnya aku sayangi. Selama ini aku selalu bersikap apa adanya, dan tak ingin mencari muka di depan orang-orang tertentu. Menurutku hal seperti itu adalah munafik.
Aku beranjak dari kerumunan anak-anak itu dan merebahkan tubuhku di sudut ruangan yang masih tersisa. Meskipun sempit tapi mampu membuatku nyaman untuk membalas setiap notifikasi masuk dari mantan kekasihku. Dia mempertanyakan keberadaanku saat itu.
_Tuan Hakim_
"Kamu lagi di mana? Apakah sudah pulang dari rumah sakit?"
_Lifya sedang mengetik ...
"Aku sudah pulang sejak tadi, maaf aku sedang sibuk!"
Aku menutup aplikasi WhatsApp dan mematikan ponselku, aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku agar aku mampu mengistirahatkan raga ini setelah seharian dia bekelana untuk melepaskan semua beban yang membuat luka di jiwa. Setelah semuanya aku terlewati begitu saja. Akhirnya, aku tertidur dengan lelap di sudut ruangan ini.
Hingga subuh telah menyapa dan suara telepon darinya membuat telingaku gempar akan suara bising alarm yang berbunyi dengan serempak bersama suara telepon dari mantanku. Dia ingin memastikan apakah aku sudah bangun atau belum? Aku mematikan telepon darinya. Lalu bergegas membuat teh hangat untuk sahur, aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tiga saat itu.
Setelah aku terbangun, ternayata ada beberapa orang lagi yang ikut terbangun bersamaku dari. Begitupun dengan para remaja dan para orang tua, aku hanya memakan roti sebagai teman untuk menyeruput teh hangat buatanku. Aku mengambil ponselku yang tergelatak di meja dan kembali membuka aplikasi yang berlogokan telepon genggam yang berwarna hijau itu. Hampir semua orang memiliki aplikasi yang sedang ngetrend ini, tak peduli dari kalangan manapun. Aku kaget ketika melihat banyak notifikasi masuk darinya.
"Jangan hanya fokus pada ponselnya saja, cepat di makan rotinya!"
Satu suara yang berhasil menghentikan aksiku untuk mengotak-atik ponselku. Aku kembali menutup aplikasi WhatsApp dan fokus kepada teh hangat dan roti cokelat kesukaanku. Kak Chessa benar, sebentar lagi sudah waktunya imsakiyah, aku harus segera makan dan membaca niat untuk berpuasa. Agar puasaku lancar, apalagi besok aku sudah harus melakukan perjalanan jauh menuju kampung halaman. Rasanya sungguh berat untuk meninggalkan kebersamaan ini. Aku mengangguk semangat saat mendengarkan perkataan dari kak Chessa. Satu-satunya kakak yang galak dan memiliki tiga orang anak, hanya saja dia membawa satu anak yang mengidap penyakit yang sama denganku.
Meksipun galak, tapi aku tetap nyaman saat bersamanya. Aku tak pernah malu untuk mengutarakan isi hatiku padanya. Aku sering curhat dengannya, dan dia mampu memberikan solusi terbaik di saat pikiranku tengah kalut. Denting ponsel masih saja memekakkan lubang telinga. Namun, aku tidak menghiraukannya. Aku tetap meneruskan untuk melahap roti cokelatku. Hingga akhirnya waktu imsakiyah pun telah tiba, kami semua berhenti mengunyah dan membacakan niat puasa bersama.
"Alhamdulillah ya Allah, semoga puasaku lancar besok. Amin ..." gumamku dalam hati.