Chapter 5 - Bab 5

Langit sendu masih menemani hati seorang gadis yang baru saja di hianati orang yang ia sayang bahkan terjadi masalah baru hari ini.

"memangnya, kau pikir Layla anak siapa. Dia bukanlah cucukku!"

Derai airmata Layla membanjiri wajahnya ia tak kuasa lagi menahan rasa sakit yang hingga mampu membuat kepalanya itu pening

"Layla, layla sadarkan dirimu jangan dulu pingsan!" Tegur bibi Alena yang terus menggoyangkan tubuhku 

"aku sangat pening bibi, semua masalah berdatangan padaku secara beruntun."

"sadarkan dirimu!!"

Layla yang sudah tak kuat lagi dengan tubuhnya sendiri ia memilih melarikan diri kedalam kamarnya, ia bergegas pergi ke toilet "hueeek" ia terus mencoba untuk menahan beban hati yang mencoba membuatnya tertidur seharian didalam kamarnya. Malam hari membuat kamarnya sangat gelap ditambah lagi ia lupa untuk menghidupkan lampu kamarnya

"kepalaku sakit." Keluhnya perlahan membuka matanya untuk melihat bagaimana keadaan disekitarnya

"layla?" suara lembut seorang wanita yang membuatnya langsung jatuh dipelukannya dengan manja "karen?"

Wanita yang dipanggil karen itu menghidupkan lampu kamarnya ia memberikan penerangan untuk kamar yang sangat gelap seperti hati Layla yang hampir saja gelap tertutup oleh luka yang membuatnya terjatuh

"aku bawakan beberapa kue untukmu, ada kue pancong kesukaanmu."

Layla terkekeh "seharusnya tidak perlu begitu, aku tidak ingin merepotkanmu."

"sudahlah. Oh iya, bagaimana keadaanmu?  Aku dengar dari ibu kalau kamu sedang sakit?"

"sedikit, hanya pening. Entahlah, masalah datang secara beruntun membuatku ingin teriak."

"ingin teriak?"

Layla terkekeh lalu ia mengangguk membuat wanita didepannya itu memiliki sebuah ide

"aku punya ide, ayo ikut aku."

Karen mengenggam erat jari jemari Layla mengajaknya pergi ke sebuah tebing curam dimana ia bisa teriak sepuas yang ia mau

"teriaklah."

"apa?" tanya Layla dengan bingung melihat Karen memintanya melakukan sesuatu

"teriaklah, aku mulai duluan ya."

Suara teriakan Karen di ikuti Layla mereka saling berteriak satu sama lain melepaskan penat dan beban masalah kehidupan

"bagaimana, enak nggak?"

"enak enak, beras hilang semua beban."

Mereka berdua duduk berdampingan di tepi tebing curam saling menatap langit

"kalau kamu punya masalah, datang aja ini adalah tempat rahasia aku. Disini aku bisa teriak, aku bisa nangis, aku bisa melukis aku bisa ngapain aja yang aku mau. Aku bisa kok bagi rahasia ini ke kamu."

Layla tersenyum ia menatap kedua mata Karen seraya menatap rambutnya dengan warna biru "Karen, terimakasih ya."

"sama-sama. Aku tahu kamu punya pertanyaan besar untuk aku,kan? Tentang bagaimana aku bisa mendapatkan surat undangan Liana dengan Roy."

Layla mengangguk "apakah kamu memiliki hubungan spesial dengan Liana?"

"nggak kok, kemarin aku sama dia saling tuker kontak telpon terus dia minta tolong sama aku buat kasih undangan ke alamat yang dituju aku nggak tahu kalau itu adalah rumah kamu."

Perlahan Layla mulai menangis sesenggukan membuat Karen harus memeluk wanita disampingnya

"ada apa, Layla?"

"izinkan aku sejenak untuk menangis, sebelum aku kembali membohongi diriku sendiri, Ka."

"kenapa harus berbohong? Kamu bisa jadi diri kamu sendiri apa adanya kamu."

Layla melepaskan pelukan erat itu ia mencoba untuk menarik napas dan mulai bercerita

"aku sudah sangat lama kehilangan sosok ayah didalam hidupku, saat itu usiaku masih delapan tahun disaat aku sedang sangat membutuhkan ayah di sampingku, aku melihat dia membawa pulang wanita dan itu bukan ibuku aku mencoba bicara dengan ibuku tentang ayahku tapi apa yang aku katakan adalah salah, aku penyebab mereka berpisah."

"tenang tenang."

Dari kejauhan Liana dengan rambut merah pendeknya berdiri memandangi mereka yang sedang berpelukan ia mengenggam erat tas kecil ditangannya

"Karen, terimakasih sudah membuatku tenang."

Karen tersenyum "kamu adalah wanita kamu jangan cengeng, masa gitu aja nangis udah gede malu sama umur" Layla sedikit tersentak seakan ia merasa jika ia tidak bisa lagi menangis, layla bangkit untuk kembali pulang 

"Layla, kamu mau pulang?"

Layla mencoba untuk tetap menguatkan hatinya untuk tersenyum meskipun matanya masih berkaca-kaca

"sepertinya kamu harus pulang sendiri, aku masih ingin disini."

"oke, aku pulang duluan ya."

Dijalan pulang Layla menangis sesenggukan ia berjongkok di tepi jalan untuk menangis sebelum harus kembali berpura-pura tertawa didalam rumah yang semakin mencekik lehernya ditengah tangisan yang terdengar sangat sedih ia meraskan pelukan hangat yang membuat tubuhnya sangat hangat

"siapa?"

Layla menoleh melihat Liana yang masih dengan rambut merahnya ia melihat jaket hangat yang membuat tubuhnya hangat serta pelukan hangat Liana

"Miss Liana?"

"shuuuut." Liana memintanya untuk diam, jemari Liana menyeka airmata wanita yang menangis dengan sangat sedih itu sementara Layla terus menatap rambut merah Liana yang membuat hatinya kembali tergetar

"salahkah jika aku mencintai istri orang?"

Liana tersentak ia terkekeh menggelengkan kepalanya atas pertanyaan anak muridnya

"jawab aku, miss."

"apapun yang terjadi aku ingin kamu tetap bersekolah disana." Pinta Liana ia takut jika dirinya mempengaruhi masa depan anak muridnya

"apakah kamu mencintainya?" layla masih tetap ingin mencoba membuka hatinya meskipun ia telah menjadi milik orang lain

"layla, kamu adalah adikku. Aku bahagia mengenalmu dengan baik, kamu seorang adik yang paling aku sayang." Liana memeluk erat tubuh Layla dengan penuh bahagia

"adik?" luka didalam hatinya semakin mendalam ia tentu tidak bisa menerima statusnya yang hanya seorang adik ia segera melepaskan jaketnya dan berjalan pergi dari hadapannya 

"Layla, ikutlah denganku."ajak Liana memintanya untuk masuk kedalam mobil

"tidak perlu, rumahku tidak jauh dari sini kok." Ujarnya ia tetap memaksa untuk berjalan pulang 

Derai hujan basahi Layla yang sedang menangis tubuhnya menjadi basah kuyup membuat Liana memaksanya untuk menggendong Layla memaksanya duduk dibangku mobil 

"duduk diam, aku tahu kamu keras kepala tapi keras kepala juga ada batasnya, paham!"

Layla merengut kesal ia terus merutuki kekesalannya sampai ia tidak sadar jika mereka sudah tiba dirumah

"aku sangat benci denganmu, benar-benar sangat membencimu."

Liana membuka jendela mobilnya mendengar suara keributan dari dalam rumah Layla membuatnya langsung memutar balik mobilnya membawa Layla pulang kerumahnya

"kenapa kamu membawaku kesini!!" 

Liana kembali mengenakan rambut palsunya yang panjang menutupi rambut pendek merahnya, ia menggendong Layla membawanya masuk kedalam rumah 

"lepaskan aku, turunkan aku! aku ingin pulang."

Liana mengunci pintu rumahnya ia menghidupkan seluruh lampu yang ada didalam rumahnya

"Dimana Roy?"

"Tolong panggil dia mas Roy, usianya lebih tua dariku."

"terserahlah!!"

Layla terus mencoba menarik engsel pintu tapi sungguh sial pintu rumah dikunci oleh Liana dan kuncinya ada di kantung jaketnya

"Liana sialan!!"rutuknya kesal pada akhirnya ia duduk dibangku merungut sangat kesal melihat Liana yang melepaskan jaketnya dan rambut palsunya itu ia hanya memakai baju pendek dengan celana hotpans

"Kamu pasti sangat lapar."

"aku ingin pulang"jawabnya

Liana mengambil semangkuk eskrim dari dalam lemari es lalu mengambil dua buah sendok 

"ini sangat enak, cobalah. Eskrim susu dengan butiran oreo." Liana menyodorkan sesendok eskrim kedalam mulut Layla dengan kesal Layla menghentak tangan Liana hingga sendok eskrim jatuh dari tangannya ke lantai

"aku mau pulang!!" sentakan Layla membuat Liana menangis menatap kedua matanya 

"haruskah kamu menyentakku?" 

Perubahan sikap Liana membuat Layla sangat bingung ia memperhatikan wanita yang menangis sedih membersihkan lantai ia segera meletakkan kunci rumah diatas meja

"pulanglah, lakukan apapun yang kamu inginkan."

Liana segera pergi ke halaman belakang ia duduk dengan pikirannya yang sangat penuh sentakan itu sungguh melukai hatinya menyudutkan Layla dengan kesalahan yang telah ia lakukan, kedua mata Layla terus menatap kunci rumah yang tergeletak di atas meja ia sangat ingin pergi pulang kerumah sementara pikirannya terus memikirkan tentang perasaan wanita yang baru saja ia lukai