Defansa yang selalu memberi sebuah alasan kecil alasan setiap kepada Ashlea untuk selalu hidup dan tidak mengakhiri hidupnya dengan cara kejam.
"Bukankah hari ini terlalu cerah untuk bunuh diri?" Suara itu kembali membawa kesadaran Ashlea dan berbalik dari tepi jembatan, gadis 28 tahun yang sudah beberapa kali mengkonsumsi obat demi merusak janinnya agar tak lagi bisa hamil.
"Hari ini ada konser, band yang kau sukai, bukankah sebaiknya kau tunda dulu bunuh diri itu?" ucap Defansa lagi keesokan harinya.
"Wahh ada restoran yang baru buka di perempatan sana. Aku dengar mereka memiliki menu galbi yang kau sukai itu."
"Sepertinya rambutmu akan sukar ditata nanti saat dikremasi, pergilah ke salon dulu!"
"Hei Ashlea, hari ini aku mendapat pekerjaan baru. Aku akan mentraktirmu karena aku menjadi lelaki berpenghasilan!"
"Ashlea! Lihat apa yang aku bawa. Ini begitu cantik, rawatlah! Aku titipkan mawar ini kepadamu, jaga dia sampai aku menyelesaikan pekerjaanku, aku terlalu sibuk untuk memberinya air yang cukup."
Selalu ada alasan setiap harinya. Selalu ada setidaknya satu tugas yang diberikan Defansa kepada Ashlea. Tujuannya, agar gadis itu bertahan setidaknya sehari lagi untuk mengakhiri hidup. Ashlea selalu berpikir kapan waktu yang tepat untuk mengakhiri hidupnya.
Sebab hidup yang dimilikinya terlalu kacau. Tak bisa ia tata rapi lagi. Bagaimana pun ia berusaha tak bisa dia perbaiki.
Dengan hadirnya Devansa, Ashlea lebih tau apa makna hidup itu sendiri. Kadang kala ia merasa bahwa hidup tak lagi berpihak padanya sama sekali. Tapi kehadiran Defansa membuatnya sadar bahwa setidaknya ada satu dari banyaknya manusia di bumi ini yang peduli akan dirinya.
Kala itu Ashlea tengah berjalan di bawah hujan, ia tak tahu apa yang ia lakukan sebab sudah terlalu lelah untuk sekali saja menatap pada langit yang tak berhenti-henti menghukumnya. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya penuh rapuh dan penuh rasa sakit.
"Hai," ujar Devansyah saat melihat gadis itu dibasahi oleh air hujan tanpa adanya keinginan untuk berteduh sedang orang lain berusaha berlari-larian agar tak terkena oleh air hujan.
Saat itu, Ashlea tak sama sekali berpikir bahwa devansyah menyapa dirinya. ia pikir devansyah hanya tak sengaja lewat dan menyapa orang yang ada di belakangnya. namun saat Ashley melihat ke belakang ada orang lain di sana selain dirinya yang sudah tak berdaya atas hinaan dari semesta.
"Kau berbicara padaku," ucap asli dengan nada tak berdaya.
Defansa pun mengangguk dengan mata berbinar, belum pernah Ashlea jumpai manusia yang menatapnya seantusias itu. Biasanya orang-orang menatap asli dengan tatapan jijik bahkan dengan tatapan berharap pada semesta agar asli kehilangan saja dari muka bumi ini.
Karena yakin bahwa dirinya yang diajak bicara oleh Defansa, ia mengangguk hanya sekedar menyapa balik sapaan hangat dari lelaki itu di kala hujan yang membuat tubuhnya beku.
Setelah menyapa Defansa, Ashlea pun kembali berjalan sembari menunduk menghitung langkahnya melewati beberapa becekan setelah hujan atuh membasahi bumi yang baginya hina.
Mengikuti langkah kaki gadis itu pelan, tidak jauh di belakang Ashlea, Defansa masih hening, membiarkan gadis itu sadar sendiri dengan keberadaannya.
Namun, Ashlea sama sekali tak berpikir jauh, tidak, sebenarnya otaknya sudah terlalu kacau untuk berpikir. Ia hanya mengira Defansa memiliki jalur yang dengannya untuk pulang ke rumah. Tapi, aneh jika lelaki itu juga berhenti di depan gerbang putih sebuah rumah yang satu-satunya menjadi rumah mewah di kawasan ini.
Setelah itu, barulah Ashlea menatap dengan nanar ke dalam mata Defansa. Tatapan yang selalu menjadi ciri khasnya. Tatapan malas untuk melanjutkan hidup.
"Kau pemilik rumah ini sekarang?"
Defansa bingung dengan apa yang menjadi pertanyaan Ashlea.
"Ah, aku pikir ayahku sangat keterlaluan, kini dia juga mengambil tempat tinggalku."
Ashlea berbalik dari sana.
"Bawakan saja barangku besok ke tempat penampungan, kau bisa membuangnya."
Tepat saat itu, Defansa menahan tangan Ashlea yang hendak pergi dari gerbang itu. Ashlea bahkan memberikan sebuah kunci rumah di tangan Defansa yang membuat lelaki itu sedikit bingung hingga mengerutkan alisnya.
"Ini rumahmu?" Defansa bertanya balik.
Tatapan kosong itu menjadi salah satu hal yang Ashlea andalkan saat berurusan dengan lelaki asing, berharap tak satupun dari mereka tertarik dengannya, terutama dengan kelebihan yang ia miliki atas tubuhnya. Yang dibilang lebih menggoda daripada gadis lain.
"Iya ini rumahku, tapi sekarang rumahmu!"
Wajah bingung Defansa membuat Ashlea tak berpikir banyak.
"Tidak?" tanya Ashlea lagi dan Defansa dengan santai menggeleng. "Ahh aku kira ayahku sejahat itu."
Setelah Ashlea melepaskan tangan yang dicekal oleh Defansa, gadis itu masuk ke dalam gerbang rumah yang di sana nampak sekali suram, gelap dan beberapa pohon mengering, padahal Defansa lihat rumah ini bukan milik orang miskin, setidaknya membutuhkan lima pembantu rumah tangga.
"Dia bahkan tidak menawariku masuk," geming Defansa membiarkan Ashlea yang kini sudah hampir sampai di depan pintu utama rumah yang tingginya melebihi dua kali lipat dari tinggi gadis itu.
********
"Bukankah hari ini terlalu cerah untuk bunuh diri?"
Defansa menatap santai ke alam luas yang menampakkan deras air mengalir dari atas jembatan yang jarang dilalui oleh orang banyak.
Ashlea menatap sebentar, kemudian mengurungkan niatnya untuk peduli pada lelaki yang tak sama sekali ia kenal. Mungkin tadi malam terlalu gelap dan Ashlea terlalu lemah sampai tidak mengingat wajah Defansa yang memiliki pahatan tampan.
"Ah sayang sekali untuk mati hari ini, langit bersinar terlalu cerah."
Ashlea yang mulai merasa terganggu akhirnya menurunkan satu kakinya dari panjatan pagar jembatan.
"Kenapa kau terus mengatakan mati?"
"Lantas? Apa yang kau lakukan di sini? Memanjat jembatan, melihat ke bawah seolah sedang menebak-nebak apakah sakit jika jatuh dari sini, apakah langsung mati tanpa merasakan sakit, jika bukan untuk melompat, bunuh diri?"
Seperti terkena tusuk di bagian dada, Ashlea merasakan ada rasa sakit di sana. Sejujurnya yang dikatakan Defansa itu benar. Ia sedang menebak apakah air di sana dingin, apakah sakit jika terjatuh langsung dari sini, apakah bisa dia mati tanpa rasa sakit. Hidupnya sudah sangat pahit, rasanya tidak adil jika hendak mati pun ia harus merasakan sakit.
"Lakukan saja besok, air di sana terlalu dingin di musim hujan seperti ini."
Ashlea menatap punggung itu berlalu menjauh, sambil lelaki itu melambaikan tangan dengan senyum cerah yang entah kenapa Ashlea rasa itu membuat dirinya ingin bertahan satu hari lagi. Berharap esok ia akan bertemu dengan lelaki itu kembali, untuk kali terakhir.
Ia rasa tak akan masalah jika ia harus mati setelah melihat senyum indah itu.