Dia dipanggil. Ashlea lagi-lagi dipanggil ke dalam ruangan yang menurut kebanyakan orang sangat seram. Namun, tidak bagi gadis itu, ruangan itu tak ada apa-apanya dibanding hidupnya yang memang sudah sangat seram. Tak ada yang membuat Ashlea takut sama sekali di dunia ini. Ia hanya takut pada dirinya sendiri, kenyataan jika ia tak bisa lagi menepati janjinya kepada lelaki yang ia cintai yakni Defansa.
Setelah menarik nafas panjang, Ashlea masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya dengan tajam wajah Devano yang muram, mungkin lelaki itu dendam kepada Ashlea.
"Bapak memanggilku?" Ashlea dengan mala dan wajah datar bertanya, mendahului percakapan yang sepertinya tidak akan pernah terjadi jika dirinya tak memulai lebih dulu.
"Duduk."
Dengan ekspresei datar gadis itu menuruti apa yang ketua timnya perintahkan. Lagi pula tak sulit hanya untuk duduk saja.
Setela Ashlea duduk di depan meja lelaki itu, sebuah tumpukan kertas kembali di layangkan ke wajah Ashlea, mengenai wajahnya hingga sedikit terluka di bawah mata erkena sisi kertas yang memang tajam sebenarnya.
Ashlea menutup matanya sampai kertas itu benar-benar habis jatuh ke lantai. Satu helaan nafas panjang sembari menatap kepada Devano yang benar-benar nampak puas.
"Cukup kau permalukan aku di depan anggota timku. Memangnya kamu siapa, hah?!"
"Ashlea. Anggota timmu yang baru bergabung sehari."
Jawaban itu membuat Devano semakin geram. Ashlea memang sangat menyebalkan, bahkan dari tatapan matanya saja sudah membuat Devani bernafas tak beraturan sebab kesal.
"Kerjakan itu!"
Ashlea menatap sejenak apa yang berhamburan di lantai, salah satu kertas yang terbalik memberinya jawaban, itu adalah surat kuasa atas perjanjian iklan yang dibatalkan.
Merasa lucu akan situasi ini, Ashlea menyeringai kemudian tertawa pelan beberapa kali bisa dihitung dengan jari. Lucu sekali, baginya.
"Baiklah," kata Ashlea. "Berikan padaku filenya untuk aku tinjau setelah semua yang ada di lantai ini kau susun."
Setelah membungkukkan badan setengah, Ashlea keluar dari ruangan itu dan kemudian meninggalkan Devano dengan rasa kesal yang masih belum kelar.
Hujan. Di luar tengah hujan. Hanya situasi ini yang paling disukai Ashlea. Sebab hujan mengingatkannya pada pertemuan pertama dirinya dengan Defansa. Jika saja hari itu tidak hujan, maka Ashlea masih tetap berada di tempat terkutuk itu, jika saja hari itu tidak hujan maka Ashela akan tertangkap saat ia mencoba kabur, jika saja tak hujan hari itu maka tak aka nada Defansa did alma ceritanya, jika saja tak ada Defansa di dalam hidupnya, bagaimana cerita hidupnya, apakah ia sudah mati sekarang?
Banyak pikiran Ashlea layangkan sembari menatap ke arah jendela yang terkena percikan ujan dari luar sana. Senyum Ashlea otomatis saja mengembang, ia menutup matanya dan mendengarkan suara hujan.
"Ah aku menyukainya, bau tanah sangat nikmat." Ashlea menikmati waktu istirahatnya ketika hujan tiba. Padahal belum genap lima menit sejak ia keluar dari ruangan terkutuk itu, dan belum genap lima menit Devano memberinya pekerjaan yang tak mudah membalas dendam atas aksinya tadi. Namun, semua itu tak sama sekali membuat Ashlea berpikir banyak, Ashlea tak peduli dan tak takut apapun. Bahkan kematian.
*********
Jam dua belas malam pas. Banyak mata yang ragu menatap jam dinding yang jarumnya sudah berada di angka paling atas.
Tak ada yang berani bangun dari tempat duduk, sebab melihat lampu di ruangan Devano belum padam dan lelaki itu belum melepas kacamata kerjanya, serta cahaya laptop yang menerangi wajahnya itu belum hilang. Siapa yang berani pulang setelah kejadian itu. Dipastikan jika ia pulang maka besoknya sudah tak ada kesempatan untuk kembali ke kantor ini, bahkan mungkin ke perusahaan ini.
Namun, satu orang yang tidak peduli akan hal itu. Setelah menutup laptop, Ashlea langsung memasukkan beberapa barang ke dalam tas, menenteng tas tangannya kemudian mematikan lampu di mejanya.
Waktunya pulang, maka ia akan pulang.
Semua mata menatap kepadanya heran. Bagaimana bisa dia pulang dengan santai sedang dialah yang membuat suasana semakin keruh sejak tadi.
Tidak hanya orang-orang, bahkan Devano pun langsung melirik gadis itu.
Ashlea telah hilang dari pintu kantor, gadis itu berjalan sambil memasang hedset di telinganya, entah lagu apa yang didengar tapi sama sekali tidak merasa bersalah atau memiliki beban. Devano heran, apa Ashlea itu manusia.
Kepergian Ashlea membawa berkah, setelah gadis itu hilang bayangannya, Devano pun ikut mematikan lampu kantornya.
"Tidak ada bayaran lembur, aku tidak memerintah kalian untuk lembur." Satu kalimat yang menyebalkan itu tanda perpisahan mereka hari ini. Setelah Devano menghilang seperti Ashlea semua orang langsung buru-buru membereskan barangnya, bahkan ada yang nekat untuk tidak membawa barang-barang mereka pulang, hanya kunci mobil, kunci rumah dan dompet serta ponsel yang mereka bawa.
Esok juga tak akan mudah.
Malam ini masih sama, gelap hanya dihiasi dengan lampu-lampu jalan dan beberapa kendaraan yang masih bepergian kesana kemari. Bedanya mala mini ada bau tanah selepas hujan dan juga bau alcohol yang menyengat saat Ashlea melewati salah satu bar di sudut kota, karena cuaca sedang dingin, pastilah orang yang merasa kosong seperti dirinya ini akan menikmati setidaknya satu botol minuman keras sebagai teman di malam yang cukup dingin ini.
Tak Ashlea pungkiri jiwa nakal masih ada di dalam dirinya. Saat melewati salah satu toko kelontong yang letaknya agak menjorok ke dalam gang, Ashlea berhenti, ia sudah tahu apa yang akan dicarinya kesana.
Satu botol alcohol yang hendak ia habiskan tidak dalam sehari tapi setidaknya akan ia bagi menjadi tiga, sebagai pengontrol agar tidak terlalu mabuk. Keluar dari sana Ashlea langsung menuju jalan ke rumahnya.
Sebuah rumah megah dengan lampu padam di bagian depan dan belakang, hanya satu lampu di taman yang menyala sebagai penyambutnya. Lampu di dalam rumah itu pun sangat banyak, hanya saja sengaja tak Ashlea jadikan otomatis.
Saat masuk ke dalam rumah, Ashlea pun tak menghidupkan lampu rumahnya. Sengaja ia berjalan di dalam gelap. Sebab dua puluh tujuh tahun ia habiskan di dalam rumah ini, jadi ia tahu pasti semua letak tata benda dan ruangan yang ada di rumah ini. Lagi pula di dalam rumah besar ini tak semua tempat digunakannya, hanya kamar mandi utama, dapur dan kamar tidur yang Ashlea masuki, selain itu ia biarkan berdebu pun.
"Aku merindukannya lagi." Ashlea bergeming menatap kepada jendela kamarnya yang menampilkan pemandangan jalan kota yang sudah tak terlalu sibuk. "Haha tapi kapan aku pernah tidak merindukannya." Ashlea tertawa lagi, sepertinya ia sudah mabuk. Tidak menggunakan gelas dan langsung meminum dari botol, tentu saja tak nikmat rasanya jika tak langsung minum sampai tetes terakhir.
Satu botol itu telah habis, bersamaan dengan tetes terakhir botol yang jatuh ke pipinya karena ia angkat dan balikkan botol itu, air matanya pun ikut mengalir.
"Aku sangat merindukannya, sangat."