Dengan deru nafas yang masih berderu Ashlea keluar dari ruangan menuju ke atap untuk sekedar mencari angin, melampiaskan segala kemarahan yang ditimbulkan karena Devano. Sialnya pintu akses ke atap tertutup karena sedang ada perbaikan pemancar sinyal di sana.
Ashlea duduk tepat di depan pintu yang terkunci rapat, tak ada tempat terbaik untuk menenangkan diri kecuali atap. Di sana ada akses bebas angin dan juga meski ia berteriak sekencang mungkin tak ada yang mendengarkan, pas untuk meluapkan kemarahan.
Jika ia pikirkan kembali, Devano benar-benar menyebalkan. Kepalanya seperti batu dan Ashlea pikir tidak ada cara benar untuk mengalahkan keras kepala selain dengan keras kepala. Batu dilawankan dengan batu supaya hancur.
Karena tidak adanya akses untuk menuju ke aap, Ashlea kembali turun ke bawah, menjalani hari seperti biasanya ia pikir jalan terbaik saat ini.
Bertepatan saat ia ingin kembali ke ruang kerja, Arsyi menyambutnya di depan pintu masuk perusahaan, dengan senyum lebar yang menyebalkan. Entah sudh berapa lama Ashlea tak melihat senyum itu, tapi tak juga gadis itu merindukan Arsyi sedikitpun karena sejak awal Arsyi memang menyebalkan bagi Ashlea.
"Kau mengabaikan aku lagi, Ashlea? Apa kau bahkan tidak merindukan aku?" Arsyi sedih karena Ashlea tetap sama meski sudah berminggu-minggu dan bertemu dengannya. "Apa hanya aku yang kesepian di sini?" Ia menyamai langkah Ashlea yang memasang tembok dan bertuliskan "tidak tersentuh" di sana.
"Lain kali jangan acuhkan aku, aku akan sedih jika kau begini!" ocehnya walau tak sedikitpun Ashlea dengarkan, kalimat dan suara Arsyi hanya berlalu begitu saja di telinga Ashlea. sangat tidak penting sekali.
Bahkan tak yakin bahwa Ashlea tahu dengan nama gadis yang mengoceh di sampingnya ini. Atau jangan-jangan Ashlea juga tak mengenal Arsyi, bisa jadi.
Sampai ke depan pintu masuk ke ruangan timnya, Arsyi masih membuntuti Ashlea lantaran belum mendapat jawaban. Gadis itu terus bertanya hal dengan pertanyaan serupa.
"Kau sungguh tak merindukan aku, sama sekali?" Terakhir terdebgar nada kecewa saat Ashlea melewati pintu dan memblokir Arsyi di depan pintu masuk. "Ahh dia sangat keren!" ucap Arsyi tetap kagum meski begitu.
Nampak dari luar bahwa ada gadis yang semua orang tau adalah anak dari pemilik perusahaan ini, semua orang tak lepas pandang. Mencuri senyuman dan menyapa dengan baik, seperti yang Arsyi tau mereka mencintai Arsyi bukan karena dirinya tapi karena gelar yang ia sandang sebagai nak dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.
Lantas berbeda dengan Ashlea. Gadis itu sama sekali tak tertarik dengan embel-embel yang orang pasangkan kepadanya, Ashlea adalah Ashlea dan menganggap Arsyi hanya manusia biasa yang terkadang juga membentak Arsyi atau menjauhi Arsyi bahkan mengabaikan Arsyi seperti saat ini. Tetapi inilah yang membuat Arsyi semakin suka mendetaki Ashlea dan berharap setidaknya memiliki satu teman yang menyukai dirinya bukan karena gelar anak pemilik perusahaannya.
"Ashlea!"
Meski diblokir dengan pintu masuk, Arsyi masih bisa tersenyum kemudian masuk ke dalam ruangan yang bukan tempatnya bekerja. Biasa saja karena ia sudah sering berlalu lalang di sini, dan dulunya sekedar info, Arsyi pertama kali bekerja di bagian ini, dan alasan Arsyi meminta untuk dipindahkan adalah, lelaki yang bertabrakan dengannya saat ini.
"Aw!" ungkapnya perih menggosok dahinya yang terantuk sesuatu.
"Ahh minggir." Nada datar dari Devano selalu Arsyi benci.
Dulunya mereka bersama-sama bertugas untuk tinjau lapangan di tim ini, dan Devano dengan kerja kerasnya bisa naik ke posisi ketua tim di sebuah divisi yang ia banggakan.
"Kau yang minggir, kau menghadang jalan!" Arsyi tak mau kalah, meninggikan suaranya.
Berkat pekikak dari Arsyi kini mereka berdua yang masih terpaku di pintu menjadi sorotan utama pada siang ini.
"Apa yang mereka lakukan?" Salah satu dari para pegawai langsung memulai pembicaraan secara berbisik, seperti biasanya mereka sangat suka mengurusi masalah yang bukan bagian dari hidup mereka.
Itu juga yang membuat Ashlea malas dalam menjali hubungan, ia tak suka jika dipaksa untuk terlibat pada urusan orang lain sedang hidupnya saja masih kacau dan belum tenang.
"Kau tidak tau? Mereka itu dulunya rival di divisi ini," sahut salah satunya memberi informasi entah benar salah dan entah dari mana ia mendapatkan informasi itu.
"Wah, jadi pasti mereka pernah mendendam satu sama lain, kan?"
Yang lainnya mengangguk. Melihat bagaimana kepribadian Devano sudah jelas gadis itu tidak menyukainya, dan hubungan mereka bukan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai hubungan baik.
Apa yang mereka bicarakan kemudian tak lagi terdengar oleh yang lain sampai Arsyi mengikuti langkah Devano yang kembali masuk ke ruangannnya, tidak terlihat terpaksa mereka berdua masuk dan bahkan menutup hordeng jendel di ruangan itu, pembicaraan rahasia.
"Mereka akan membicarakan apa? Masa lalu yang belum terpenuhi?"
Banyak tebakan yang mereka lakukan, bukankah sebaiknya mereka menyelesaikan pekerjaan mereka. Mengapa mereka suka sekali melakukan hal yang tidak perlu untuk mereka lakukan, sungguh mengganggu.
Di dalam hawa panas juga terjadi. Arsyi mengamuk setelah Devano mengucapkan satu kata dan tiba-tiba saja darahnya mendidih sampai kepalanya terasa hendak meledak.
"Jangan pernah katakan apapun tentang itu!!" Arsyi memekik tajam memperingatkan kepada Devani agar lelaki menyebalkan itu tak lagi mengungkit masalah yang mereka berusaha untuk hindari.
"Memang benar? Kita akan dinikahkan!"
Lagi, Arsyi menutup mulut Devano rapat-rapat sembari awas melihat ke belakang dan ke kiri kanan memastikan bahwa tidak ada yang mendengarkan mereka.
"Kau! Jangan pernah katakan itu! Tak ada orang yang tau masalah itu dan itu tak akan pernah terjadi! Kau mengerti?"
"Apa yang bisa kau lakukan untuk menghalangi keinginan ayahmu? Bukankah kau selalu mengiyakan tentang apapun yang ayahmu katakan?"
Arsyi diam. Benar yang dikatakan Devano. Ia selalu mengatakan ya tentang apapun yang ayahnya perintahkan kepadanya, karena ia sangat menyayangi ayahnya sejak ibunya meninggal.
Tapi baru kali ini, ia hendak menolak perintah ayahnya. Entah bagaimana caranya dan apakah ia bisa. Ia harus melakukannya.
Untuk kali pertama, ia sangat ingin memiliki hidupnya sendiri. Sejak dulu ia sama sekali tidak menikmati hidupnya, meski orang bilang hidupnya sangat sempurna.
"Devano, apa kau menyukaiku?"
Pertanyaan itu membuat Devano menatap dan senyum seringai ke arah Arsyi.
"Bukankah jawabannya sudah jelas?" kata Devano.
"Maka kau harus menolongku. Kau tidak ingin menikahi aku, kan? Begitu pun aku! Kau ingin hartaku? Aku bisa memberikannya padamu, tapi tolong aku. Aku tidak ingin menikah denganmu."
Devano diam. Ia memiliki perasaan yang sama dengan Arsyi.
Sebab Arsyi berkata demikian, ia mengiyakan ucapan Arsyi.
"Ayo lakukan bersama. Menggagalkan pernikahan."