Sebuah kecupan itu membuat Devano diam bergeming dngan tatapan kosong. Benarkah yang ia lihat itu adalah Ashlea, gadis yang siang tadi menyatakan perang terhadapnya.
Atau gadis ini mempunyai kepribadian ganda, siang berbeda dan malam menjadi orang yang berbeda pula.
Devano tak habis pikir apa yang sedang ia lakukan, kenapa sebuah kecupan itu membuatnya ingin lagi setelah gadis itu melepaskan pendaratan dari bibirnya.
Ham[ir saja Devano melakukan kesalahan, ia hamipr saja hendak menahan leher gadis itu dan melakukan ciuman yang lebih menyenangkan dari yang Ashlea lakukan. Syukurlah ia langsung sadar bahwa dirinya masih waras.
"Kau gila?!" Devano memekik, membuat mata Ashlea yang sembab dan nampak sedang menahan rindu itu membelalak sadar akhirnya.
"De ... vano?"
Ashlea sudah sadar kini. Setelah itu, ia tak mau mengakui kesalahannya dan langsung pergi begitu saja. Seperti dirinya yang biasanya.
Devano pun merasa terhina atas tingkah wanita itu. Apa maksud dari perilakunya itu. Setelah mencium Devano dengan sangat lembut hingga membangunkan segala sel yang telah lama mati di dalam diri Devano, lalu dia pergi tanpa sepatah kata penjelasan?
Masih menatap kepergian Ashlea dibalik gelapnya malam, hanya ada lampu jalan yang menyinari jalan dan beberapa kendaraan masih berlalu lalang.
Sejahat-jahatnya Devano, setidak pedulinya dia pada Ashlea yang memang bukan urusannya itu, tetapi Devano pikir Ashlea masih salah satu anggota timnya, bagaiman jika terjadi sesuatu pada Ashlea, pasti yang repot juga dirinya.
Akhirnya ia menghidupkan mesin mobil yang tadinya mati saat ia berniat berbincang sedikit dengan Ashlea tapi gadis itu malah langsung menciumnya, jadi ia melupakan tujuan awalnya.
"Hei! Hei!"
Mendengar suara Devano yang sudah semakin dekat, dan sentoran cahaya lampu mobil itu sudah menembus ke depannya, Ashlea semakin mempercepat langkahnya. Bukan karena malu, ia hanya takut jika Devano sama dengan laki-laki lainnya yang selama ini ia temui, kecuali Defansa.
Dia hanya menginginkan tubuhmu, Ashlea. Berjalan lebih cepat.
Ashlea memerintah dari dalam hatinya kepada dirinya sendiri. Sambil dipeluknya erat-erat tas selempang di depan dada, gadis itu semakin mempecepat langkahnya, kini bisa dibilang dia berlari.
"Ashlea tunggu!!"
"Arghhh!!" Ashlea langsung menunduk, menekuk lutut dan menutup telinga dengan kedua tangannya, serta memejamkan mata erat.
"Ashlea, kau kenapa?" Devano yang bingun pun tak tahu harus melakukan apa kecuali ikut duduk dan melihat apakah gadis itu baik-baik saja.
Keringat dingin dari dahi Ashlea tentu saja mengatakan secara langsung jika gadis itu tidak baik-baik saja.
"Kau sakit?"
"Pergi!!" pekik Ashlea dengan mata masih menutup. "Aku bilang pergi!!" Ashlea berteriak sekali lagi.
Sebab takut disangka macam-macam oleh pengendara lain, apalagi dalam keadaan malam hari, juga pakaian Ashlea yang bisa dibilang menggoda birahi. Akhirnya Devano memilih untuk mundur dan kembali ke dalam mobilnya. Ia sengaja menurunkan lampu mobilnya agar tidak menyorot Ashlea di depan sana.
Tak lama kemudian, Ashlea berhasil bangkit lagi. Mengepal tangannya erat kemudian kembali berjalan menyisi di jalanan, juga ada Devano yang masih mengikuti gadis itu secara diam-diam tanpa Ashlea tahu.
Ashlea membuatnya penasaran.
***************
Dalam perjalanan Ashlea menuju ke tempat duduknya, ada seseorang yang terus memandangi Ashlea dengan pandangan heran. Devano-lah orangnya, lelaki itu masih tak habis pikir tentang apa yang terjadi semalam.
Ashlea seperti orang lain pagi ini, tak seperti Ashlea yang ia lihat kemarin, dan itu benar-benar cukup menjadi sebuah pertanyaan besar dan membuatnya penasaran.
"Dengan rumah sebesar itu, aku gak yakin kalau dia orang tidak punya, setidaknya dengan rumah sebesar itu dia tidak mungkin hanya bekerja sebagai karyawan biasa." Devano bergeming sendiri masih menatap heran kepada Ashlea yang meregangkan badan karena entah sebab apa gadis itu merasa lelah.
Tapi aneh yang Devano lihat adalh hidup gadis itu tidak namak normal sejak mereka bertemu, sejak awal Devano merasa bahwa Ashlea memang bukan gadis biasa. Tidak mungkin dengan rumah sebesar itu, tidak bahagia.
Tepat pada saat itu Ashlea sempat meregangkan badan dan tak sengaja menatap ke dalam ruangan Devano yang tidak tertutup tirai jendelanya, jadi nampak jelas lelaki itu tengah menampu dagu menatap kepadanya.
"Dia melihatku?" Ashlea tak yakin, jadi ia melihat ke belakangnya, tak ada siapapun di sana, karena tempat duduknya di sisi kiri sendirian, jadi tak ada orang di belakangnya. "Kenapa dia menatapku?" Ashlea merasa aneh, kemudian ia baru ingat tentang kejadian semalam, di pinggir jaln, saat itu Ashlea benar-benar sempat tak waras. Ia jamin itu. Karena kerinduannya dengan Defansa ia jadi salah mengira Devano sebagai Defansa, padahal keduanya sangat tidak mirip dari segi sikap, jika dari fitur wajah dan keperawakan Ashlea sempat berpikir Devano adalh Defansa karena keduanya cukup mirip.
"Apa aku harus minta maaf kepadanya?" Ashlea bergeming sendiri, masih saja Devano menatap ke arahnya semakin membuatnya merasa tak nyaman hingga akhirnya menggunakan sebuah buku yang cukup besar diletakkan di sekat mejanya dan berhasil memblokir pandangan Devano darinya.
"Apa itu?" Devano baru sadar akhirnya bahwa Ashlea memblokir pandangannya. "Dia menolakku? Tadi?" Devano bergeming seorang diri saja. Ia tidak percaya ada orang yang menolak untuk dipandang olehnya.
Setelah itu Devano kembali berpikir, kenapa dia sangat peduli pada gadis itu, padahal apa yang terjadi pada Ashlea bukanlan masalah dirinya sama sekali.
Untunglah ada telepon masuk yang membawa kembali membawa kesadarannya yang sudah sejak tadi dirasuki oleh Ashlea.
"Baiklah, saya akan segera kesana." Setelah Devano mematikan telepon itu, ia langsung keluar dari ruangannya dengan wajah panik mengambil jas yang tergantung tak jauh dari tempatnya duduk.
Kali ini giliran Ashlea menatap lelaki yang keluar secara terburu.
Namun, tidak hanya Ashlea yang menatap lelaki itu, semua orang yang ada di sana menatap Devano yang berjalan terburu sekali.
"Nina, ikut saya!" panggilnya saat berjalan keluar dari ruangan tim penyusun.
Dengan terburu juga yang dipanggil namanya tadi langsung juga bergegas mengekori langkah terburu Devano. Sepertinya tengah terjadi masalah yang belum bisa Devano pastikan penyebabnya dan siapa penanggungjawabnya.
Melihat betapa bergegasnya lelaki itu, mereka semua tahu, mereka dalam bahaya.
"Ahh sepertinya kita tidak akan bisa pulang normal hari ini," ucap salah satu karyawan dengan baju merah darah itu.
"Kemungkinan buruk kita harus menginap di sini selama tiga hari tiga malam, seperti biasanya." Yang lain itu menjawab.
Ashlea sendiri tidak mengerti dengan keluhan-keluhan mereka sebab hari ini baru hari kedua sejak dirinya bergabung bersama tim penyusun.
Ashlea pun hanya menjadi dirinya sendiri. Tidak akan peduli tentang apapun itu, selama hal itu tidak ada hubungan dengan dirinya, sejauh itulah ia membatasi diri dengan dunia dan isinya.