Bekerja di tim desain memang jauh sangat mudah, dibanding tim penyusun. Berada di tim desain yang menurut sebagian orang mudah saja Ashlea sudah stres setiap harinya.
Masih bergelimang dengan kertas-kertas ide yang diperintah kepadanya untuk ditinjau, juga segelas kopi instan yang dibeli dengan bantuan aplikasi online, juga rambut yang sudah disanggul erat ke atas, tak peduli pada penampilan lagi sebab hanya ada dia di sini sekarang.
Malam yang semakin gelap menyapa. Tidak Ashlea sangka bahwa hari pertamanya di tim ini dan ia harus berlembur bukannya disambut dengan pesta penyambutan anggota baru.
Hidup, kenapa hanya keras pada Ashlea.
"Huh! Lagipula tak ada yang menungguku di rumah, mulai sekarang aku bisa menjadikan kantor ini rumahku." Ashlea tak menyerah masih dengan kacamata baca ia mempelajari segala hal yang ada di sana. Segala hal yang katanya batal dan hendak ia ambil kembali.
Berada di tim penyusun merupakan tim yang sangat penting di perusahaan. Dimana ide dari sebuah iklan datangnya dari tim ini. Semakin baik idenya, maka semakin mudah tim lain mengembangkannya.
Banyak artis sudah menjalani kerja sama dengan perusahaan ini, tapi aneh sekali Ashlea belum pernah bertemu dengan satu artis pun sampai saat ini. Mungkin karena ia berada di tim desain selama setahun yang hanya berkatut pada komputer menyusun grafis dan desain dari iklan.
Sebenarnya sekarang Ashlea mulai sadar bahwa dia salah mengambil langkah. Meski ia berhasil mengambil proyek ini kembali, nantinya Devano akan menganggapnya sebagai pesaing di tim ini. Apabila ketua tim sudah menganggap kita sebagai pesaingnya maka seribu beban pekerjaan akan siap menyapa setiap harinya.
"Aishh! Sialan!" umpat Ashlea pelan saat sadar dirinya sudah tak aman.
Apa yang bisa ia lakukan, tak mungkin melakukan penawaran ulang.
Sudahlah lakukan saja, lagipula tak ada yang membuat Ashlea sibuk selain pekerjaan. Lebih tepatnya tak ada yang dilakukannya selain bekerja.
Meski bekerja itu membosankan, Ashlea tetap melakukannya demi terhubung dengan dunia, demi Defansa lebih tepatnya.
Ashlea bukan tipe orang yang mengerjakan sesuatu setengah hati, meski ia tak menyukai pekerjaannya dan meski ia tak terlalu jenius dalam bekerja setidaknya ia selalu menyelesaikan apa yang dimulainya. Itulah yang membuat seorang tanpa koneksi bertahan lama di industri ini.
Satu hal yang tak ia nampakkan. Latar belakang masa lalunya yang kelam. Tak ada satupun yang tahu.
Siapa Ashlea? Jika pertanyaan itu ditanyakan di tempat-tempat buruk, tak mungkin tak ada yang bisa mendefinisikan seperti apa gadis itu.
Gadis jalang yang salah mengambil langkah, menyebabkan kekacauan yang membuat dirinya menderita. Gadis jalang yang dibuang oleh orangtuanya dengan setumpuk harta tak berarti.
Gadis jalang yang telah mati, dihidupkan kembali oleh Defansa, tapi pada akhirnya dibunuh juga oleh orang yang sama.
Defansa si penimbul luka. Tapi Ashlea tak pernah menyalahkan Defansa. Defansa masih terasa ada di sisinya. Setiap kali ia kelelahan seperti saat ini, Defansa selalu mengelus kepalanya sambil tersenyum hangat, mencium keningnya kemudian turun memberi energi dengan ciuman di bibirnya. Ashlea masih merasakan itu saat menutup mata.
Ashlea sama sekali tak berniat menghapus Defansa dari hatinya, meski setiap harinya luka yang ada semakin menganga.
"Aku tak menerima absen karena alasan sakit."
Ashlea terlonjak sedikit dari kursinya saat tiba-tiba suara berat itu melewati telinganya.
Rupanya Devano juga belum pulang selarut ini. Berarti sejak tadi ada Devano di sini? Untunglah Ashlea tak banyak bicara, hanya berbicara sendiri mengulas kertas-kertas di tangannya.
Setelah kepergian Devano dengan kalimat singkat namun menyebalkan itu, aura di seluruh gedung menjadi berubah.
Apa Ashlea baru sadar bahwa semua lampu sudah padam kecuali lampu di depan mejanya? Mengapa tiba-tiba menjadi seram. Atau karena dia belum terbiasa dengan tempat baru ini?
Semakin lama Ashlea semakin tak fokus. Ada saja suara yang tertangkap di telinganya. Padahal ruangan ini tak sebesar rumahnya, tapi mengapa sedikit menyeramkan di sini.
Tidak, lebih tepatnya menyeramkan setelah kepergian Devano.
"Ahh, meski pulang sekarang tak akan ada angkutan umum lagi." Ashlea melirik jam yang melingkar di tangannya, bahkan sudah melewati tengah malam. Benar-benar tak sadar jika sudah terlalu fokus.
Ini semua salah Devano yang membangunkan kefokusannya. Jika saja ...
"Ahh!" Ashlea tak bisa menyalahkan orang yang sudah tiada itu, membuang tenaga saja.
*******
Tengah malam sudah biasa bagu Ashlea berjalan sendirian di pinggir jalan, terpaksa sebab tak ada kendaraan umum lagi di jam segini.
Tak membuat dirinya takut sebab masih ramai orang-orang berlalu lalang. Mungkin sebagian bekerja lembur seperti dirinya, atau sebagian menghilangkan penat hidup, atau sebagian lagi berpikir untuk bunuh diri karena lelah.
Semua hal itu pernah hinggap di kepala Ashlea.
Gadis itu menyeret kakinya pelan, berjalan dengam menunduk tak peduli pada lampu kendaraan yang menyorotinya.
Seorang gadis, dengan pakaian pendek dan melekat pada tubuh, tanpa jaket, di tengah malam seperti ini, aneh, bukan?
Mungkin ada beberapa orang yang memiliki pikiran jahat, melihat tubuh Ashlea yang memiliki keindahan diatas rata-rata. Memang gadis itu dilahirkan untuk membuat para lelaki tertarik menidurinya. Itulah yang terjadi dulu.
Mungkin juga ada beberapa orang yang kasihan melihat dirinya. "Apakah dia tidak kedinginan?" atau "Apakah dia tidak lelah berjalan seperti itu?"
Semua itu juga pernah Ashlea pikirkan dikala dirinya pulang larut malam dan mengasihani diri sendiri.
Lantas sebuah mobil terus menyorotinya dari belakang. Ashela tak tahu bahwa mobil itu terus mengikutinya sampai bunyi klakson mobil itu membuat Ashlea berbalik pelan. Wajahnya penuh tersorot dengan lampu mobil mewah yang Ashlea tebak harganya sangat mahal.
Karena silau gadis itu menghalau cahaya dari wajah dengan telapak tangannya. Berusaha melihat siapa pemilik mobil yang mengganggu perjalanannya itu.
"Sebaiknya kau tidur di kantor jika berniat pulang di jam segini!"
Suara itu keluar dari balik kaca jendela mobil yang sedikit terbuka.
"Atau sebaliknya! Jika ingin pulang di jam segini, jangan lembur!"
Ashlea penasaran siapa pemilik suara itu sebab sorot lampu mengganggu penglihatannya.
Sadar bahwa sorot lampunya mengganggu Ashlea, pemilik mobil itu menurunkan lampu mobilnya.
Barulah Ashlea bisa melihat siapa pemilik mobil yang mengoceh di depannya itu.
"De .. fansa?"
Ashlea mendekat, dengan langkah pelan kepada seorang yang ia kenali, yang masih berada di balik kaca mobil, membiarkan kepalanya keluar sedikit sehingga bisa Ashlea lihat siapa di sana.
"Defansa? Kaukah itu?" Semakin yakin Ashlea mempercepat langkahnya mendekat, ia tersenyum, air matanya menggenang semakin ia dekat kepada sosok itu.
Ya, hanya Defansa yang selalu memarahinya seperti itu. Defansa selalu ada saat ia butuh pertolongan, dan Defansa kini datang.
'cup'
Ashlea langsung menjatuhkan sebuah ciuman di bibir lelaki itu, melumat habis menggugurkan rasa rindunya kepada sosok lelaki itu.
Ashlea sangat merindukan Defansa.