Niuuuuu ... Niuuuu ... Niuuuuu
Suara ambulan itu sudah ramai saat Ashlea datang ke tempat biasanya ia hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat.
Bukan dirinya yang menjadi sumber keributan di sana, padahal ia selalu membayangkan bagaimana ributnya orang-orang karena dirinya.
Setahun lamanya ia bertahan. Selama kurang lebih tiga ratus enam puluh lima hari, sebanyak tiga ratus enam puluh lima alasan ia terima untuk bertahan hidup setiap harinya. Meski itu hanya alasan konyol tapi memberinya kekuatan setiap harinya untuk menunda hari kematiannya.
Namun, sekarang bagaimana ia akan bertahan lagi?
Sosok yang memberinya satu alasan kecil setiap hari untuk tetap menjalani hidup itu sudah diangkat dengan tandu oleh manusia-manusia dengan baju berwarna orange, dimasukkan ke dalam mobil yang bertuliskan ambulance. Siapa yang pernah mengira, sketsa yang Ashlea buat untuk kematiannya sangat sempurna dimainkan oleh orang lain.
Dan yang lebih menyakitkan orang itu adalah pemberi alasan kecil baginya untuk hidup.
"Defan ... sa ..." Suaranya lirih, kakinya mulai berjalan lunglai menopang tubuh yang tak lagi sehat. Sudah banyak penyakit yang dikandungnya berkat berbagai obat ilegal yang ia minum agar dirinya mati.
Tapi selama setahun ini, Ashlea mulai membaik, menjalani rehabilitasi dengan dukungan dari laki-laki yang tak lagi membuka matanya saat Ashlea panggil.
"De ... fansa?" Ashlea menatap lelaki itu dari jauh, tubuhnya yang sakit ditahan oleh beberapa orang, tak diperbolehkan untuk memasuki area terlarang itu.
"Biarkan aku masuk!! Aku pacarnya! Kami akan menikah tahun ini! Lepaskan!!" Tubuh kecil Ashlea memberontak kepada beberapa orang yang tetap kekeh menghadangnya.
Pandanhannya sudah buram saking banyak ya air mata yang ia keluarkan sejak tadi. Awalnya ia tak ingin mempercayai bahwa orang itu adalah Defansa, satu-satunya lelaki yang ia percaya setelah sekian banyak lelaki membuatnya hancur bahkan sampai memutuskan untuk mengakhiri hidup. Untuk kali pertama Ashlea mencoba percaya dengan laki-laki lagi, dan dia adalah Defansa.
Saat itu ia sedikit tak percaya, tapi yang memberikan bukti kuat adalah sebuah cincin pertunangan yang tersemat cantik di jari manis lelaki itu.
"DEFANSA!!" Ashlea menangis bagai orang gila. Bahkan tanpa bunuh diri, Ashlea telah mati, bersama dengan pemberitaan di tv.
"Perusahaan asuransi menipu warga? Pemiliknya bunuh diri menghindari tanggung jawab."
"Terpaksa menggunakam uang nasabah untuk melunasi hutang ayah tiri?"
"Pemilik perusahaan asuransi adalah anak haram dan menderita kekerasan?"
Begitulah pemberitaan yang sedang viral belakangan ini. Perusahaan asuransi yang sedang jaya-jayanya mendapat bahasan positif, dalam satu malam langsung mendapat pembahasan yang negatif.
Ashlea tak pernah menyangka semua ini. Bahkan ia tak tahu bahwa pemilik perusahaan asuransi itu adalah lelaki yang setahun ini berada di sisinya.
Ayah tiri? Apalagi itu. Defansa tak pernah mengatakan itu. Tidak, lebih tepatnya Ashlea yang tidak bertanya. Jika dipikirkan Ashlea memang tidak pernah peduli pada kegiatan atau hidup yang Defansa jalani. Selama ini ia melihat Defansa baik-baik saja, jadi baginya tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Bodohnya, dia adalah orang yang setiap harinya mengeluhkan banyak hal pada lelaki itu tanpa tahu beban pikiran Defansa.
"Defansa!!" Deru tangis Ashlea kembali memuncak di sudut ruangan gelap dengan beberapa botol alkohil di sisi kanan dan kirinya.
Seberapa lamanya pun ia memutuskan hubungan dengan dunia, tetap saja Defansa tak mau hilang dari pikirannya.
Segala hal di hidupnya terlalu bergantung dan terlalu memiliki banyak kaitan serta kenangan bersama Defansa.
"Kau jahat! Kau yang selalu mengatakan bahwa ada jalan yang lebih baik daripada mati! Tapi kau--" Ashlea tak bisa lagi untuk melnajutkan kalimatnya. Suaranya tercekat, tak cukup kuat untuk memarahi lelaki itu lagi.
Defansa sudah melalui banyak hari sulit, tidak sopan jika ia memarahi lelaki itu lagi.
"Tapi bagaimanapun juga, kau memiliki aku ..." geming Ashlea penuh rasa sakit. Ia menggigit bibir bawahnya menahan tangisnya. "Kau punya aku sebagai alasan bertahan hidup, kan?"
Ashlea tak tahu harus apa sekarang. Defansa telah pergi meninggalkannya tanpa membawa kenangan indah itu bersamanya ke akhirat, pada akhirnya Ashlea yang harus menderita bersama kenangan indah yang kian semakin lama semakin pahit hingga menimbulkan rasa sakit.
*****
"Kau harus bahagia, demi aku, bisa?"
Ashlea teebangun. Semalaman suntuk gadis itu tidur di lantai dingin tanpa alas, tanpa selimut ataupun bantal. Ashlea tidur bersama dengan botol alkohol yang sudah kosong dan beberapa tumpahan alkohol di lantai.
"Defansa?" Saat bangun gadis itu langsung linglung, jelas tadi ia mendengar suara Defansa. "Defansa kau di sana?" Dengan air mata yang memenuhi kelopak, gadis itu berkelilingan di rumah megah tapi tak banyak yang bisa dinikmati selain kamar tidur utama dan dapur. Selain itu hanya ada kekacauan.
Saat sadar bahwa ia hanya berhalusinasi, gadis dengan tubuh yang sudah tak lagi tersisa tulang belulang berkat rehabilitasi, jatuh terduduk lagi. Kembali pada kenyataan pahit bahwa Defansa sudah tak lagi bersamanya.
Tangisnya pun kembali pecah di keheningan rumah dua tingkat megah dan hanya dihuni olehnya seorang.
Disaat ia masih berlinang pada hal menyakitkan, ponselnya berbunyi dari lantai atas, kamarnya.
Secepat kilat gadis itu berlari untuk mengambil ponselnya.
Ya, masih ada harapan semua itu hanya ilusi. Semua yang terjadi hanya mimpi, dan ia harus bangun sekarang. Ini hanya mimpi.
Tapi tidak. Semua ini nyata.
Alarm untuk pergi ke pusat rehabilitasi.
Alarm yang dipasang oleh Defansa agar dirinya tak lupa.
Lihat, semua hal selalu berkaitan dengan Defansa dan kenangannya. Lantas bagaimana Ashlea bisa kembali menjalani hidup normal?
Apa? Hidup bahagia? Ashlea sudah tak mengharapkan itu sejak dulu.
Ashlea menutup mata dengan sebelah tangan. Ia bangun dari tempatnya duduk. Berjalan meraba-raba ke kamar mandi. Jika ia melihat kamar ini, pastilah Defansa yang ada di pikirannya. Kamar ini seperti kamar mati dulunya, tapi Defansa ubah menjadi kamar yang layak huni.
Saat telah sampai di depan westafel, Ashlea tak melepaskan tangannya dari mata. Ada suara sesenggukan pelan yang mengisi penuh ruangan itu. Menggema menyakiti telinga. Rupanya Ashlea masih menangis meski dunia nampak gelap. Karena kenangan Defansa ada di hatinya, bukan di matanya.
Lantas haruskah Ashlea merusak hatinya, serta ingatannya?
Dengan cara apa? Selain bunuh diri, karena Ashlea sudah berjanji pada Defansa untuk tidak melakukan itu saat hari jadi ke satu tahun mereka. Tepat pada saat Defansa memutuskan untuk menggantikan Ashlea melompat dari jembatan itu.
"Aku akan hidup dengan baik, Def, tapi apa tidak bisa kau kembali? Aku minta maaf jika aku berbuat salah padamu, aku berjanji akan jadi wanita yang baik, jadi datanglah padaku kembali."
Sesak rasanya. Seperti tombak yang tak henti menusuk di jantungnya. Setiap detik, ia ingin menangis. Kehilangan seorang Defansa tidak lebih baik daripada kematian baginya.