"Morien, jaga Erina!" seru Tuan Bertilak, selagi dilemparnya kapak setinggi dirinya menuju gelapnya sela-sela pepohonan. Berganti pun Tuan Bertilak menggunakan akar tanaman berdiameter lebar untuk menghempas musuh.
Para pembunuh dari ras elf kegelapan itu pun merespon dengan mulai menyerbu kami. Tiga orang dari atas atap kastil di belakang kami, dan delapan dari gelapnya hutan Alf di hadapan Tuan Bertilak. Formasi paling ideal bagi kami adalah menempatkan Nona Erina di tengah kami berdua. Yangmana tentu membuat aku harus menghadapi tiga orang pembunuh yang menerjang turun dari belakang formasi kami.
Ini akan berat, mengingat aku meninggalkan zirahku di kamar. Sehingga aku harus lebih berhati-hati atas segala macam goresan kecil pun. Mengingat mereka adalah pembunuh, tentu tak menutup kemungkinan mereka akan melumuri senjata mereka dengan semacam racun yang mematikan.
"Tuan Ksatria, awas!" sembari ditunjuknya beberapa pisau lempar yang sedang melasat ke arah kami, oleh Nona Erina. Maka, kurespon pun dengan melintangkan bilah ulfberth sebagai pengganti tameng.
Berdenting pun pisau-pisau lempar itu kuhambat. Tiga elf pembunuh itu pun mendarat di depanku dengan baik. Aku harus kemballi bersiap dalam kuda-kuda yang matang.
Di bagian Tuan Bertilak, aku tak akan ragu. Kendati masih terdengar jeritan kekalahan musuh silih berganti.
Aku harus bisa mengalahkan mereka bertiga di depanku!
"Maju kalian!" seruku.
Kudengar selip salah satunya, "Cih, sombongnya." Sebelum menerjang pun ketiganya dalam irama yang serentak. Kuambil satu langkah ke depan agar leluasa aku menghempaskan pedang tanpa harus mengenai Nona Erina.
Dari ketiganya, pembunuh yang berada di tengah formasi mereka lah yang terlebih dahulu sampai padaku. Beradu pun pedangku dan dua pisaunya. Namun, aku harus ingat kalau yang menjadi sasaran utama mereka adalah Nona Erina. Meskipun aku belum tahu alasannya untuk saat ini.
Aku tak bisa hanya berfokus pada musuh yang sedang beradu kekuatan denganku, dan membiarkan dua musuh lain di kanan-kiriku bisa mencapai Nona Erina tanpa hambatan. Maka, kuputar bilahku melintang, dan kudorong pedangku untuk menghempas elf pembunuh di depanku menyamping. Melayang pun ia menabrak temannya yang hendak mendekati Nona Erina dari samping kananku.
Selanjutnya sisa satu orang di samping kiriku, mataku pun cepat mengejar sosoknya. Posisi pedang yang terentang ke bawah kananku, kutebas pun memutar ke atas, dan melayang menuju punggung elf itu tepat. Terpaksa pun ia memutar tubuhnya dan memfokuskan diri untuk menghadang pedangku dengan dua mata pisaunya.
Kurasa berat bilah ulfberht ini berubah semakin berat, membantuku untuk menekannya hingga berjongkok. Padahal baru sesaat lalu, beratnya masih tak seberat ini, sehingga aku dapat mengayunkannya bebas pada elf ini.
Entah bagaimana logika yang bekerja pada pedang istimewa ini. Namun, saat ini pedang ini adalah pedang terbaik yang bisa kugunakan melawan musuh-musuh cepat seperti para elf kegelapan pembunuh ini.
Kembali pada pertarungan pun, kulanjut dengan menghantar tendangan menuju punggung tak terlindungnya dengan kaki kiriku yang posisinya sedikit membelakangi tubuhku. Hancur pun kuda-kudanya, membiarkanku untuk melakukan tebasan mudah menuju samping dadanya.
Perhatianku kemudian kuarahkan kembali ke sisi kananku. Dimana dua orang elf pembunuh yang terhempas tadi, telah kembali bangkit untuk kembali menerjang. Ku tata pun kuda-kuda untuk bersiap menerima sergapan mereka. Namun, tak sedetik mereka melakukan terjangan padaku, akar tanaman lebar terlebih dahulu menghantam keduanya sekaligus dalam satu garis serang. Demikian pun pertarungan kami berakhir, meninggalkan hanya kami bertiga yang masih bernafas di depan kastil hijau.
.
.
.
"Sama seperti sebelumnya, mereka terdiri dalam satu tim sedang berisi delapan orang. Kelihatannya mereka berkemah tak jauh dari tempat ini, mengingat interval waktu singkat dari bala bantuan mereka." Tungkas Tuan Bertilak, sembari diletakannya kapak berbilah duanya di punggung.
"Kalau begitu, setelah menyadari bala bantuan yang mereka kirim juga tak kembali. Mereka pasti akan melakukan serangan skala besar selanjutnya, Tuan!"
"Benar. Kita harus segera bergerak. Namun, sebelum itu ..."
Mulai merapal pun Tuan Bertilak, bersama itu muncul alfabet kuno yang pernah kulihat dulu di Toulouse. Hanya saja, kali ini alfabet itu melayang di udara tepat di depan Tuan Bertilak yang terus merapalkan mantranya. Hingga kemudian bagaikan menabrak kami bertiga dalam satu garis tabrakan, alfabet kuno yang berputar membentuk lingkaran itu melewati kami sebelum hilang kemudian.
"... apa itu?!" celetukku tak mengerti. Tak seperti halnya Nona Erina dan tentunya Tuan Bertilak yang merapalkan mantra itu.
"Itu hanyalah mantra untuk menyembunyikan untaian pikiran kita dari telepati. Dengan begini, maka pikiran kita tak akan terbaca meskipun kita sedang bersembunyi di dekat para elf kegelapan pembunuh itu."
Sebentar, apa itu artinya sejak awal bila ia merapalkan mantra ini padaku, maka sejak awal aku tak perlu malu sendiri karena pikirannya selalu terbaca oleh mereka? Ini tak adil!
Kupandang pun sinis Tuan Bertilak dari belakang, yangmana hal itu menarik Nona Erina untuk bertanya mengapa aku membuat wajah seperti itu. Kendati itu berarti saat ini mereka benar-benar tak bisa membaca pikiranku.
"... Tapi, jangan kira aku tak mengerti apa yang sedang kau pikirkan. Meskipun, aku tak bisa membaca pikiranmu lagi, Morien! Aku tetap bisa membaca semua isi kepalamu dari wajah bodoh itu." tungkas Tuan Bertilak mengagetkanku. Padahal dia tak melihat kearahku sama sekali! "Karena memang tak perlu melihat wajahmu secara langsung untuk bisa membaca wajahmu!" serunya Tuan Bertilak lagi sembari mulai berjalan meninggalkanku bersama Nona Erina.
Membaca wajahku meski tak melihat wajahku? Apa itu? Bukankah itu terlalu curang?! Kalau begini, aku tetap akan menjadi satu-satunya orang yang pikirannya tetap terbaca, bukan!
"Jangan melamun, atau kau kutinggal!" tambah Tuan Bertilak lagi dari jarak yang sudah mulai terbentang denganku. Mengundang Nona Erina tertawa kecil atas hal ini, dan aku terpaksa harus mengejar.
Ah, ... ini memalukan.~
§
Area hutan beberapa ratus kaki dari Kastil Hijau, dengan berbekal sihir elf yang dirapalkan Tuan Bertilak, kami berhasil menekan keberadaan kami untuk dapat menghindari terdeteksi oleh para elf pembunuh yang menyisir wilayah hutan.
Bersembunyi di belakang suatu batang pohon besar yang sekitarnya ditumbuhi tumbuhan liar setinggi perut orang dewasa. Kami menahan diri untuk tak membuat gerakan karena tak jauh dari kami beberapa elf pembunuh sedang mengumpulkan ulang regu mereka.
Mungkin mereka sudah sampai di kastil hijau dan akhirnya menyadari kalau kami sudah kabur dari sana.
"Berpencar dan cari mereka! Mereka pasti belum jauh dari daerah ini!" seru salah seorang elf berkulit gelap pada pasukan berjumlah sekitar dua puluh orang.
Lokasi mereka sebenarnya tak jauh dari kami bertiga yang merendahkan diri di bawah semacam daun talas besar. Namun, dengan rapalan mantra pemblokade telepati dan kamuflase dari tanaman-tanaman besar di sekitar kami, kami berhasil bersembunyi dari mereka.
"Mereka sudah pergi, Tuan. Ayo kita bergerak ju-" celetukku yang hendak menginisiasi untuk kembali bergerak, terhenti pun dengan rentangan tangan Tuan Bertilak yang menghalangku.
"Tunggu, jangan ciptakan gerakan dulu! ... perhatikan dimana mereka berpijak tadi."
Terarah pun pandanganku pada tempat itu, dari tanah pun mulai berterbangan beberapa alfabet sejenis dengan yang dirapalkan Tuan Bertilak. Berputar dalam lingkaran kecil yang tersusun keatas alfabet-alfabet itu sebelum terjun serempak dan menyebarkan gelombang merah keungu-unguan menuju segala arah.
" ... Apa itu barusan?"
"Rune pelacak gerak. Mereka kelihatannya mulai menyadari kalau aku merapalkan rune pemblokade pikiran, yang mencegah mereka membaca pikiran kita. Karena itu mereka mengganti strategi dengan melacak gerakan di sekitar tempat yang mereka lewati."
Begitu rupanya, ini menjadi semakin sulit saja. "Jadi, mulai dari sekarang kita juga harus berhati—hati dengan pelacak gerak itu?"
"Ya, 'rune' lebih tepatnya bila mau kau sebut. Perangkat sihir menggunakan aksara kuno bangsa elf murni, yang sering juga disebut Vanir."
"Rune, kah? ... lalu, Vanir? Rumit sekali dunia ini."
"Duniamu lebih rumit, nak! Hanya saja kau tak pernah mempelajarinya."
Geh! Kata-kata menusuk khas Tuan Bertilak, akhirnya muncul juga. Terlebih lagi, cara Nona Erina menahan tawanya itu. Sial, aku sungguh menjadi terasa sangat bodoh, bukan!
Bahkan hingga tak mampu lagi Nona Erina menutupi tawa kecilnya selagi menahan perutnya dengan tangan lain. Aku mulai merasa menjadi satu-satunya anak kecil diantara dua orang dewasa ...
"Maaf, maaf ..." sebersit Nona Erina sampaikan padaku selagi mengusap air mata yang sedikit menetes di pelipisnya.
Maka, kembali aku pada topik, mengingat waktu yang kami miliki pasti terbatas. "Jadi, tentang 'rune' itu, apa kita masih bisa melanjutkan perjalanan tanpa terdeteksi, Tuan?"
"Bisa, kita masih bisa bergerak." Kembali cahaya merah keunguan yang tadi kami lihat menyebar dari rune yang disebut Tuan Bertilak sebagai pelacak gerak, melewati kami yang untungnya masih diam ditempat kami. Dilanjut pun Tuan Bertilak menerangkan setelah memastikan sekitar kami masih tak dipantau para elf pembunuh itu, "Rune yang mereka gunakan untuk melacak ini, mereka memiliki interval waktu pengaktifan sekitar satu menit. Lalu, jarak terjauh yang bisa di gapai rune ini hanya sejauh dua ratus kaki.
Dengan kata lain, mereka harus terus menaruh titik awal pelacakannya di seluasnya hutan luas ini. Dan, dengan demikian ini juga membuat tempat yang telah mereka letaki rune pelacak, tak akan mereka letaki lagi untuk beberapa waktu ke depan. Sehingga bila mempertimbangkan mobilitas mereka yang timnya hanya terdiri dari sekitar dua puluh orang mungkin mereka akan terpaksa berpencar untuk dapat tetap memancar sinar ke segala arah."
"Baguslah, kalau begitu, kita tinggal menunggu sinar pelacak itu sekali lagi, lalu bergerak perlahan." Mereka berdua mengangguk, menandakan sepemikiran.
Tak lama pun, benar sinar pelacak itu kembali bersinar melewati kami. Begitu pun dengan dua orang elf pembunuh yang berlari lewat pada jarak beberapa kaki dari kami, tanpa menyadari kami yang menunduk di antara dedaunan rindang.
Namun, aku merasa ada sesuatu yang janggal yang baru terjadi. Apa itu?
"Mereka terluka? ... " celetuk Nona Erina, mengundangku untuk menolehkan pandangan kebelakang menghadapnya.
"Mereka?" ku tanggapi pun singkat.
"Kedua elf pembunuh yang barusaja melewati kita. Kulihat jelas mereka sedang terluka pada pundak dan beberapa tempat lain.
Seakan mereka habis diserang hewan buas ..."
Hewan buas? ... bukannya predator paling berbahaya di hutan ini adalah tanaman yang memakan para hewan buas-hewan buas itu?
"Seakan mereka, sedang lari dari sesuatu ..." lanjut Nona Erina lagi, dengan tatap yang mulai menyendat pada hutan gelap yang merupakan arah munculnya kedua elf yang barusaja lewat. Tak dapat kutahanpun kuarahkan juga pandanganku kesana.
Gelap, selain sedikit cahaya rembulan yang memantul tipis pada dedaunan lebar di sekitar sana. Tak ada suara atau pun bentuk yang bisa kutangkap dari sela pepohonan yang gelap menghampar. Malahan begitu tenang tanpa ada hembusan angin di sekitar....
Janggal! ... bagaimana bisa angin di tengah hutan yang luas seperti ini tak berhembus sama sekali?
Ini janggal, seakan ada yang mengganggu perputaran hembusan angin, atau bahkan menghadang angin berhembus?
Tipis kutangkap, tapi yakin aku bila ada suatu suara yang datang dari kegelapan itu. Suara yang konstan memperdengarkan dirinya, namun kian lama kian jelas. Suara yang tak hanya datang dari satu arah, namun tetap serempak. Ini ...
"Morien, hunuskan pedangmu. Mereka datang!"
Mereka?
.
.
.
"MOOOOOOOOOORIEEEEN!!!"
... tak kusangka akan mendengar teriakan ini lagi.
Jelas pun wujud dari gerombolan monster hitam, menggugah ingatanku pada pertarungan-pertarungan sebelumnya yang juga datang saat petang.