"Manusia?" selip bibirku begitu melihatnya menyibak kudung yang sebelumnya menutupi kepalanya. Pikiranku meraba kalau ini sebuah pengkhianatan. Namun, mata tercengang dari Nona Erina mengisyaratkan hal yang berbeda.
"Siapa kau? ... bagaimana Aesir sepertimu bisa ada disini?"
Aesir?
Lirih suara Nona Erina arahkan pada sosok pelayannya itu. Seraya membingungkanku yang mendengar Nona Erina seakan tak mengenal pelayannya sendiri dengan mengatakan demikian. Padahal jelas aku mengingat kalau pelayan itu telah bersama kami sejak pertama aku sampai di kastil Tuan Bertilak ini.
"Nona, bukankah dia pelayan yang selalu bersamamu?"
Wajah Nona Erina pun terarah padaku dengan netra tergenang air mata, semakin jelas menunjukan betapa bingungnya dia akan pertanyaanku. Bahkan beberapa detik dia terpaku melihatku sebelum berucap kemudian, "... kami tak pernah memiliki pelayan di kastil ini!"
"Hah? ...."
Mungkinkah pikiranku yang kacau? Namun, tak mungkin aku mengingatnya kalau aku tak pernah melihatnya ia sebelum ini!
Pandangan kami kembali pada sosok itu secara bersama-sama, tersimpul senyumnya ditampakan pada kami. Sosok itu mengangkat tangannya menyilang pada kain jubah di pundaknya. Berbisik bibirnya kemudian dengan suara yang sulit kurekam, kecuali, "Sampaikan pada Bertilak ...."
Lalu, ditariknya kain jubah itu menutupi seluruh tubuhnya sebelum menghilang dalam udara kosong dalam sekejab mata.
.
.
.
Sepeninggalan sosok itu, kami segera menghampiri Ibu Nona Erina yang terbaring di kasur batu lonjong. Tangannya tersemat di depan perutnya dengan wajah yang begitu damai. Namun, dada yang tadi kami lihat jelas tertusuk belati hitam bermotif mawar, kini berlubang dan mulai merembeskan darah kental yang menggenangi seluruh dada. Entah hilang kemana belati hitam itu semenjak kepergian sosok manusia berkulit putih pucat itu.
"Tidak, tidak, tidak, ... jangan pergi Ibu, kumohon jangan pergi!"
Berusaha keras Nona Erina menyumbat lubang itu agar tak mengeluarkan darah lagi, aku pun tak tega menghentikannya kendati aku tahu bilamana lubang itu menjurus tepat pada jantung Ibu Nona Erina.
"..." Terhenti telapakku yang merentang hendak menahan Nona Erina di lengannya. Pandanganku terjatuh selagi kuremas telapak tangan tersebut, sedang ulfberht masih kugenggam di tangan yang satu lagi.
"Tuan ksatria, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan Ibu?!"
Aku hanya membisu dalam pandangan sedu pada dua iris mata memohon Nona Erina.
Tak lama pun suara tapak sepatu besi mengalihkan pandangan kami pada pintu masuk ruang ini. Lusuh Tuan Bertilak berdiri disana. Helm dan kapaknya ia jatuhkan sembari mengambil langkah berat mendekati tempat kami berada. Itu raut terpukul yang belum pernah kulihat dari wajahnya sebelumnya.
"Apa yang ...?"
"Ayah!" Nona Erina pun menjemput Tuan Bertilak dengan pelukan tepat sebelum terjatuh kedua lutut sang ksatria elf ke lantai marmer putih bercorak akar tanaman.
Kulihat tanganku yang masih mengenggam gagang pedang ulfberht. Terbayang aku, andai keputusanku adalah langsung menuju ruangan ini tanpa harus mengambil pedang yang pada akhirnya tak banyak bisa kumanfaatkan ini. Seandainya keputusan yang kuambil bisa lebih tepat dengan memprioritaskan menuju tempat ini. Pasti dengan demikian kami dapat mencegah sosok berkudung itu atau malah mendahuluinya sampai disini, untuk bisa melindungi nyawa Ibu Nona Erina dengan menghadangnya. Meski, mungkin aku harus bertarung tanpa senjata bila hal itu yang terjadi.
ยง
Beberapa waktu berlalu, Nona Erina dan Tuan Bertilak yang berkabung atas kepergian Nyonya Kastil ini yang tak sempat berkenalan denganku. Tentu waktu pun kuberi tak berani kuusik.
Aku mengerti kepergian salah satu anggota keluarga merupakan duka mendalam bagi siapa saja. Meskipun dalam kasusku ayahku tak untuk selamanya meninggalkan aku dan Ibu. Namun, kekosongan yang ditinggalkannya dalam hati kami tak akan bisa di isi oleh siapapun kendati Kaheed telah berusaha menutupi lubang itu di hatiku.
Terlebih mereka berdua, yang sekarang hanya akan memiliki satu sama lain sejak hari ini.
Kembali tegak pun Tuan Bertilak setelah itu, berjalan ia mendekat bersama Nona Erina. Lalu, diambilnya salah satu tangan Ibu Nona Erina, dan diciumnya lekat. Sedang Nona Erina memeluk sosok sang ayah dari samping sembari menahan tangisnya.
Selepas itu Tuan Bertilak kembalikan tangan istrinya ke tempat awal di atas perut beliau. Nona Erina pun memberikan perhormatan terakhirnya dengan memeluk mayat Ibunya dan mencium pipi dari sang Ibu yang menunjukan wajah yang begitu damai.
"Tenanglah disana, Ibu." Tak lupa sebutnya.
Begitu pun Tuan Bertilak yang memandang dalam para wajah rupawan khas elf dari Istrinya itu.
"Selamat tinggal, Elaine ...." ucap Tuan Bertilak menatap sang Istri yang pulas. Sebelum kemudian beberapa akar berdiameter empat kali lenganku, mulai merambat menutup tubuh Ibu Nona Erina hingga hanya meninggalkan wajahnya saja. Lalu, cairan jernih seperti air pun perlahan mulai menenggenangi kanan kiri wajah rupawan Istrinya hingga tenggelam pun ia di dalamnya.
Menjadikan akar yang menutup tubuh sang Istri membentuk sebuah makam. Disusul sekuntum bunga yang kemudian muncul dan mekar tepat di tengah makam itu.
"Baiklah, sekarang kita harus bergegas sebelum mereka menyerang tempat ini lagi."
"Bergegas? Kau mau meninggalkan Nona Erina sendiri disini, tuan?"
"Meninggalkan? Tentu Erina juga ikut! Kita semua akan meninggalkan tempat ini. Ayo kita bergegas, sebelum para elf kegelapan itu kembali menyerang!"
Mulai melangkah pun Tuan Bertilak diikuti Nona Erina, terpaksa kuikuti.
Aku hanya bisa berusaha memahami akan pentingnya Nona Erina yang masih bernafas bagi Tuan Bertilak bila dibandingkan dengan Istrinya yang telah beristirahat. Meskipun aku tahu kalau meninggalkan tempat yang telah lama mereka tinggali dan memiliki banyak kenangan tentunya pasti sangat berat baik bagi Tuan Bertilak ataupun bagi Nona Erina.
Aku harus bisa menghormati keputusan Tuan Bertilak.
" ... hah?!" Sang Ksatria elf memalingkan wajah dengan tatap sinis, pasti ia membaca pikiranku!
Bodohnya aku ... tapi, aku tak merasa sedang memikirkan sesuatu yang bisa menyinggung Tuan Bertilak, kupikir! Sebentar, apa tatapan sinisnya itu benar sedang diarahkan padaku?
"Kau pikir pada siapa lagi aku bicara kalau tak pada pemuda suram sepertimu, Morien!"
Suram ... !?
Dan lagi, aku sudah dewasa dan bukan pemuda lagi sekarang!
Terkikih pun Nona Erina di sampingku. Kelihatannya dia begitu menikmati percakapan Tuan Bertilak dengan pikiranku, pastinya! Tapi, kalau begitu ...
"Maaf, Tuan. Aku belum bisa menangkap maksud Tuan Bertilak." Tentu jelasku pada ksatria elf itu.
"Kau ini, memangnya seberapa suram hidupmu sampai semua bayangan di kepalamu hanya diisi kesuraman yang tiada akhir?"
Ugh! ... kuakui itu sungguh terasa menusuk.
Dihembuskannya pun nafas panjang, sebelum dilanjutkannya berkata padaku dengan nada yang lebih tenang, "Dengar, nak. Yang kumaksud dengan meninggalkan tempat ini bukan meninggalkannya untuk selamanya seperti yang sedang kau bayangkan di pikiranmu. Namun, kami hanya akan meninggalkan tempat ini untuk sementara waktu sampai perang mereda.
"Perang? ... jadi, di alam Alf ini sedang ada perang, Tuan?"
"Mmm, lebih tepatnya baru saja akan dimulai suatu perang besar yang melibatkan dua ras dari alam Alf ini." tungkas Tuan Bertilak lagi, sembari dikembalikannya pandangan lurus ke depan pada pintu keluar kastil yang telah tak jauh dari mata.
"Dua ras? Sebentar, jadi maksud Tuan di alam ini masih ada banyak elf lain yang seperti tuan dan para elf pembunuh berkulit gelap yang tadi menyerang kita?"
"Hah?! Apa kau pikir aku satu-satu elf berkulit terang yang tersisa di dunia ini? Tentu masih banyak lagi yang seperti aku, dan tentu juga yang seperti mereka ..." Diputusnya perkataannya bersama juga dengan langkah kami yang juga terpaksa harus berhenti.
Kendati masih gelap malam belum berganti pagi, namun, iris menyala yang memantulkan cahaya bulan dari sela pepohonan dan ranting di sekitar pintu kastil. Jelas mereka merupakan tentara musuh susulan yang sempat kami bicarakan hendak menyerang kembali pada percakapan tadi.
.
.
.
"Malam ini, masih belum berakhir rupanya ..." tungkas Tuan Bertilak, sembari meregangkan kapak dua bilah dari punggungnya.