Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 25 - BAB XXIV Penjaga Dua Dunia Bagian 2

Chapter 25 - BAB XXIV Penjaga Dua Dunia Bagian 2

Berselubung ikatan kain abu-abu dan hitam, dua orang elf laki-laki dengan kulit yang segelap langit malam menghadang kami di kedua sisi. Sedangkan iris matanya begitu terang memantulkan cahaya bulan di gelapnya lorong kastil.

Resah jelas kulihat wajah Nona Erina, terlebih bila mengingat kata-katanya tentang target mereka yang adalah Ibu Nona Erina yang sedang...

"Tidak, Tuan Morien!" Cegah Nona Erina selagi menarik bahuku dari belakang. Namun, pikiranku sudah terlanjur terbaca.

"Oh, jadi kau putri dari Elaine de Hautdesert? Kalau begitu ini akan menjadi 'dua burung dalam sekali lempar!'" Dijunjungnya pun pisau musuh di depanku. Seperti halnya juga elf kegelapan pembunuh yang berada di sisi sebaliknya yang juga mengeluarkan pisau di kedua tangannya.

Sial, aku lupa kalau mereka juga elf dan aku berakhir membagikan informasi. Kalau begini, bahkan untuk bertarung pun aku hanya bisa mengandalkan insting tanpa bergantung pada teknik yang telah kuasah. Aku harus melawan mereka dengan serangan spotan tanpa ada perancanaan.

Itulah satu-satunya cara menghadapi mereka yang bisa membaca pikiran!

Menoleh pun aku, kugenggam erat tangan Nona Erina dan menatapnya sambil berkata, "Percayalah padaku, Nona!"

"Hah?" tentu ia tak bisa menangkap maksud perkataanku seketika itu juga. Namun, aku tak punya pilihan selain membuatnya mengerti dengan tindakanku. Berlari pun aku menuju elf kegelapan pembunuh yang ada di sisi depanku, bersama menarik tangan Nona Erina yang sedang kugenggam.

Memincing pun tatapan elf kegelapan pembunuh di depanku, digeratkannya kulihat gengamannya pada pisau di depan dada. Bertemu pun kami ...

Aku tak boleh merencanakan serangan, semua harus bergerak secara spontan dan cepat!

Maka, kuhantamkan pun lampu gantung yang kubawa di tangan kiriku. Minyaknya menyebar di lengan kanan elf itu tak mampu dihindarinya dari jarak yang singkat ini. Lalu, saat kuda-kuda elf kegelapan itupun terkoyak, segera kurenggut tangan kiri sang elf yang tak terbakar. Mengingat senjatanya hanya sekedar pisau, maka kuputar pun lengan pergelangan sang elf yang ada dalam genggamanku, bersambung kudorong menuju punggungnya hingga terhimpit pun dia pata tembok membelakangiku.

Dentingan yang dibuat pisau sang elf yang terjatuh dari tangannya dapat ku dengar.

"Nona!" seruku kesamping. Yangmana segera dijawab dengan anggukan oleh Erina yang bersambut mendahuluiku menuju jalan yang mengarak kembali ke kamarku. Aku yang tak ingin tertinggal pun segera mendorong sang elf dengan tendanganku, hingga terguling pun ia menabrak temannya yang berlari hendak menyusul kami.

Mataku sejenak terarah pada pisau sang elf yang tergeletak di lantai, kuambil pun dan berbalik aku mengejar derap langkah Nona Erina.

Beberapa belokan kami pun melewatinya, ujung lorong yang mengarahkan pada pintu kamarku pun bisa kulihat di depan kami. Sekilas kuberpaling pada Nona Erina, terlihat kelelahan wajahnya berlari di sepanjang lorong.

"Bertahanlah Nona, tinggal sedikit lagi!"

Kembali dibalasnya aku hanya dengan anggukan, kendati hampir kehabisan nafas raut yang diperlihatkannya.

Maka sampai pun kami, dan bergegas setelah kami masuk, pintu pun ku tutup sembari menahan gagangnya. Namun, tentu para pengejar kami tak akan tinggal diam. Yangmana selang beberapa detik begitu pintu ku tutup, sembari berseru memerintahkan kami menyerah, mata pisau dari salah seorang elf itu menembus pintu kayu dari kamar ini dan berhenti di depan iris mataku.

"Jangan bersembunyi saja kau mengecut!"

"Keluar dan hadapi kami!"

Berulang mereka menggedor dan menusukan bilah pisau mereka. Namun, tentu tak akan kubiarkan mereka mendobrak begitu saja.

"Tuan Ksatria!" Dari belakang Nona Erina memawakan pedang Ulfberth padaku. Maka, kutukarpun pedang itu dengan pisau di tanganku, sembari tetap menahan dengan satu tanagn gagang pintu kayu yang mulai menunjukan sisi baliknya dari lubang-lubang yang dibuat pisau para elf kegelapan.

"Trimakasih, Nona. Sekarang mundurlah."

Nona Erina pun menuruti seperti apa yang kukatakan dengan mengambil beberapa langkah ke belakang. Kupindahkan pun peganganku dari sarung pedang menuju gagangnya, dengan sedikit melayangkannya di udara. Sehingga terlepas pun sarung pedang dari bilahnya yang kuarahkan ke bawah.

Aneh kurasa genggamanku seakan berat dari pedang yang ku pegang sedang berubah tak tentu.

Entah, apa ini yang dimaksud Tuan Kurcaci dengan menyesuaikan diri dengan pemegangnya? Yang pasti aku harus fokus pada keadaan sekarang terlebih dahulu.

"Gahk!" terkejut aku dengan bilah pisau yang menusuk miring pada telapakku yang menahan gagang pintu, sekilas kulihat senyum sang elf dari lubang yang telah tercipta di pintu sebelumnya. "Urhkk!" Berusaha diputarnya pun bilah pisau yang sedang tenggelam di telapakku, meski tak berhasil berputar bilah itu karena kutahan dengan otot-otot di telapakku. Sedikit jerit yang tertahan dapat kudengar dari Nona Erina yang menyaksikan semua dari belakangku.

Sungguh seperti bandit yang menikmati saat menyiksa korbannya tatapan yang mereka tunjukan dari balik pintu. Kuangkat pun pedangku dengan mata pedang yang kuarahkan lurus pada pintu kayu penuh lubang. Lalu, kuhunuskan sekuat tenaga sembari kudorong juga dengan seluruh tubuhku pada pintu kayu itu.

"Guahk!!" Salah satunya tertusuk telak. Menyisahkan temannya di sampingku, yang setengah tertegun melihat terjangan dadakanku.

"Kau!" pandangannya kembali memincing dan dilayangkan pun pisaunya menuju wajahku.

Sialnya pedangku ternyata tertancap sebagian menuju tembok, dan tak bisa segera ku tarik. Sedangkan sudah tak ada waktu lagi untukku menghindari bilah pisau itu. Sial ...

"Aaaa!"

Jleb!

"Urhkk ..."

Tepat di detik-detik terakhir itu pisau Nona Erina menusuk leher sang elf kegelapan, dan bersarang disana. Kendati nampaknya memang tak cukup kuat Nona Erina untuk mendorong serta sang elf pembunuh itu hingga membentur tembok. Sehingga hanya dilepasnya setelah pisau itu tertancap pada leher sang elf yang kini berdiri terpaku di hadapanku.

Nafasnya pun terbata, dan irisnya semakin mengecil menatapku sebelum kemudian mulai berkelok hendak mengarahkan diri pada orang yang menusuknya. Tetapi terlebih dulu jatuh tubuhnya kehilangan tenaga. Pasti ia sama terkejutnya denganku.

Kutarik pun pedang, sebelum kembali pandanganku pada Nona Erina. Dapat kulihat jelas betapa terpukulnya dia atas tindakat terdesak yang dilakukannya barusan. Pasti ini kali pertamanya mengambil nyawa.

Namun, saat ini kami masih tak memiliki waktu untuk itu. Maka kembali kusadarkan Nona Erina dengan mengguncang lengannya.

"Nona Erina, ..." bisikku lembut di depannya. Pandangannya kembali tertarik pun pada cahaya dan mengarah padaku. "Kita harus melindungi Ibumu dulu, Nona." tambahku, diresponnya pun dengan anggukan kembali.

"Ya, ikuti aku!" lanjut Nona Erina.

Kami pun segera menyusuri lorong panjang kastil ini kembali. Beberapa kali kami berkelok di beberapa persimpangan, tak dapat kuingat. Namun, satu yang dapat ku pastikan, kami telah menuruni tangga beberapa kali. Menegaskan kalau tempat kami saat ini, berada di suatu bangunan di bawah permukaan tanah.

Hingga sampai pun pada lantai terbawah yang terhubung dengan lorong yang di kanan kirinya di sinari semacam akar tanaman menyala, persis seperti akar pohon yang kulihat di bengkel Tuan Kurcaci di Toulose.

"Kita hampir sampai. Ibuku ada di ruangan yang terletak di ujung jalan ini."

... terangkat pun telunjuk, Nona Erina.

"Kalau begitu, ayo bergegas!"

Tapak kaki kami kembali bersambut. Namun, ternyata benar tak jauh sebuah pintu berdaun pintu dua menemui kami dalam keadaan terbuka. Raut terkejut pun ditunjukan Nona Erina yang segera berlari ke dalam ruangan, sebelum menjerit kemudian ia tersungkur di lantai.

Tentu aku pun segera menjemput dan menopangnya.

Namun itu mengantarku pada pemandangan seorang wanita yang dapat kuyakini sebagai Ibu dari Nona Erina, sudah tertusuk sebuah belati hitam bermotif mawar tepat di dadanya oleh seorang wanita yang ku ingat jelas adalah pelayan Nona Erina yang pertama kali kutemui di depan kastil ini.

Pelayan itu pun menyibakan kudungnya kehadapan kami, memperlihatkan wajah putih pucat dengan telinga layaknya kaumku, ... manusia.