Tiga kali ketukan pintu kudengar membangunkanku. Padahal baru saja aku merebahkan tubuh di ranjang selepas membasuh tubuh tadi. Bergegas pun kubuka pintu kamar, mengantarku untuk bertemu dengan wajah manis Nona Erina.
"Oh, lihat ini ... bukankah tunik cukup cocok dikenakan padamu!" dari atas ke bawah dipantaunya pun aku yang mengenakan pakaian tunik yang telah dipersiapkan di kamarku.
"Ah, ... terimakasih, Nona. Sebenarnya ini juga kali pertama aku mengenakan tunik senyaman ini. Sekali lagi, terimakasih atas keramahan kalian."
"Tak perlu kau pikirkan. Disamping itu, maukah kau menemaniku? Biar kuajak kau berkeliling."
Berkelilingkah? Bukan ide yang buruk kurasa.
.
.
.
"Kastil ini luas sekali." celetukku menelaah tembok yang ditumbuhi beberapa tanaman rambat di beberapa bagian. Sedangkan kami berdua menelusurnya dengan hanya berbekal dua buah lampu gantung yang kami pegang masing-masing.
"Hmm? Ah, iya ... banyak lorong dan ruang bersekat sepanjang matamu memandang. Bahkan aku pun saat kecil dulu sering tersesat hingga harus menangis memanggil ayah dengan telepati." Berbalik pandangannya padaku, sebelum tertawa kecil Nona Erina padaku ... memaksaku terpana padanya. "Kalau kau, bagaimana? Apa kau punya pengalaman berkesan di masa kecilmu, Tuan Ksatria~?"
Tak sengaja aku memaku bagai tersihir, namun segera kuusahakan jawabku agar tak curiga dirinya. "Ah, masa kecil ...?" Dianggukannya kepala beberapa kali begitu manis seperti anak kecil, "T-tentu...!"
"... mungkin aku akan senang untuk mendengarnya bila kau mau menceritakannya untukku?"
Sulit kuarahkan pandang pada dua netra yang seakan bersinar menujuku, "I-itu waktu aku masih berumur sepuluh tahun ... kurasa." Sekelumit ku coba melihat ekspresinya, Nona Erina ternyata masih memandangiku penuh minat, "Ya, waktu aku umur sepuluh tahun dulu. Aku pernah sekali berusaha kabur dari istana kerajaan."
"Ah, istana? ... ya, Ayahmu dulu pernah bercerita tentang ia yang menikahi ibumu yang seorang putri Kerajaan Moors. Jadi, apa itu artinya kau seorang pangeran atau semacamnya, Tuan Ksatria?"
"Calon Pangeran sebenarnya, ... karena setelah Ayah menikahi Ibu, beberapa tahun setelah aku lahir dia melanjutkan suatu misinya kembali ke Eropa."
"Mmm, aku juga mendengar tentang itu. Lalu, bagaimana lanjutan ceritamu?"
"Itu ...
Dulu aku tak mengenal hidup di luar hidup dalam istana. Makanan yang selalu tersedia tak berkekurangan, pakaian yang selalu nyaman kukenakan. Semua fasilitas selalu tersedia dan tercukupi. Aku tak pernah tahu bagaimana sulitnya hidup dan perjuangan mempertahankan kehidupan di luar sana. Sedangkan dari cerita yang kudengar dari berbagai tamu kerajaan yang datang ke istana, mereka selalu menceritakan kisah-kisah menarik dan luar biasa tentang kepahlawanan dan suatu kejadian ajaib. Sehingga aku pun berpikir kalau kehidupan diluar istana adalah kehidupan yang lebih menarik dari apa yang ada di istana.
Maka, suatu hari aku merasakan rasa penasaran akan apa yang ada diluar tembok istana. Jadi, aku menyelinap keluar melalui suatu lubang di belakang istana."
"Hmm ..., kau cukup nakal bukan, Tuan Ksatria?" sindirnya padaku dengan pandangan menggoda sembari semakin mendekat, tak kuasa membuatku tersipu menarik wajah dari pandangannya.
"Nakal? ... ya, mungkin ... bisa dikatakan seperti itu, haha!"
"Lalu, apa yang terjadi?"
"... tak ada, tak ada yang istimewa disana. Hanya pedagang yang ramai berjualan dan orang yang lalu lalang. Semua sungguh berbeda dari apa yang mereka ceritakan.
Tak ada pertarungan menegangkan melawan perompak, ataupun mahluk-mahluk mistik yang berterbangan di angkasa. Semua hanyalah orang biasa yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Sama seperti para pengawal kerajaan dan para pengurus istana dan orang-orang dapur. Lalu, mataku teralih pada sekumpulan anak di ujung jalan. Pakaian mereka jauh lebih lusuh dari diriku, dan tubuh mereka juga terlihat kotor oleh tanah dan debu.
Waktu itu, aku yang penasaran akan apa yang mereka lalukan memutuskan mendekati mereka untuk dapat berbincang. Tiga anak laki-laki bertubuh besar, dan seorang anak lain yang memiliki tubuh lebih kecil dari ketiganya. Anak bertubuh kecil itu menunduk sembari dikelilingi tiga lainnya. Lalu, salah seorang dari anak bertubuh besar itu bekata "Serahkan uangmu!"
Anak bertubuh kecil itu tak memberikan respon. Malah dia semakin meringkuk ke bawah, sebelum kemudian ketiga anak itu mulai memukul dan mendanginya. Itu pertama kalinya aku melihat pembulian. Aku yang saat itu begitu polos pun seraya berlari sambil merengek untuk menghentikan mereka bertiga dengan menarik salah satu baju dari ketiga anak itu. Ingat jelas aku, bagaimana aku berteriak "Hentikan!" sebelum kemudian di dorong jatuh oleh anak pembuli itu.
Untungnya, hal itu terlihat oleh salah seorang penjaga istana yang sedang patroli di pasar, dan segera ia mendatangi kami dan membawaku pulang." Tungkasku pada cerita itu, karena tak ingin terbawa emosi sendu kala itu. Kutarik kembali pun senyum menyanggah wajahku menghadap Nona Erina.
" ... lalu, bagaimana nasib anak bertubuh kecil yang dibuli itu? Apa kau pernah bertemu dengannya lagi setelah hari itu?"
"Ah, dia?" Kuhela nafas sebelum melanjutkannya, "... ya kami sering bertemu setelah hari itu. Karena setelah hari itu, pengawal istana yang menyelamatkanku, juga membawa anak itu. Di istana dia yang lebih tua lima tahun dari diriku dididik untuk bisa menjadi pengawal kerajaan ketika ia besar."
"Woah, jadi dia kemudian bekerja sebagai pengawal kerajaan di istanamu?"
"Ya, kurang lebih begitu ..." terhenti kata-kataku. Tak bisa kuutarakan akan apa yang terjadi selanjutnya tentang pengawal itu pada Nona Erina. Karena bila kuteruskan ceritaku, jelas aku tak akan mampu membendung emosi senduku ini.
"Hmm, sendu? ... apakah terjadi sesuatu padanya setelah itu?" tanya kembali Nona Erina, mengingatkanku kalau elf bisa membaca pikiran. Namun, bila aku mengingat bagaimana Tuan Bertilak bisa membaca identitas bahkan apa yang telah kulalui bersama Tuan Gawain, mungkinkah tiap elf memiliki kemampuan telepati yang berbeda-beda?
"Ah, kalau itu sebenarnya merupakan kasus istimewa yang hanya terjadi pada Ayah." Sambung Nona Erina memutus terka'an pikiranku, kembali ia melanjutkannya "Mungkin, akan panjang bila ku ceritakan tentang bagaimana Ayah bisa membaca lebih dari sekedar pikiran saja. Di samping itu, tentang anak kecil yang akhirnya menjadi pengawal kerajaan itu, apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?" semakin dekat pun wajah Nona Erina dibawanya padaku. Terlebih iris bagai rusa yang begitu polos itu ...
Berat sebenarnya aku hendak menjawabnya, kuambil pun nafas dalam-dalam untuk menjaga ketenanganku "... dia baru saja meninggal sekitar satu bulan lalu." Tentu pun Nona Erina menarik wajahnya seketika, namun aku sudah terlanjur mengutarakannya. Maka, kulanjut pun, "Dia terbunuh oleh monster di daratan ini, untuk menyelamatkan nyawaku..."
Andai waktu itu memiliki keberanianku sekarang.
.
.
.
Sejenak air muka Nona Erina menjadi serius, bahkan kecut ia menjatuhkan pandangan. Lalu, segera digenggamnya lenganku, ia berkata "Tuan, kastil ini sedang diserang!"
"Diserang?! Oleh siapa?"
"Para pembunuh dari ras elf kegelapan! Dan Ayah sedang bertarung dengan beberapa dari mereka di luar. Mereka pasti mengincar ibuku yang terbaring karena penyakitnya, ... alasannya biar kujelaskan di jalan. Yang pasti kita harus melindunginya apapun yang terjadi! "
Elf kegelapan? ... Apa maksudnya elf sendiri masih terbagi lagi dalam beberapa ras? Apa yang sedang kupikirkan, itu tak penting sekarang!
"Baiklah, kalau begitu biar ku ambil pedangku kemudian antar aku ke tempat ibumu."
Berbalik pun kami hendak kembali menuju kamarku, namun dua bayangan yang muncul dari langit-langit lorong, seraya memaksa kami untuk mundur.