"Bagaimana? ... bisa kau rasakan perbedaannya dengan pedang Gawain?" Menoleh Tuan Bertilak pada diriku yang menjunjung bilah unik pedang pinjaman, selepas kami pergi dari toko senjata sang tuan kurcaci.
"Lebih ringan ... mungkin?"
Ragu aku menjawabnya, lantaran pedang ini dapat kurasakan berbeda dari pedang pada umumnya. Namun, berat dan bentuk yang menjadi rasa pedang ini dapat kurasakan familiar saat mengangkatnya. Seakan pedang ini yang menyesuaikan diri dengan pemegangnya. Belum lagi bila bicara tentang pegangan kayu kecoklatan yang membungkus bagian bawah pedang ini. Meskipun aku yakin kalau ini terbuat dari kayu, namun rasa lembut yang bisa dirasakan telapak saat menggenggamnya, begitu aneh meyakinkanku kalau pegangan ini tak akan melepaskan gagang logam di dalamnya.
Batang pohon apa ini sebenarnya?
"Unik, bukan? Aku pun saat pertama kali mengangkatnya bisa tahu akan betapa besar potensi yang diberikan pedang itu pada pemegangnya. Cocok untuk dirimu yang masih bocah! Haha ..."
Ugh! ... Bagaimana bisa pembicaraan ini bisa berujung menjadi sindiran?
Meskipun tak bisa mengelaknya aku, kendati memang masih kurang diriku dalam pengalaman. Di samping hal ini, sebenarnya aku masih ragu untuk mengambil pedang yang diklaim sebagai mahakarya oleh tuan kurcaci itu. Lantaran disaat terakhir kami hendak berpisah, tatapan tajamnya masih bisa kurasakan kendati jarak kami berdua telah terpisah beberapa belas kaki jauhnya.
Belum lagi, mengingat yang dijadikan jaminan adalah pedang berharga Tuan Gawain.
"Apa ini benar-benar tak papa, Tuan Bertilak? Meskipun aku tahu kalau ini sudah terlanjur terjadi. Tapi, aku masih resah untuk mengorbankan pedang Tuan Gawain sebagai jaminannya."
" ... Tak papa. Anak muda cukup menjadi anak muda saja.
Tak perlu kau mengkhawatirkan apa yang menjadi kewajiban orang tua di sekelilingmu. Fokus saja pada pengembangan dirimu."
Entah apa maksud Tuan Bertilak dengan jawaban abstrak itu. Aku lebih baik menganggapnya sebagai tak papa. Sisanya, tinggal aku saja yang harus memastikan tak terjadi apa-apa pada pedang ini. Sehingga, nanti bisa kutukar kembali dengan pedang Tuan Gawain di toko tuan kurcaci.
"Jadi, sekarang kita kemana, Tuan?"
"Kastil Hijau, tujuan kita masih sama. Melakukan pengujian pada dirimu yang muda. Dan itu bila kau mau ku antarkan pada Ayahmu, di Alf." Kembali lurus pun pandangannya, sejalan dengan langkah kaki yang kembali serius.
Entah mengapa ia bersikeras untuk mengujiku? Lantaran manfaat dari ujian itu pun tak bisa kumengerti kepentingannya, baik dari sisi Tuan Bertilak ataupun bagi perjalananku mencari ayah. Terlebih dimana keberadaan Ayah diketahui pasti oleh Tuan Bertilak di Alf. Sebentar ...
"Ayah ada di Alf? Di sedang berada di dunia Alf, bukan dunia ini?"
"Ah, apa aku belum mengatakannya padamu sebelumnya?"
"Tidak, tuan ... anda hanya bilang kalau nanti aku akan mengetahuinya sendiri."
"Begitukah aku berkata?" Aku hanya membalas dengan mengangguk, tanpa memberikan kata-kata. Ia terlihat menajamkan pandangan padaku untuk sesaat, lalu lanjutnya "Kalau begitu biar waktu yang menjawab."
Tentu akan demikan dijawabnya ...
Kami pun kembali ke alam Alf melalui danau yang terdapat diujung suatu terowongan menurun. Lalu, dipandunya aku menelusur hutan hijau alam Alf. Yangmana ternyata masih menyimpan berbagai macam kejutan yang lebih menyejutkan daripada seekor binatang seperti kera yang di racun dan di telan tumbuhan hidup.
Hingga sampai pun kami, sedikit terkejut aku melihat keadaan bangunan yang sebagian besar bagiannya telah dipenuhi lubang dan hanya ditutup akar merambat di beberapa bagian atapnya. Entah berapa lama bangunan ini terakhir di berikan perawatan bangunan. Namun, kesan magis dalam kurasa menenangkan jiwa ketika semakin dekat dengan bangunan ini.
Lalu, seorang wanita dengan kudung jingga dan satu orang pelayan yang mengikutinya di belakang, muncul. Bagai tatapan rusa iris matanya, begitu lembut dan tak bercela. Tingginya lebih pendek dibandingkan Tuan Bertilak, namun memiliki hawa yang sama seperti Tuan Bertilak.
Dijulurkannya pun tangan anggun yang dibalut kulit putih itu. Seraya aku menekuk lutut untuk menjemput uluran tangannya. Harum seperti aroma daun basil, punggung tangan itu ku cium untuk menunjukan perhormatanku. Yangmana sudah kewajiban bagi seorang ksatria menunjukan penghormatannya pada para wanita dari tuan rumah.
"Hmm ... siapakah gerangan yang Ayah bawa ini?"
"Oh ya, kenalkan ... Morien, ini Erina, putri tunggalku. Dan Erina, kenalkan dia Morien, putra Agloval yang berpetualang hingga ke daratan eropa untuk mencari ayahnya."
"Oh, demikiankah? ... Pasti kau kelelahan setelah perjalanan jauh itu!"
Kembali aku berdiri sebelum memberi jawab, "Ah, tidak ... sebenarnya aku telah berada di Toulouse beberapa waktu sebelum kemudian menuju kesini, Nona." Mengikuti Tuan Bertilak, kami pun berjalan masuk pada kastil.
Tuan Bertilak tak bilang bila tempat bernama Kastil Hijau ini sebenarnya adalah kediaman Tuan Bertilak. Mengejutkan sebenarnya, namun kupilih untuk membaca suasana dan hanya mengikuti irama mereka.
"Oh, Toulouse? ... Pantas saja Ayah tak pulang selama beberapa waktu!" sambung kembali Nona Erina dalam percakapan kami, sembari sedikit menunjukan sekelumit pandangan untuk menjahili ayahnya dengan singgungan tersebut. Namun seperti biasa, tak ada respon apapun yang diberikan Tuan Bertilak selain hanya memberikan lirikan dengan wajah datarnya. Nona Erina pun sedikit memiringkan wajahnya padaku dan berbisik, katanya "Lihatlah Ayah, ... meski memasang wajah dingin seperti itu, sebenarnya dia pemalu, kau tahu?" selingnya dalam senyuman padaku, yang tentu pun menjadi menarik netra karena keterangan itu.
Maksudku, pemalu?! ... mengingat bagaimana wajahnya selalu datar selama ini disamping sindiran-sindiran rasisnya pada manusia. Jadi, selama ini sebenarnya dia hanya seorang pemalu?
"Hei, aku bisa mendengar pikiranmu, Morien!" tegasnya selagi tetap memimpin kami menelusur masuk.
Ah, sial! Aku lupa dia bisa membaca pikiran.
Bagaimana aku bisa tak terbiasa dengan hal ini? ... sebentar, kalau Tuan Bertilak yang seorang elf bisa membaca pikiran, apakah itu artinya Nona Erina juga ...
"Tentu! ... Lagi pula aku pun juga sama seperti ayahku, kan?" ucapnya padaku sembari menyibak kain kudung jingga. Uraian lengan ramping itu memperlihatkan padaku telinga pajang khas ras elf yang terpampang di belakang senyum ramahnya.
"O-oh! ..." balasku terbata, kucoba kembali meluruskan pandang agar tak terlalu terlihat gugup.
Entah kenapa aku berusaha memastikan hal yang sudah tentu. Yangmana, bila melihat mereka yang seakan bertegur pandangan meskipun tak mengucap kata. Pastilah dengan saling membaca pikiran mereka melakukannya, bukan?
Aku harus membiasakannya, dan menahan pikiranku sendiri sebisanya.
Kembali dipandangnya aku oleh Nona Erina, simpul senyum ia lemparkan dalam langkah yang mendahuluiku. "Santai saja, Tuan Ksatria.~" usahanya menenangkanku. Namun, tentu tetap gundah aku dibuatnya.
Kutarik pun senyum untuk setidaknya membalas perhatiannya, meskipun tentu kaku dapat kurasa senyumku itu.
Sesampainya di perempatan lorong, Nona Erina dan pelayannya berpisah dengan sebuah salam. Lalu, Tuan Bertilak mengantarkanku pada sebuah kamar yang berada di ujung lorong.
"Tuan? ... ini, bagaimana bisa?" terkejutku melihat ruangan yang ditunjukan Tuan Bertilak sebagai kamarku menginap.
"Tak perlu kau pikirkan. Bersantailah untuk hari ini, esok pagi baru kita akan mulai pengujianmu." Demikian pun Tuan Bertilak meninggalkanku di kamar dengan jendela lebar itu.
Sekilas ruangan ini mengingatkanku pada kamarku. Baik dari tata letaknya, mau pun perabotan di dalamnya. Meskipun tak bisa kubilang kalau ini sama persis seperti bagaimana kamarku dulu tertata. Namun, pencahayaan yang di berikan sinar dari selasela lubang jendala yang begitu menyerupai jendela di kamarku yang ada di Maghreb dulu. Juga bagaimana kasurnya serupa meskipun tata letaknya sedikit berbeda di tengah ruangan...
Ku letakan barang-barangku di samping tempat tidur, sembari duduk aku melepas zirah berat yang selalu ku pakai dalam perjalananku. Pergi pun aku membersihkan diri pada kamar mandi yang pintunya berada di ujung dari kamar itu. Bahkan sabun merupakan komoditi mahal pun tersedia untuk kugunakan membasuh tubuh.
"Ah~" begitu segar tiap—tiap gayungnya ku siramkan. Air mataku pun mengalir bersama aku yang tersedu-sedu.
Khawatir ... rindu ..., entah sudah berapa lama aku menekan semua perasaan itu dalam hati. Mencoba terus tegar melanjutkan langkah untuk mencari Ayah di benua antahberantah.
.
.
.
Bagaimana kabar Ibu? ...