Mematung aku mengarahkan netra pada pria tua setinggi anak-anak di hadapanku. Tatap pria itu juga mulai memincing padaku.
Menyahut pun dia atas gerak-gerikku, "Ada apa dengan matamu, apa kau punya masalah denganku, nak?!" Sembari ditenggerkannya salah satu tangan di pinggang, jelas muram wajahnya padaku.
"T-tidak, Tuan ... maksudku-"
"Ah maafkan dia, Bjon. Dia hanya tak pernah bertemu dengan kurcaci sebelumnya. Ngomong-ngomong, kudengar kau menciptakan jenis pedang baru, bukan? Bisa kau tunjukan padaku?" Syukurlah Tuan Bertilak pun segera menyela di antara kami, yangmana begitu piawai dia mengalikan topik pembicaraan dan kemarahan sang penjaga toko.
Meredam emosi pun sang penjaga toko memberi jawaban pada Tuan Bertilak, meskipun sedikit kejengkelan tersisa yang kutangkap dari tatapnya padaku. "Hmm, ... Tentu! Kemari, ikuti aku ke dapur penempaan!"
"Bodoh!" selip Tuan Bertilak tak lupa di lemparnya padaku, sebelum ikut berjalan masuk ia menuju belakang toko bersamaku juga. Salahku, kendati tak diberitahunya aku sebelum memasuki toko ini tentang sang pemilik toko yang seorang kurcaci. Bahkan, nama ras yang disebut kurcaci pun aku baru mendengarnya sekarang!
Tak terima rasanya disalahkan seperti itu, tapi aku tak ingin didengarnya mengeluh dalam pikiranku.
Berjalan pun kami masuk ke bagian belakang toko yang pintu masuknya memaksa kami berdua menunduk. Dipenuhi cahaya tempat gelap itu oleh kilatan cahaya dari pukulan tempaan para penempa di kanan kiri. Api tempaan juga tiada henti memancarkan cahaya dari dalam tungku. Sedangkan, palu bergantian beradu dengan panasnya bilah tempaan yang menguning cerah baru ditarik dari dalam tungku api.
"Bisnis produksi senjata-mu sedang laris, bukan, Bjon!" celetuk Tuan Bertilak memulai basa-basi.
"Ah, ... ya. Akhir-akhir ini para monster semakin sering bermunculan. Sedangkan, pedang kualitas menengah ke bawah sudah tak mampu lagi melukai monster-monster baru itu. Banyak desa yang hancur, banyak ksatria terbunuh. Bahkan beberapa kerajaan tengah gencar membangun kekuatan tempur hanya untuk menangani wabah monster di sekitar mereka.
Aku sungguh tak mengerti, apa yang sedang terjadi sekarang. Tapi, berkat semua bencana itu, banyak pedang patah yang harus diganti baru! ... entah aku harus bahagia atau gundah. Dan jujur saja, kami pun mulai kewalahan memenuhi permintaan pesanan. Terutama untuk pedang tingkat menengah keatas, yang kau tahu sendiri, Tuan Bertilak, penempaannya tak bisa dilakukan hanya dalam beberapa hari!"
"Begitukah? ... bukankah, para kurcaci cukup piawai menangani tekanan?"
"Tentu, untuk para kurcaci! Tapi pekerjaku seperti yang kau lihat, tak hanya kurcaci yang kupekerjakan disini. Kendati, memang tak banyak kurcaci yang bisa kutemukan di sekitar Toulouse! Sejak pertubrukan alam lima puluh tahun lalu, para kurcaci yang terlempar ke dunia tengah tersebar keseluruh dunia.
Kudengar sebagian besar di suatu kerajaan Hindu-Buddha dari suatu kepulauan yang disebut Nusantara, dan disana mereka mendapat gelar Mpu sebagai penempa senjata magis. Lalu, beberapa kelompok kecil lainnya tersebar di sekitar asia dan suatu pulau di timur jauh, yang katanya tak mengetahui tentang adanya dunia di luar pulau tersebut. Disana mereka menempa untuk ksatria yang menyebut diri mereka Bushi atau semacamnya, aku tak terlalu ingat sebutannya.
Karena itu, terpaksa aku pakai tenaga dari ras asli dunia ini, manusia. Yangmana tak setangguh dan sepiawai para kurcaci!"
Jadi, bisa dikatakan kalau kurcaci adalah ras yang piawai menempa, ya? Tapi, "pertubrukan alam?" apa ini ada kaitannya dengan sembilan alam yang Tuan Bertilak ceritakan beberapa waktu lalu padaku? Aku sungguh buta mendengar ini semua.
"Manusia, pasti merepotkan! Aku pun merasakan bagaimana sulitnya membimbing salah satunya." Dilirik Tuan Bertilak pun aku, sinis tatapannya lolos dari sela—sela visor helmnya. Aku pun hanya bisa menelan ludah mengingat salah. Selagi menikmati diskrimani ras manusia yang mereka gunjingkan antara ras non-manusia. "Oh ya, jadi, dimana senjata barumu itu?"
"Ayo, disana!" Sang penjaga toko kurcaci itu menggiring kami terus masuk.
Kami pun dihadapkan pada sebuah pintu berdaun pintu dua. Yangmana kali ini ukurannya tak terlalu memaksa kami untuk menundukan kepala. Tuan Bjon yang mendorong pintu itu mempersilakan kami masuk, memperlihatkan ruang tempaan berbeda di dalamnya. Begitu kontras ruangan yang kami masuki, dibandingkan dengan ruang tempaan di sepanjang kami berjalan tadi. Begitu rapi dan terang dengan lantai berwarna hijau menyala dan tembok putih di sekelilingnya. Suatu lampu alami dari akar bersinar yang menjadi langit-langit lah yang menerangi ruangan ini. Dan di ujung ruangan, ada suatu tungku tempaan yang api tempaannya menyala kehijau-hijauan tak seperti api pada umumnya.
"Bjon, ruang kerjamu selalu rapi seperti biasa, bukan!"
"Haha, bisa saja kau, Tuan Bertilak! Bukankah karena Tuan aku bisa memiliki ruang kerja ini. Tentu aku akan terus menjaganya rapi!" Sambil lalu, sang kurcaci pun mengambil suatu pedang dengan sarung sehitam arang seperti juga pada gagangnya, namun, bagian pelindung tangannya berwarna coklat. Ditunjukannya pedang itu pada Tuan Bertilak, yang mengambil pedang itu di kedua tangannya lalu menarik bilahnya dari sarung hitamnya. "Bagaimana menurutmu, Tuan Bertilak? Aku mencoba menempa ini dari suatu material khusus yang dikirim relasi kurcaciku yang ada di timur jauh. Material yang mereka sebut Suisei."
Gelap bercorak keperakan bilahnya, bahkan dibagian mata pisaunya corak gelapnya batuan masih bisa terlihat. Sedangkan di bagian tengah bilahnya, tergambar simbol dua ikan berciuman dengan dua garis pengurung di kedua sisinya. Tidak, ini bukan simbol, ini ...
"Alfabet Rune kunokah? ... Ulfberht, atau Wulfbirth? Apa ada makna dibalik kata-kata itu, Bjon?"
"Tentu Tuan Bertilak, karena pedang ini sebenarnya bukan pedang yang bisa anda temukan di sembarang tempat!
Maksudku, apa Tuan menyadari kalau bilahnya sebenarnya memiliki diameter dan volume lebih besar dari bilah pedang pada umumnya?"
"Bila kau mengemukannya begitu, benar juga. Lalu, apa hubungannya dengan kata yang terukir di bilahnya ini?"
Dilipat pun tangan sang kurcaci di depan dadanya, dan terjunjung wajahnya berseri-seri. Perubahan nada yang mensyaratkan kebijaksanaan dapat kutangkap begitu ia berdeham, "Ulfberht, atau bisa juga dimaknai 'lahirnya serigala.'
Tak seperti pedang lain yang seketika itu juga 'jadi' setelah proses penempaan dan tahap akhirnya selesai. Pedang ini memiliki bilah yang terlapisi lapisan tambahan. Lapisan yangmana dimaksudkan untuk menyempurnakan bilah sejati yang ada didalam bila luarnya, dengan penempaan langsung yang terjadi di medan pertempuran."
"Maksudmu pedang ini sebenarnya belum jadi?"
"Kau benar Tuan! Pedang ini saat ini masih berada di tahapan penempaan. Yangmana penempaannya hanya bisa dilakukan langsung di medan pertempuran!
Maksudku, beradu dengan pedang lawan atau senjata lain. Beradu dengan kulit keras monster dan berbagai musuh lain yang tak bisa ditebas dengan pedang biasa. Bersama dengan pengalaman pemegangnya dalam melawan berbagai macam musuh. Pedang ini akan semakin matang tempaannya, sebagai pedang paling tajam dan kuat!" Terangkat pun kepal tangan sang kurcaci ke udara. Cukup mendengarnya pun aku mengerti akan betapa unik pedang ini dibanding pedang pada umumnya.
"Pedang yang ditempa langsung dalam pertempuran, kah?" Kulihat perhatian Tuan Bertilak begitu dalam meneliti pedang di tangannya. Bagai ia sedang melihat cerminan sesuatu dalam bilahnya. Disarungkan pun kembali pedang itu pada sarungnya, sebelum menyambung kembali Tuan Bertilak. "Hei, Bjon, aku punya satu usulan!"
"Usulan, ... maksud Tuan usulan bagi pedang yang belum jadi itu?" Meninggi sebelah alis sang kurcaci.
"Ya, untuk pedang muda ini. Atau kau sudah punya rencana untuk bisa menyempurnakannya di medan pertempuran?"
"Belum sebenarnya, ... namun, apa untungnya untuk Tuan Bertilak?"
"Tidak, bukan untukku. Namun, untuk ksatria muda disampingku ini. Kendati seperti yang kau tahu kalau aku sedang mencarikan pedang baru untuknya. Jadi, bagaimana bila kau pinjamkan pedang yang belum matang ini agar dapat digunakan secara langsung di pertempuran oleh ksatria muda ini?
Lalu, setelah pedang ini matang sebagai pedang yang kau harapkan, kau bisa mendapatkannya kembali tanpa perlu memberikan upah penempaan pada ksatria bodoh ini! Bagaimana, bukan usulan yang buruk, bukan?"
Mendengarnya pun aku sedikit terkejut dengan usulan ini. Lantaran, menurutku ini merupakan kepercayaan yang cukup berat untuk dapat ditanggungkan padaku yang baru saja dikenalnya.
Bergulir kesamping pun iris mata sang kurcaci bersama tangan yang memangku dagu. Kembali ditekannya pun sang kurcaci oleh Tuan Bertilak, "Bagaimana, apa kau setuju?"