Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 21 - BAB XX Menata Kepantasan

Chapter 21 - BAB XX Menata Kepantasan

"Naif!" bersit Tuan Arthur menangkis pedangku. Mengisyaratkan tanda bahaya pada indraku. Namun, tak bisa kutangkap dimana kelengahanku.

Salah langkahkah, aku? Miring posisikah, bilahku?

Kuda-kuda baik dan posisi tegak yang dapat ku pertahankan menekan Tuan Athur, tak bisa kulihat bercelah dari sudut pandangku.

"Gertakan, kah?!" selipku di depan wajahnya. Sebelum terbalik pun pandanganku melawan cakrawala di kejauhan.

Terpelanting aku berguling mundur 'tuk menjaga kuda-kudaku. Sang ksatria emas hanya memandang datar padaku. Bagaikan telah merencanakan serangan itu, semua terjadi begitu alami dalam tataran tarian pedangnya.

Sungguh tak kusangka, bilah kami yang saling berbentur dapat digunakannya sebagai dongkrak pemukul yang seketika mendorong dan memutar tubuhku yang notabene berukuran lebih besar darinya. Terlontar pun aku hingga berputar mundur. Seakan tak ada artinya ukuran tubuh tinggi yang kumiliki ini. Tak heran puluhan monster hitam terlibas dihadapannya, dan serbuan tentara Saxon tak dapat merobohkannya.

Sang Raja Ksatria, yang terkuat dari seluruh ksatria di benua. Sungguh julukan yang pantas bagi dirinya.

Namun, aku pun punya alasan yang harus kuperjuangkan. Alasan untuk melindungi masa depan seseorang. Alasan yang sebenarnya tak memiliki kaitan dengan diriku. Tetapi tetap merupakan alasan yang penting untuk ku perjuangkan sebagai ksatria. Terlebih setelah menerima pedang pemberian Tuan Gawain. Aku harus mencoba dengan seluruh yang kupunya!

"Bagaimana, nak? Apa kau menyerah?" Tajam tatapnya.

Namun, tentu saja sudah pasti jawab yang ku punya. Ku tegakan lagi dua penyangga tubuh ku. Bilah penuh lumpur kusejajar pun lurus dengan musuhku. Itu merupakan jawaban tegasku pada pertanyaan konyolnya tentang tekadku.

Dihelanya nafas panjang, memandang langit entah mengapa. Lalu, pedang bergagang emas yang tertengger digenggamannya malah diantarnya kembali pada sarung emas di samping pinggangnya.

"APA MAKSUDMU!! KAU MAU MENYERAH BEGITU SAJA?! MANA KEHORMATANMU SEBAGAI KSATRIA? TARIK KEMBALI PEDANGMU, RAJA!!"

Hanya dipandangnya aku sebelah mata. Bagai aku benar tak berharga untuk dilawannya sebagai ksatria muda. Tentu geram aku pun menyerangnya.

Tak kusangka sampai seperti ini aku kan dihinanya.

"SIALAAAAAAAAAN!!" lepasku menyalak. Kemudian dengan langkah menerjang ku lempar pedang ke tanah. Sang Raja tetap menatap tanpa memperlihatkan niatan untuk membalas. Kuangkat pun kerah dari zirah emas yang dipakainya. Namun, tak kuasa aku untuk memukulnya.

Penilaianku menahanku untuk melepaskan tinju pada wajahnya. Kendati sedemikian hebat penghinaan yang telah dilakukannya, menyerang lawan yang tak bersenjata ... entah akan jadi apa aku bila melakukannya.

Terkulai pun kedua gengamanku melepas kerah Tuan Arthur, lututku pun menjemput tanah.

"Si ... al!" ungkapku dalam kesal. Sungguh frustasi aku dibuatnya.

"Kau akan jadi ksatria yang baik" balasnya membuatku hendak melonjak.

"Cukup, Morien! Kau sudah kalah, ... pertandingan berakhir saat kuda-kudamu terpukul mundur oleh Arthur. Itu aturan duelmu."

Tak bisa mengerti aku dengan apa yang disampaikan Tuan Bertilak yang menyela kami. Tapi aturan tetaplah aturan entah aku mengetahuinya atau tidak. Itulah sejatinya aturan yang harus kupatuhi. Terpaksa aku menarik langkah. Meskipun, sungguh berat aku mengakui itu kekalahanku dari sang raja.

"Aku berjanji akan menjaganya ... jangan khawatir, nak!" ucapnya lagi sebelum pergi.

.

.

.

Mendung langit menutupi mentari. Aku masih memancang kaki menahan pikiran kalut.

"Nak, sudahlah. Perasaanmu yang memperdulikan keselamatan gadis itu saja, sudah lebih dari cukup. Sudahilah ini dan ayo kembali bersamaku ke Kastil Hijau." Sembari ditepuknya sebelah pundakku, tatapan Tuan Bertilak terasa khawatir tertuju padaku.

"Baiklah, ... tapi biar kuluruskan dulu. Apa Tuan benar-benar tahu dimana ayahku berada?"

Membatu sesaat jawabnya tertahan. Jatuh pandangannya, disambung dengan langkah kembali ke kota.

"Ikut saja dulu, Morien! Kau akan tahu nanti!" serunya memaksaku mengejar.

Sampai pun kami kembali di kota Toulouse. Arah Tuan Bertilak, kuperhatikan tak mengarah pada jalan yang seharusnya mengantar kami ke perbatasan alam Alf.

"Tuan Bertilak, ... apa ini jalan berbeda?"

"Jalan berbeda? Maksudmu, jalan lain menuju Kastil Hijau? Tidak, ini jalan menuju salah satu toko senjata terbaik di Toulouse. Kita perlu mampir kesana!"

Toko senjata? ... mungkinkah dia mau memperbaiki kapaknya? Namun, kulihat masih baik kondisi kapak dipunggungnya itu. Bahkan, setelah ia bertarung melawan pemimpin Saxon itu! Apa ia ingin mencoba pedang? Kuharap ini tak lama.

"Baiklah, lagi pula aku hanya bisa mengikutimu, Tuan."

"Bukan, bukan untukku!" Membingungkan balasas ucapan Tuan Bertilak padaku. Yangmana bahkan bertanya untuk siapa pun belum ku utarakan. "Kau lupa, aku bisa membaca pikiran?" namun terusnya.

Ya, ... itu menjelaskan semua. Membuatku harus bertanya, "Kalau begitu, untuk siapa Tuan?"

"Untukmu, ... pedang Gawain yang terlalu berat bagimu, pedang itu tak cocok dengan gaya berpedangmu. Karena itu kau tak bisa memaksimalkan pedang itu."

"Ah, kalau itu, kurasa aku baik-baik saja dengan pedang ini, Tuan. Terlebih ini pedang yang Tuan Gawain ..." memotong kata—kataku, Tuan Bertilak berbalik padaku dan menarik pedang Tuan Gawain dari sarung pedangku. "T-tuan?" tentu kebingungan responku.

Sedang pedang itu diangkatnya horizontal di hadapanku, seakan mengandaikan timbangan dengan pedang itu. Tuan Bertilak pun mengajukan sebuah pertanyaan, "Dimana titik berat pedang ini menurutmu?"

"T-titik berat, Tuan? ... emm, mungkin disekitar bagian tengah?"

Dijulurkan pun tangan sang elf, menjadi tumpuan dibawah lonjor pedang yang masih dipegangnya horizontal. Sedangkan bilahnya tertuju lurus padaku. Sehingga lengan yang ia julurkan menjadi tumpuan, membuat pedang dan tangan itu sungguh terlihat seperti timbangan.

Ia pun melepas genggamannya pada gagang pedang itu, dan pedang itu pun segera miring dan jatuh ke sisi mata pisaunya. Membuatnya terjatuh lurus dan menancap di sela lantai batu dari jalanan kota.

"Jawaban yang benar, titik beratnya berada di ujung mata pisaunya. Yangmana hal ini membuat gaya berpedangmu yang mempusatkan gerakan pada gagang pedang, menjadi terhambat karena perbedaan berat." lanjut sang elf.

Begitukah, karena itu aku pun sempat terkejut saat tak mampu melemparkan pedang itu menuju monster hitam, saat aku melawan monster hitam yang hendak menculik anak balita pada malam penyerangan monster.

"Sebentar Tuan, sebelum menggunakan pedang Tuan Gawain ini, aku juga sering berganti-ganti pedang di sepanjang perjalananku. Dan selama aku berganti-ganti pedang, aku tak pernah merasakan kesulitan dalam mengendalikan pedang-pedang baru yang murah kubeli untuk membasmi monster liar!"

Ditariknya pun pedang Tuan Gawain, dan keberikannya padaku, selagi kembali ia menyusuri jalan.

"Itu karena pedang Gawainlah yang merupakan berbeda dari pedang pada umumnya.

Gaya berpedang Gawain yang tegas dan kokoh, memampukannya mengendalikan pedang tak seimbang yang dibuat sengaja untuk mendorong kemampuan Gawain hingga batasnya. Sehingga, mengendalikan pedang Gawain ini, sama saja dengan mengendalikan kuda liar. Yangmana membuat pilihanmu hanya akan ada dua untuk dapat memegang ppedang ini sebagai senjatamu.

Antara melepasnya, atau mengungguli kegilaannya. Dan Gawain, mampu mengunggulinya dan tercetak pun sebagi ksatria perkasa seperti yang kau temui waktu itu. Ksatria matahari, yang tak akan terkalahkan selama matahari masih bersinar!"

Tak lama pun kami berjalan, sampai pun kami pada sebuah toko senjata dengan papan nama bertuliskan "Toko Senjata Gigi Besi." Masuklah kami kedalam mendapati berbagai pedang dan senjata lainnya. "Tuan Bertilak, tumben kau kemari!" suara penjaga toko terdengar dari balik meja kasir, namun tak seorang pun dapat kulihat disana.

"Oh, Bjon, kau ada?"

"Tentu aku ada!" sahutnya kembali, sembari muncul dari balik meja kasir dengan celemek dan sarung tangan yang coklat menebal. Pria dengan ukuran tubuh setinggi anak-anak, namun, berotot padat dan janggut tebal layaknya orang tua itu, lanjut pun bertanya, "... apa yang kau cari kali ini, Tuan Bertilak?"

"Pedang! Bisakah kau buatkan sebuah pedang untuk gaya berpedang ksatria muda ini?"

Ditunjuknya pun aku, oleh telunjuk Tuan Bertilak. Memposisikanku untuk sulit untuk memasang wajah pada sang penjaga toko.