Bilah kembar sang Saxon meluncur, bersama air mata dan peluh ketakutan yang merembes dari keningku.
...
"CUKUP!!" seru Tuan Bertilak kudengar dari arah kemah, seraya menghentikan bilah kembar dari kapak sang Saxon tepat di depan pandanganku. Terdengar bunyi getar dari bilah kapak yang tertahan sang pemegang.
Aku masih bernafas. Seperti juga sang Saxon masih menghembuskan nafas, yangmana dalam nafasnya dapat kurasakan kegeraman yang tertahan. Saxon ini, ia hendak menebasku tadi dengan sekuat tenaganya.
"Pemimpin kalian telah tumbang. Sekarang pulanglah!" lanjut Tuan Bertilak, sembari melempar suatu benda yang terguling di samping lenganku. Dan itu adalah kepala pemimpin Saxon yang tadi Tuan Bertilak tantang.
Saxon musuhku memberikan sejenak pandang. Iris matanya membahasakan kekecewaan. Lalu, ditariknya bilah kapaknya menjauh dari wajahku. Helaan nafas pun kuhembus lega. Tuan Bertilak menjemput ku pun dan mengulurkan tangannya.
"Tuan Bertilak, ..."
"Simpan kata-katamu itu. Kau masih bisa bangun, kan?"
Kuraih pun uluran tangan sang elf hijau, dan ditariknya aku bangun. Pandanganku kembali terarah pada sang Saxon musuhku. Tak lagi terangkat wajah penuh geram yang sebelumya ia perlihatkan. Bahkan, kedua lengan berotot mapan itu hanya tergantung lemas dalam kuatnya genggam pada ganggang kapak kembar.
Satu teriakan pun memecah ketentraman. Arahnya dari seorang Saxon penjaga yang satunya. Yangmana ia berlari sembari mengangkat kapaknya hendak menebas menuju Tuan Bertilak.
"Tuan!!" seruku segera hendak memperingati. Namun, malah di dorongnya aku oleh sang elf agar aku tak ikut tertebas, bahkan, sebelum peringatanku terucap lengkap. Terhempas tubuhku yang lemas, tenaga Tuan Bertilak masih kuat ia lepas.
Sial, Tuan Bertilak tak akan sempat menghindar!
Bisik benakku, melihat sang Saxon musuh siap menebas dalam hanya beberapa langkah di belakang punggung sang ksatria elf. Tuan Bertilak pun menegakan pandangannya pasrah menghadapku. Sebelum tebasan tak terelakan pun terjadi. Tebasan ganas dari kapak berbilah dua, yang memotong leher hingga membuat kepala dan badan terpisah.
Berguling pun dari badannya kepala sang Saxon penjaga, sedang tubuh yang masih menggenggam kapak itu terkapar di samping kaki Tuan Bertilak. Mendarat pun aku pada tenda saxon yang telah rubuh ku tabrak sebelumnya. Keterkejutan tak bisa kusembunyikan melihat hal yang barusaja terjadi, selagi aku kembali bangkit.
"K-kenapa?!" kupandang sang Saxon lawanku sebelumnya yang baru saja menebas leher teman sesama penjaga.
" ... dia hendak menodai duel suci Ketua kami. Sudah sepantasnya aku yang mengakhirinya."
Balasnya sendu, suatu determinasi yang tak pernah kutemui sebelumnya. Bahkan, hingga menebas temannya demi menghormati kekalahan ketuanya, terlebih bagaimana ia memandang kematian di medan perang sebagai surga. Sudut pandang yang dimilikinya terhadap dunia dan perang jauh berbeda dengan kami, kurasa.
"Kali ini kami akan pergi. Namun, ingat ... untuk selanjutnya tak akan berakhir seperti ini!" tambah Saxon itu, sebelum melangkah pergi meninggalkan kami bersama tubuh rekannya yang tergeletak tanpa nyawa lagi.
"Tak kusangka aku telah lengah... " Ekspresi baru ditunjukan Tuan Bertilak akan kekecewaan pada dirinya, perhatiannya kemudian teralih padaku. "Hey nak, kau masih sanggup berdiri?"
Ku jawab pun dengan anggukan pertanyaan Tuan Bertilak. Sembari bangkit berdiri aku melangkah mengambil helm yang terlepas sebelumnya, dan kembali memasangkannya menutup wajahku. Lalu, dari balik tenda muncul tuan Athur yang dipenuhi merah dengan darah.
"OH!! Kalian datang juga?!" sapanya, merekahkan tawa.
Teringat pun aku pada kedua orang tua Vivian, sang gadis bercahaya. Menyalah amarah kurasa, seketika langkahku pun berderap hendak menjemput sang raja.
"Tunggu, Morien!" Namun, tertahan tubuhku oleh lengan ramping Tuan Bertilak.
Menahan geram erangku kutunjukan jelas. Sengaja agar sang raja menyadarinya.
"Hei, ... ada apa, nak? Apa aku punya salah?"
Menyalak pun aku segera, "APA YANG KAU LAKUKAN PADA ORANG TUA VIVIAN?!"
Raut wajah sang raja pun berubah pilu. Entah kepalsuan apa lagi itu, bahkan setelah ia berani memisahkan gadis semata wayang itu dari kedua orang tuanya.
"Jadi karena itu, ... ya, ini adalah tindakan yang perlu. Aku harus melakukan ini, Morien."
"JANGAN BERCANDA!! APANYA YANG 'HARUS MELAKUKAN INI', HAH?! KAU PIKIR SIAPA DIRIMU, HINGGA BERHAK MEMISAHKAN GADIS SEMUDA ITU DARI ORANG TUANYA?!"
"Ini perlu." Tegas pandanganya tak bisa kupahami lagi. Logika yang ia gunakan hingga menganggap hal tak berperasaan seperti ini sebagai 'perlu', entah apa tujuan dibalik itu.
"Kalau begitu, dimana kedua orang tua gadis itu? ... JAWAB KEMANA KAU MENYINGKIRKAN KEDUA ORANG TUANYA!!"
"Morien, tenangkan emosimu!" potong Tuan Bertilak berusaha mendorongku mundur, dan malah memihak raja tak berperasaan itu. Maka, kuhunus pun pedang lurus kehadapan sang ksatria dalam balutan zirah emas dan darah.
"Kalau begitu kutantang kau duel satu lawan satu!" tegasku. Sedang sang raja masih enggan menatap, hanya tertuju ke bawah dua iris biru itu. Semakin memuakan bagiku, kulanjut pun tantanganku, "Lawanlah aku satu lawan satu, dan bila aku dapat mengalahkanmu. Kau harus mengembalikan gadis kecil itu pada kedua orang tuanya. Bagaimana oh raja dari para ksatri meja bundar, apa masih ada sedikit kehormatanmu?"
"MORIEN!! SUDAHLAH CUKUP KELAKUAN- ..."
"Tak papa, Bertilak." sela sang raja ksatria pada Tuan Bertilak yang hendak menghentikanku. Dihunusnya pun pedangnya dari sarung. Meskipun, belum diangkatnya ujung mata pedangnya seperti halnya aku mengarahkan mata pedangku padanya. "Serahkan padaku." Sembari ia angkat pun mata pedang menuju padaku.
Kulihat Tuan Bertilak hendak merancu pada sang raja dengan memalingkan pandang. Namun, tak lama ia pun menyingkir dari antara kami dengan helaan nafas panjang.
"Baguslah, setidaknya kehormatan masih kau junjung sebagai ksatria."
...
"Hei, nak! Katakanlah, bila aku harus mengembalikan gadis itu pada orang tuanya saat kau mengalahkanku, bagaimana bila aku yang berakhir dengan mengalahkanmu? Apa kau tak akan mengganggu perihal gadis itu lagi?" Dalam satu tangan sang raja menghunus pedangnya, sembari menanyakan dengan nada tenang padaku.
"Tentu, ... selama nyawa gadis itu tak dalam bahaya di tanganmu. Terkait urusan kau memisahkannya dari orang tuanya, aku tak akan mencampuri hal itu lagi!"
"Baiklah kalau begitu, kan kupastikan keamanannya selama bersamaku."
Langkah kami pun saing bersambut. Bersama tebasan pertama yang saling membentur. Pedangnya yang hanya digenggam salah satu lengan pun bertemu dengan pedang yang ku pegang erat dengan kedua telapakku. Momentum hantaman kami saling memantulkan pedang kami. Membuat bilahku terpantul keatas, sedang pedang sang raja ksatria terpantul kesamping paha. Tebasan kedua kami pun kembali bersambut.
Sengit kami bertukar tebasan yang selalu berakhir terbentur. Langkah taktis ajaran Kaheed dapat di tanggulangi penuh oleh Tuan Arthur.
Langkah kaki kira selagi menebas miring, putaran penuh beserta aliran bilah horisontal kesamping. Hanya dengan langkah kecil dan permainan pergelangan tangan dari pedang bergagang emasnya, semua seranganku dapat ditanggulangi dengan mulus.
Namun, tenaga muda dan tubuh yang lebih tinggi yang menjadi keuntunganku. Jelas terlihat masih menekan sang raja untuk melangkah mundur.
Pertanda kemenangan bagiku!
"Naif!" sebersit Tuan Arthur menangkis pedangku.