Bergema teriak Tuan Arthur dari kejauhan, di tengah kepungan pasukan Saxon. Cahaya keunguan juga terpancar jelas begitu kontras dengan terangnya sinar mentari hari ini. Sungguh luar biasa, untuk bisa tetap bertahan di tengah kepungan itu.
Sedangkan aku dan Tuan Bertilak, berlari kecil di balik kemah-kemah yang telah kosong. Pandangan kami terarah pada kemah terbesar. Kemah yang berdiri megah dengan dua buah tanduk kerbau terpasang di puncak kubahnya. Dihunusnya pun kapak Tuan Bertilak, dan disibaknya kain penutup kemah tersebut. Menciptakan suatu lubang yang cukup lebar untuk membiarkan cahaya matahari masuk.
Menjerit beberapa wanita di kanan-kiri sebuah kursi kebesaran yang berhiaskan tanduk. Terancung pun pedang Tuan Bertilak lagi menuju kursi kebesaran yang menghadap membelakangi kami.
"Kau, apa kau kepala pasukan Saxon ini?"
Sebuah tangan berotot tertengger di samping kursi dapat kami lihat. Namun, satu jawaban tak kunjung diberikannya atas pertanyaan Tuan Bertilak. Beberapa wanita tadi pun berteriak sembari berlari keluar.
Masuk pun dua penjaga berbadan tinggi kekar dari pintu masuk yang berada di ujung pandangan kami. Tapak mereka begitu berat menjemput kami, namun terhenti pun dengan tangan terangkat pemimpin mereka.
"Kalau iya, kenapa?" Dalam suara itu Tuan Bertilak balaskan. Membuat gentar sedikit kurasa dari deru nada ucapannya.
"Ku mau menantangmu duel."
"Duel, ... kau mau menantang Bjornulf ini dalam sebuah duel?" Berdiri pun sang pemilik suara. Memperlihatkan tubuh tinggi besar bahkan melebihi dua pengawal berbadan kekar di kanan kirinya. Iris mata bak srigala pun diarahkannya pada kami, bak mengincar mangsa.
Hampir dua kali tinggi Tuan Bertilak dirinya. Bahkan saat di kibaskannya kursi bertanduk itu kesamping. Bagai gajah yang melangkah getarnya kaki bisa kurasa. Di bawah bayang teduh kemah besar wajahnya tersembunyi. Namun, tatap iris serigala itu tetap tajam di arahkannya pada kami.
"Kau adalah, ... mengejutkan bisa menemukan elf di dunia tengah ini." respon sang Saxon menyadari panjangnya daun telinga Tuan Bertilak.
Bahkan para monster hitam ganas itu tak semenakutkan orang ini. Dan Tuan Bertilak ... ia masih tegap menatapnya tepat dihadapan tubuh raksasa itu. Tanpa gentar sedikitpun, tanpa emosi.
"Lalu, kenapa kalau aku elf? Kau takut, beruang kutub?" menyalak malah Tuan Bertilak sembari mentenggerkan kapak yang tak proposional dengan tubuh kecilnya, pada bahunya.
"Geh, ... takut?! Jangan salah batang kering, membasmi seluruh mahluk terkutuk seperti mu adalah kesukaan bagi bangsaku."
Tak berselang lama pun dari senyum tipis yang dihantarnya setelah berucap, kapak batu di tangan pun dia tebaskan miring menuju Tuan Bertilak. Begitu cepat bahkan aku yang tak sempat berkedip melihat jelas sosok Tuan Bertilak terbelah menjadi udara kosong.
Hanya sisa bayangan Tuan Bertilak, kah?!
Berputar pun Tuan Bertilak yang menunduk menuju bagian samping pemimpin Saxon itu. Sembari kapaknya pun turut dalam rotasi dan mendaratkan bilah pada paha sang raksasa. Menetes pun darah dari luka yang timbul, meski luka itu tak terlalu dalam tertanam di paha sang raksasa.
"Boleh juga kau, Elf ..."
"Tutup mulutmu, beruang!"
Menyeringai pun sang Saxon membalas celaan Tuan Bertilak. Di hempas pun kapak Tuan Bertilak dengan mengebaskan pahanya. Satu terjangan vertikal tak lupa disusulkan lurus pada Tuan Bertilak yang segera berguling menghindar. Rotasi setengah lingkaran juga berhasil Tuan Bertilak berikan pada kapaknya dalam gulingan itu. Namun, hanya sedikit menggores pelipis dari mata kaki musuh. Mengamuk lagi pun sang Saxon menghancurkan kemah ini, dengan Tuan Bertilak yang menari dalam rotasi cantik kedua langkahnya.
Aku hanya bisa terpanah dengan betapa kuat dan cepat keduanya bertukar serang. Kendati proposisi tubuh yang jauh berbeda, keduanya bagai berdiri di titik yang sama. Saling bertukar langkah dan tebasan, bagaikan aku melihat tornado seukuran beruang yang mengamuk menghancurkan kemah.
Tak bisa aku hanya berdiam!
Ku hunus pun pedang. Sembari hati memantapkan mental untuk dapat bersambung juga dalam amukan kedua kapak. Lalu, ku ambil pun langkah tegas, ... ku terhempas!
Sakit rahang kurasa dengan beberapa nyeri di sekujur lengan dan dada. Aku terhempas?!
Debu pun memumbul dari pendaratan tak sempurna yang kulakukan. Kuangkat pun pandang.
"Bukankah ksatria negeri kalian menjunjung tinggi kehormatan? Tak punyakah kau rasa malu untuk mengganggu duel terhormat di hadapanmu?" tegas seorang dari dua penjaga Saxon yang kulihat diawal memasuki tenda. Kapak mereka terpancang silang menghalangi lubang yang dibuat Tuan Bertilak pada tenda.
Begitukah? Salah seorang dari mereka menghempas ku dengan bagian samping kapak dua bilah mereka ... kenapa tak langsung menebas?
Namun, yang lebih membingungkan adalah tentang apa yang mereka maksud dengan kehormatan. Bukannya kita sedang berperang? Bukankah wajar menyerang dan diserang di tengah peperangan?
Keduanya tak bergerak dengan gestur tetap mempertahankan silang kapak yang menghalangi jalan. Bangkit pun aku, kembali menghunus pedang ke depan. Tatap kami bertemu.
"Kehormatan? Apa maksud kalian? Ini perang, bukan?"
"Bocah sialan!" Beranjak pun salah satunya dengan nanar mata menyalak. Menerjang pun ia dengan kapaknya sembari berkata, "Kalau kau tak mengerti kehormatan, biar ku tebas kau disini sebelum kau menodai duel suci Tuan Bjornulf!!" Meluncur pun salah satu bilah kembar kapaknya menuju tempat ku berpijak.
Segera aku melompat, dan kembali melompat menghindari serangan membabi butanya.
Sungguh ganas orang Saxon, padahal kudengar asalnya mereka hanya petani dan pekerja ladang. Tapi kegesitan dan kekuatan yang mereka tunjukan, ... aku harus menata tempo untuk bisa membalas serangan.
"RRRAAAAARRGHHH!!! JANGAN LARI KAU, BRITON!"
Hancur pun beberapa kemah di sepanjang aku menghindar.
Tapi, 'Briton'? Ah, ... jadi dia mengira aku ksatria Britannia karena bersama Tuan Bertilak dan Tuan Arthur. Sial, aku terperangkap situasi yang bukan urusanku, bukan?!
Berguling kesamping aku, menghindari serangan vertikal Saxon penjaga ini. Hendak menata keseimbangan aku, namun sang Saxon terlebih dahulu menghantamku dengan bagian samping kapaknya. Aku pun terlontar, tubuh ku melayang beberapa kaki dari tempat ku berpijak. Mengantarku mendarat pada salah satu kemah lain.
Sesak dada kurasa. Sedang sang Saxon kembali melangkah untuk mendekati ku yang masih terkapar.
Tiap detak ku sungguh kencang kurasa. Nafas dan tenaga amat menekan memenuhi dada. Aku akan benar-benar berakhir kalau tubuh ku tak segera bergerak!
Terhenti pun langkah sang Saxon di depan ku. Satu kibasan menggunakan sisi pinggir kapaknya dihantamkan menyibak helm ku. Terang mentari menyinari wajah hitamku, sang Saxon menunjukan keterkejutan pun melihatnya.
"Kau ... kau bukanlah bangsa Britania, bukan? Kau orang dari bangsa selatan! Kenapa kau menjadi tentara Britania?"
Tak bisa ku utarakan suara karena sesak yang menyiksa. Ah sial, keras sekali terjangannya tadi. Aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang.
...
Hangat kurasa, air mataku menetes membanjiri pipi.
" ... takut, kah? Kau takut dengan kematian?" Diselanya pun dengan helaan berat, tatap matanya sendu melihatku. "Jangan khawatir, kematian tak seburuk yang kau pikirkan. Terlebih saat kau mati ditengah medan perang seperti ini. Percayalah, para Valkrie yang anggun dan rupawan akan menjemputmu, dan kau akan berakhir di Valhala.
Sekarang, jangan sampai kau tutup matamu. Hadapilah kematian dengan senyuman, maka Odin pun akan tersenyum padamu ..."
Setelah kata-kata itu, diangkatnya bilah kembar kapaknya memantulkan setitik terangnya sinar mentari menuju netraku. Lalu, meluncur pun lurus tepat ke arah wajahku.