Terbayang dalam anganku lambaian di atas senyum bak mentari sore kedua orang tua gadis bernama Vivian itu. Kalau tak salah kejadiannya, tepat sebelum aku bertemu Tuan Gawain. Rasa roti yang diberikan si gadis kecil, keramahan yang bertolak belakang dengan penghakiman sekeliling.
Mereka sungguh orang baik...
Gelegar tergebrak kencang dua daun pintu kayu penginapan. Nafas terenggah dan peluh deras tak ku gubris. Melangkahku mendekat kasir, mendaratkan siku di datarnya meja...
"Tuan Arthur, Sang Raja! Kemana perginya Sang Raja?" Terkejut pelayan penginapan, melihat kemunculanku yang terengah-engah di meja kasirnya. Namun, aku tak menyerah, ku ulang kembali pertanyaan yang sama. "Kutanya kemana Sang Raja Arthur pergi membawa gadis itu!"
"M-mereka bilang akan pergi ke Britania. A-apa ada masalah, Tuan?" balas sang wanita muda, selagi memandang ku resah.
Tak kujawab, berbalik ku pun mengejar sang raja.
"Aku harus menghentikannya!!" lantur lidahku, menarik perhatian segenap mereka yang kulewati di jalan kota. Tujuanku tak lain adalah gerbang kota. Gerbang tempat aku bertemu dengan sang raja pertama kalinya.
Sepi tak seperti pertama kumelihatnya.
Pasti dampak tragedi monster yang lalu ... akalku terhenti seketika. Aneh. Sepi tak cukup menggambarkan ini, bukan?
Menggempar pun gerbang raksasa yang tadi tertutup bagi dunia luar. Beberapa pria dengan kapak dan perisai bundarnya, ditambah topi bertanduk di kepala.
Siapa mereka? Perompak?
"GRAAAAAA!!!" seru beberapa, layaknya singa dan beruang yang beraliansi. Sepatah kata pun tak kulihat hendak di berikan tatap mata itu. Bahasa tubuh yang diberikan mereka, nafas mereka, sungguh aura membunuh yang luar biasa.
Meresponnya, tanganku menghunus pedang tanpa diperintah. Bahkan kaki terhentak karena geram mereka. Teriak ku mengudara ...
Itu bersamaan dengan serbuan para perompak yang menyerbu ke dalam kota. Seruku, seru mereka, pedangku, kapak mereka.
"HHAAAAAAAAAA!!!"
... matilah aku.
Demikian bisik anganku saat salah seorang dari mereka mengudara dengan kapak besarnya yang terangkat di atas kepala. Sedangkan di belakangnya, teman-teman sepasukannya sudah bersiap menerima elakan yang hendak kubuat.
Lurus pun lintasannya tepat menuju ujung helm yang menutup wajahku. Menyamping pun tubuhku dengan satu langkah. Satu tanganku melepas genggaman pada gagang pedang, dan merenggut satu kaki perompak yang melayang dalam jangkauan ku.
Berputar dengan poros tumitku, kukerahkan tenaga menarik pergelangan kaki itu dalam kesempatan yang tercipta. Bagai ledakan, tenaga yang membantuku melontarkannya. Ia jatuh tersungkur dengan menabrak rekan-rekannya.
Suatu gerak yang tak kusangka bisa kulakukan. Tubuh ini merespon seakan tak ada kendali dari diri.
...
Senyap mereka, memandang rekan perompak mereka yang tersungkur di tanah.
Sama hal nya dengan ku, yang terkejut kaku. Mungkin aku bisa melakukan ini?
Aku bisa!
Kembali ku berseru, langkah kaki ku tata dalam kuda-kuda yang diajarkan Kaheed dulu. Pedang berat yang sudah biasa kuangkat, ku hunus lurus ke arah pada perompak. Turut teriak pun mereka, menyerbu ganas kearahku.
Ini tak lebih sulit dibanding melawan monster harusnya.
Kutarik turun pun pedang kesamping paha. Gelombang pertama menyerang.
Jumlahnya ada tiga. Seorang dengan perisai, dua lainnya hanya kapak. Tak jauh jarak mereka antara satu dengan yang lain. Aku dapat memanfaatkannya.
Ku ambil pun langkah sejajar dengan pria paling kanan, dan ku putar tubuh menghantamkan pinggir bilah pada tangan kiri pria terkanan.
Cukup berat. Namun, aku dapat mengungguli mereka. Terlebih posisi kapak yang hanya di pegang tangan kanannya saja.
Detik tubrukan bilahku, tak memberikannya kesempatan melawan balik. Malah dia menabrak teman sebarisannya. Dan terpelanting pun mereka, meski pria paling kiri sempat melempar kapaknya sebelum terhempas juga.
Tapi, kapak yang dilempar tanpa pijakan baik, tentu tak mudah mengenai sasarannya. Seperti saat ini, yang melayang kesamping pelipis helm ku dan hanya menggesek sedikit sebelum lanjut menabrak dinding.
Selanjutnya lima.
Tiga menerjang dengan kapaknya. Sedangkan dua menghadang jalur lari ku dari terjangan.
Berguling pun ku kebelakang, sehingga kapak ketiganya meluncur kosong ke lantai.
Melihat kepungan kawannya gagal, dua lainnya pun berganti menyerang. Seru mereka masih seperti sang raja hutan. Berlari bersamaan, sembari menesbaskan kapak menyamping menuju ku.
Kuambil pun kuda-kuda.
Berhubung mereka menerjang, satu langkah kebelakang sembari memutar pukulan sisi bilah akan mampu menghempaskan mereka sekaligus. Dan, mereka datang ...
"GUHAAAAK!!"
"GHAAAAKK!!"
Keduanya terpelanting, bukan oleh pukulanku.
Bahkan aku masih belum sempat bergerak. Namun, akar pohon yang mengamuk bagai belalai gajah itu, meluluh lantakan seluruh gerombolan para perompak.
... ini, Tuan Bertilak!
Kupalingkan pun wajah.
"Sudah kubilang tunggu dulu, bukan?! Kenapa manusia muda selalu tergesah-gesah memutuskan segala sesuatu?" Sosok ksatria elf itu berjalan tenang dengan akar yang menjulur dari tangannya.
"T-tuan? ... kupikir anda ..."
"Tidak perduli? ... Ya, aku mendengar pikiranmu dengan kencang. Tak bisa kusalahkan sepenuhnya, namun, setidaknya kau dengar dulu orang yang hendak berbicara!"
Ia berjalan melewatiku, perhatiannya berpindah pada salah satu perompak yang tergeletak karena amukannya.
"Saxon!"
"Saxon? Maksud tuan, mereka bukan perompak biasa?"
"Perompak? ... kau pikir perompak mana yang berani menyerang suatu kota hanya dengan lima belas orang saja?
Mereka adalah suatu tentara dari bangsa Saxon di utara. Dan lima belas orang ini, mereka pasti adalah regu pengintai yang dikirim untuk memastikan keadaan kota."
Cemas tersirat dari gelagat Tuan Bertilak.
Saxon, aku pun pernah mendengarnya. Mereka bangsa yang tak kalah buas dari bangsa Vandal. Memiliki ambisi besar untuk memperluas wilayah, mereka aktif melakukan invasinya dengan membabi buta. Bagai nyawa tak ada harganya buat mereka.
"Jadi, apa kita harus melakukan sesuatu pada lima belas orang ini, Tuan?"
"Tidak, biarkan mereka di tanah di penjara kota. Karena kalau lima belas orang ini benar adalah regu pengintai saja, itu artinya, pasukan besar sedang menunggu tak jauh dari gerbang kota yang terbuka ini. Sedangkan, sihir untuk menyembunyikan kota masih belum pulih.
Kau masih bisa mengangkat pedang, bukan, Morien?"
"Y-ya, kurasa?" Gelagatku dalam resah.
Maksudku, tentu aku tak papap dengan hanya satu kelompok kecil saja. Namun, seluruh pasukan? Meskipun tak diragukan seberapa kekuatan tempur yang bisa dilakukan Tuan Bertilak. Namun, tetap saja, untuk menghadapi satu pasukan dengan hanya dua orang saja, ini terlalu mengkhawatirkan.
"Tenang saja, nak. Ini tak akan menjadi seperti yang kau bayangkan.
Maksudku, tentu kita tak menyerang dari depan!"
"Tapi Tuan, meski kita menyerang mereka dari belakang, kalau kita hanya melakukannya berdua, bagaimana kita bisa kabur dari kepungan mereka nantinya?"
Ditepuknya pundakku, sambungnya "Ikuti saja aku. Mengerti!"
Aku tak punya pilihan selain menganggukan kepala. Meski entah bagaimana dia akan menjalankan rencananya.
Kami pun meninggalkan kelima belas Viking yang tak sadarkan diri, untuk dipenjara di penjara kota. Lalu, dengan merapalkan mantra yang pernah Tuan Bertilak rapalkan untuk melacak para monster beberapa malam lalu, kami pun menjejaki kemah musuh.
Tak sedekat perkiraan kami rupanya mereka berkemah dari Toulouse. Mungkin karena mereka tak tahu lokasi pasti Toulouse yang di sembunyikan sihir, sehingga mereka hanya bisa menerka dan memantau saja.
Namun, yang mengejutkan adalah jumlahnya. Sekitar tiga puluh kemah pasukan dan satu kemah besar ditengahnya. Mereka benar-benar berniat merebut kota.
"Kita akan menyerang komando pasukan mereka." Celetuk Tuan Bertilak, sembari menunjukan jari pada kemah paling besar di tengah perkemahan musuh.
"Jadi kita akan menunggu malam?"
"Tidak, menunggu malam malah memperburuk keadaan. Mengingat mereka suka melancarkan serangan pada malam hari. Kita harus menyerangnya sekarang!"
"Lalu, bagaimana kalau kita terkepung?"
"Untuk itu tenang saja ..." ucap salah satu suara dari samping kiriku. Menarik ku memalingkan wajah segera.
"Tuan Merlin?! Kenapa anda berada disini, bagaimana dengan gadis- "
Terhenti kataku, menemukan sang gadis Vivian berada di belakang Tuan Merlin sembari berpegang pada jubah Tuan Merlin.
"Untuk itu, ... biar nanti kita berbincang. Yang lebih penting, lihatlah ke jalan masuk perkemahan!"
Kuarahkan pun pandanganku kesana.
Berdiri dengan zirah emas berkilaunya, Tuan Arthur pun mengangkat pedang sembari berteriak.
"KEMARI KALIAN, SAXON!!"
Tentu pun para pasukan dari dalam kemah musuh mendengarnya dan mulai membanjir untuk menyerang Tuan Arthur.
Apa yang Tuan Arthur ... ?!
"Pengalih perhatian!" potong Tuan Bertilak pada ku. Membuatku semakin penuh tanya.
"Aku- "
"Sudah, tak perlu banyak memikirkannya! Berhubung sekarang sudah tercipta kesempatan, ayo kita serang!"
Berlari pun Tuan Bertilak meninggalkan kami, terpaksa membuat aku untuk mengikutinya juga.