Bagai ketapel Tuan Bertilak menjatuhkan dirinya pada genangan danau tersebut. Namun, satu riak pun tak tercipta kedati begitu kencang Tuan Bertilak jatuh.
Apa ini? ...
Ragu aku sebenarnya, namun rasa ingin tahu memancing langkahku selangkah mendekat. Sedang tanganku terjorok ke depan, tarikan pada tubuhku semakin kurasa kuat menjeratku.
Teringat pun kata Tuan Bertilak sebersit tentang 'jangan menahannya'.
Entah apa aku harus benar-benar mengikuti usulan itu. Sungguh mencemaskan! Meskipun Tuan Bertilak, telah meluncur terlebih dahulu di depanku. Kembali kuambil selangkah pun, meski kuatir masih diriku ...
"WOAAAA!!" Jerit tak kuasa kutahan, kendati tubuh kurasa begitu kuat tertarik ke dalam danau. "Akh! ..."Hingga tergelincir aku, dan jatuh pun di tangga menanjak ...
Menanjak?
Berbanding terbalik dengan gua hitam yang kami turuni tadi. Saat ini, gua yang terbentang mengelilingi anak tangga menanjak begitu putih bak marmer.
"Pffft!" Tuan Bertilak duduk di anak tangga yang tak jauh dari diriku, menahan tawa yang hendak meledak. "GYAHAHAHAHAHA!! PAYAH SEKALI KAU, MORIEN!" Namun tak bisa kelihatannya ia menahan tawa itu, yang bahkan ia keluarkan dengan sekuat tenaga.
Menyebalkan. Padahal sikapnya selalu dingin!
" ... mm, bisakah anda berhenti tertawa?"
"Gya ha ha ha- uhk, uhk! ... maaf.
Tapi, kau payah, bukan, Morien?!"
Serius? Apa perlu kau mengungkitnya terus menerus!
"Tidak, bukan begitu maksudku, nak! Hanya saja, bahkan Gawain yang bodoh itu tak sampai terjatuh sepertimu di saat pertamanya masuk kesini! GYA HA HA! ..." Demikian pun ia kembali terbahak-bahak.
.
.
.
Kubersihkan sedikit debu yang menempel, sebelum kembali melangkah aku menaiki tangga putih ini.
Padanganku yang mengarah pada pintu keluar, terhalang silau cahaya mentari. Menandakan ujung gua ini berada di tempat terbuka. Bahkan hembusan angin bisa kurasakan dari sini.
"Jadi, di depan sana letak kastil hijau yang menjadi tempat tujuanku. Memangnya tempat apa itu, Tuan?"
"Tempat pengujian ..., Gawain ingin kau menguji dirimu, singkatnya!" Tak menoleh Tuan Bertilak dalam langkah konstannya, selagi kembali ke nada dinginnya. Entah kemana perginya wajah riangnya barusan? "Aku bisa mendengar pikiranmu, bodoh!" tegas Tuan Bertilak.
Ah, sial! Aku lupa.
"Menguji? Kenapa Tuan Gawain mau mengujiku, Tuan? Apa perlu teruji untuk dapat menemui ayahku?"
"Tidak, hanya saja, itu yang dilakukan seorang ksatria, kau tahu. Hal tentang keksatriaan dan kemurnian hati. Gawain pasti ingin melihatnya dari mu, seperti dulu dia menunjukannya padaku ..."
"Pada anda? Dulu Tuan Gawain pernah menguji dirinya? Untuk apa?"
" ... kalau kau bertanya untuk apa, mungkin hanya untuk membebaskan diriku dari kutukanku." Singkat Tuan Bertilak, sembari membersitkan lirih yang dalam di akhir kata—katanya. Memaksa ku enggan menanyakan masa lalu lirih itu.
Cahaya di puncak tangga pun kami jemput.
Sejuk udara diluar, dengan kicauan burung-burung kecil bersayap empat. Bagaikan dunia fantasi bila bisa kugambarkan. Bunyi deru air sungai yang merdu dibawah batang pohon raksasa yang menjulang menyilang awan di atas kami. Juga berbagai hewan unik yang tak pernah kutemui sebelumnya.
Bila mengingat bagaimana awal kali kami bertemu, dimana Tuan Bertilak marah padaku karena aku manusia yang hidup di alam yang katanya bersahabat dengan kami. Bukankah alam ini terlihat jauh lebih hijau dan indah dibandingkan dengan duniaku yang masih sering tertimpa kekeringan dan hama?
"Mungkin begitu kalau kau hanya melihatnya secara sekilas. Lagi pula, dunia ini memang dunia yang munafik!" tungkas sang elf atas pikirku, tanpa menghentikan langkah menelusur hutan lapang berlantai lumut ini. Sekilas geram dapat kurasa ditunjukan tipis dalam nada bicara Tuan Bertilak.
Telunjuknya teracung pada pinggiran kubah hijau bersela luas yang menutup langit. "Lihatlah!" lanjutnya. Menggiring pandangku pada hewan seperti kera dengan sayap dan capit di kedua tangannya. Hewan itu menempel terbalik dengan tatapan terkunci pada sebuah buah merah, yang menggelantung segar di hadapannya. Lalu, menerjang pun sang kera mendapati buah itu, dan membawanya melayang ke balik batang hijau mengkubah. "Itu bagaimana predator utama di hutan ini mendapat makan siangnya dari mahluk yang lebih lemah." tambah Tuan Bertilak sembari berjalan lagi meninggalkan topik pembicaraan itu.
Tak lepas enam langkah ku ambil dari tempatku, suara sesuatu terjatuh menarik atensiku untuk memalingkan pandangan. Yangmana itu adalah buah merah yang tadi menggantung menggiurkan yang telah di petik sang kera. Namun, dengan sebuah lubang gigitan di satu sisi, sembari cairan kental oranye berasap tipis meluber dari dalamnya.
"Apa yang ... ?!" luputku menahan keterkejutan. Yang tak lama pun jatuh sosok pemitiknya tadi. Terkapar lemas dengan rahang yang hancur meleleh, sebelum bumi menelannya dalam renggutan serat-serat hijau perambat.
"Seleksi alam, ... atau mungkin, lebih tepat dikatakan dominasi alam. Tapi begitulah perbedaan alam ini dengan alammu, ... manusia. Buah yang membunuhmu dalam satu kali gigitan; danau yang menguapkan gas halusinasi untuk menarikmu ke dalam; bahkan, siulan angin yang mengingatkanmu pada suara panggilan orang tercinta yang akan mencincang mu bila kau dekat.
Dunia ini dipenuhi sihir dan tipu muslihat. Rasa lapar, rasa ingin tahu, rasa ketertarikan, bahkan cinta. Kau harus berhati-hati dalam merespon apa yang ditawarkan sekitarmu di dunia ini. Karena seluruh alam ini diciptakan untuk menternak mahluk-mahluk di dalamnya."
"Jadi, ... kalian para elf tak mencoba melakukan sesuatu untuk menanggulanginya?"
Terhenti langkah kaki ramping itu. Sebersit sendu terbisik lewat gestur tatapan jatuh.
"... Tentu kami berusaha, namun semua tak semudah hanya menebang pohon atau membunuh mahluk penyebabnya. Pertahanan diri alam terhadap penyerang juga tak kalah cerdik. Bahkan untuk hanya menebang pohon besar ini, resiko kekeringan dan kehancuran ekosistem juga perlu kami pertimbangkan."
"Maksud tuan, dengan menebangnya, pohon itu akan mengamuk?"
"Tidak, tak ada perlawanan yang akan dilakukan tumbuhan aktif itu pada penebangnya. Namun, ... alam disekitarnya, akan dia hancurkan bersama dengan kematian dirinya. Bagai racun alami yang tak memiliki penangkal. Sungai mengering, tanah memerah, bahkan angin yang biasa menghembuskan kehidupan pun ia ubah menjadi puting beliung berapi yang memusnahkan apa yang dilewatinya.
Hal itu yang terjadi di daerah selatan ..."
... tak tahu aku harus menanggapi bagaimana? Hanya kembali mengikuti langkahnya yang kubisa, kendati simpati pun tak akan mengubah hirarki alamnya itu.
Tak heran sifatnya begitu dingin dan sendu.
Meski tak bisa aku bilang kalau aku tak menyukai sifatnya itu. Kendati sifat yang begitu tak berpihak pada siapapun, .... Terhenti nalarku mengingat kejadian sebelumnya di penginapan.
Aku yang salah.
Kukira, saat bangun kembali, aku cukup mengikuti arahan Tuan Bertilak saja tanpa harus mencemaskan apa yang terjadi pada Tuan Arthur dan kedua orang tua sang gadis di penginapan. Kukira, dengan bagaimana Tuan Bertilak pernah membelaku di depan penduduk Toulouse, ia pasti juga akan perduli dengan apa yang akan Tuan Arthur lakukan pada sang gadis. Kukira, aku bisa percaya- ...
"Hentikan, nak. Apa yang mau kau lakukan?"
Berpaling pun aku segera, sembari kupacu kakiku menuju gua tempat aku datang tadi berada.
"HEI, MORIEN!!! ... KUBILANG, DENGARKAN DULU!!" serunya lagi, semakin jauh bergema.
Tak ku gubris lagi, hanya langkah ku yang semakin ku gencar.
Sejak awal, Tuan Bertilak bukan peduli pada manusia dan sekitarnya. Dunia yang dominan, lingkungan yang kejam. Emosi Tuan Bertilak telah lama mati sejak dulu dan ia hanya tak berpihak pada siapapun. Tidak pada aku, tidak pada Tuan Arthur. Baginya semuanya hanya mahluk hidup lain yang menjalankan kehidupan mereka dengan cara mereka sendiri. Dia tak bersimpati, ataupun ikut campur ... semua hanya berjalan sebagaimana mereka berjalan baginya.
"SIAALLL!!!"