"Anda!! ... Tuan Gagak Gurun?! Bagaimana anda bisa disini?" Berpaling pandangan mereka padaku, kulihat pakaian mereka begitu lusuh dengan beberapa sobekan baju dan luka gores di dalamnya.
Entah apa yang telah terjadi pada mereka. Yang pasti, mereka pasti merasa khawatir pada anak gadis mereka.
"Ah, soal itu- ... disamping itu, kalian mencari anak kalian, bukan? Sebenarnya aku yang menemukannya tergeletak di luar tembok kota.
Lagi pula, apa terjadi sesuatu pada kalian?" Tak kuasa aku memberi tahu yang sebenarnya tentang serbuan para monster dan hal ajaib yang dilakukan gadis itu. Karena bila aku menjelaskan semua, jangan-jangan kedua orang tuanya ini terkejut lalu pingsan, seperti saat aku menyelamatkan mereka dulu dari serangan monster. Untuk itu, kupilih kata—kataku baik-baik.
"Ah, ini ... semalam, saat kami sedang dalam perjalanan menuju kota ini dengan karavan kami. Tiba-tiba dari kegelapan karavan kami tertabrak oleh belasan bahkan puluhan bayangan hitam. Membuat karavan kami terguling, dan putri kami pun turut menghilang saat itu."
Bayangan gelap, pasti itu para monster yang telah di rasuki iblis, yang menyerang kota ini.
"Disamping itu, dimana putri kami sekarang? Bisa kau mengantar kami padanya?" Tambah sang suami pada ku atas kekhawatirannya.
"Tenang, putri kalian sekarang masih sedang tidur sehabis dirawat oleh pemilik penginapan ini. Mari saya antar!"
"Tunggu dulu, anak muda." Terhenti pun langkahku yang terhalang Tuan Arthur, sang ksatria berzirah emas.
Tegas tatap matanya, selagi tangannya terlentang menghalangi langkahku.
"Tuan Arthur, ada apa?"
Tertunduk Tuan Arthur sesaat, lalu didorongnya pundak ku kesamping. Membuat ia bertatap langsung dengan kedua orang tua sang gadis.
"Maaf, tapi aku akan membawa anak kalian ke Logres." Ucapnya dengan tatapan tegas, meskipun nada yang terlantun begitu sendu pada kedua orang tua sang gadis.
Kedua orang tua sang gadis itu pun terjatuh di lututnya. Iris mereka bergetar, sedang mulut yang ternganga menghadap lurus pada zirah emas Tuan Arthur.
"Yang mulia!~" Begitu lepas tutur keduanya dengan nanar mata yang menengadah.
Mengapa mereka memanggil Tuan Arthur dengan sebutan Yang Mulia? Dari cara mereka bertingkah, apa mereka mengenal Tuan Arthur?
Penuh misteri bagiku keadaan ini. Banyak yang tak bisa kutangkap, terlebih setelah mendapatkan informasi tak masuk akal tentang unsur dunia dan semacamnya dari Tuan Bertilak. Namun, tak lama pikiran penuh rasa ingin tahuku melayang.
Dari meja makan di samping kami, Tuan Bertilak pun menyahut, "Itu karena dia Arthorius Pendragon, Raja Logres sekaligus penguasa seluruh daratan Brittania. Sehingga tak ada penghuni daratan ini yang tak mengenalinya kecuali kau."
"Raja? ... Tuan Arthur, seorang raja?!"
"Ya, ... aku raja dari satuan ksatria meja bundar. Kesatuan ksatria tempat ayahmu bernaung didalamnya, nak."
Sungguh sulit untuk dipercaya, melihat seorang raja berpergian sendiri tanpa ada pengawalan ketat dari pasukannya. Tapi jika mengingat betapa kuatnya Tuan Arthur di pertarungan mempertahankan kota ini, pantas saja ia tak memerlukan penjagaan kendati dirinya Raja.
Mengesampingkan soal itu, kedua orang tua sang gadis bersungkur pun sembari memohon pada sang raja. "Kenapa, Yang Mulia? Kenapa anda mau membawa anak kami? Salah apakah kami, Yang Mulia?"
Menggenggam erat tinju sang Raja Lodgres, sendu pandangnya meski ia pertahankan postur tegap di hadapan kedua orang yang tersungkur itu.
Pastilah ini berkaitan tentang apa yang Tuan Bertilak katakan soal 'gadis pemegang perjanjian kehidupan'. Tertarik pun irisku tuk menatap sang elf yang biasa menyanggah pikiranku, namun ia tak memberikan respon.
Sungguh tak bisa kupahami keputusan yang dibuat oleh Tuan Arthur. Meskipun jelas kulihat apa yang bisa dilakukan gadis itu pada gerombolan monster tadi malam. Namun, untuk memisahkannya dari kedua orang tuanya ... aku pun tahu bagaimana rasanya terpisah dari orang tua. Memang alasan apa yang bisa membuat ia tega memisahkan mereka begitu saja. Apa karena siapapun yang akan berada di samping gadis itu akan dalam bahaya?
"Hei, Tuan ... maksudku, Raja ... setidaknya biarkan dia bertemu kedua orang tuanya. Tidak bisakah?"
Melirik pun sang raja pada diriku, irisnya berkaca-kaca menahan air mata. Tapak kaki kecil pun kudengar dari ujung tangga, menarik perhatian kami semua.
"Ayah, Ibu ..." Sembari muncul sang gadis dari lantai dua.
Kedua orang tuanya pun segera bangkit, saat sang raja memberi sebuah isyarat pada Tuan Merlin sang musafir, yang masih duduk di meja kami.
...
Bunyi ketukan beralun lembut di telingaku, bagaikan tetesan air di permukaan danau tak beriak. Kesadaranku pun menghilang.
§
Lemas seluruh tubuh kurasa. Sedang suara tapak sepatu besi mengetuk rima di ujung pendengaranku. Terguncang tubuhku, dengan ketukan yang konstan.
"Urgh! Apa yang ..."
BRUUKK!!
CLANK!!
Tubuhku menabrak tembok batu dan terjatuh miring pada lantai berjenjang. Sedang pedang bergagang perunggu Tuan Gawain segera kutangkap saat meluncur di depanku.
Untung aku memakai zirah!
"Jalanlah sendiri kalau kau sudah bangun!" Suara Tuan Bertilak yang terus melangkah meninggalkanku.
"Tuan Bertilak? Dimana ini? Apa yang ... ?"
Hitam berkerak seperti arang, dinding yang mengitari tangga menurun ini. Tak ada obor, tak ada kunang-kunang. Namun, masih jelas aku dapat melihat seluruh jalan hingga ke ujung. Meski kuyakin bukan cahaya dari pintu masuk yang menyinarinya. Apa ini obsidian?
Tempat apa ini? ... ah, Tuan Arthur! Bagaimana Tuan Arthur dan yang lain? Bagaimana gadis itu dan orang tuanya?
"Kau mau terus berbaring disitu?"
Nada bicara Tuan Bertilak masih dingin dan ketus seperti sebelumnya. Mungkin lebih baik aku tak memikirkan penalaranku selanjutnya dan mengikutinya dalam diam saja...
"Bagus!" Ucapnya, sembari berbalik kembali dan melanjut turun pun sang elf.
Geh!
" ... kemana kita mau pergi, Tuan?"
"Ke tempat tujuanmu."
"Ke tempat tujuanku?"
"Kastil Hijau, bukankah kesana Gawain mengarahkanmu?"
"Y-ya, namun, bukannya Kastil Hijau ada di perbatasan setelah Kota Toulouse? ... Tuan menggendong saya bermil—mil lepas dari kota?"
"Tidak, ... tak sejauh apa yang kau pikirkan! Lagi pula, ini masih di dalam Kota Toulouse."
Masih di Toulouse?
"Maksud, Tuan?"
"Kau berpikir kalau yang Gawain maksud dengan 'perbatasan setelah Kota Toulouse' itu adalah perbatasan antar wilayah kota. Untuk ini biar kusalahkan Gawain karena tak terlalu pandai memberikan arahan pada seseorang ...
Sayangnya, bukan perbatasan itu yang Gawain maksud."
Bersama langkah kami yang terasa semakin berat, terlihat sebuah danau kecil di ujung anak tangga. Dimana bahkan terowongan menurun itu juga bertemu habis menuju danau itu, tanpa ada jalan lain selain menuruni danau. Bahkan di sekitar danau tak ada jalan lain selain tangga yang sedang kami turuni ini.
"T-tuan Bertilak, tempat apa ini?"
"Diam lah dan ikuti aku saja, kau akan tahu!"
Aku akan tahu? Apa maksudnya 'aku akan tahu'? Tidakkah jelas kalau jalan ini buntu?
Terlebih tubuh kurasa semakin berat terus tertarik ke danau itu. Namun, langkah Tuan Bertilak tak berhenti sedikit pun. Bahkan saat ia satu langkah menuju ke danau itu, berpaling ia padaku.
"Jangan kau tahan. Biarkan magnet planet menarikmu."
Dan terjatuh pun Tuan Bertilak kedalam danau itu, bagai sebuah ketapel yang diluncurkan.
...