"Semua menjadi jelas sekarang ..." Tekuk kedua lengan sang musafir, sembari bertemu kesepuluh jemarinya di depan ujung hidung.
"Pantas saja para iblis itu begitu gencarnya meneriakan namamu, ... Morien!" Tak kalah seriusnya, ksatria emas memandangku tajam sembari menepuk punggungku.
Sedang ksatria hijau nampak tak terlalu memperdulikan kami, disantapnya daryoles yang terhidang di meja bundar di hadapan kami.
Ingin berkata sesuatu aku, namun rasanya akan salah kalau aku yang memulai pertanyaan.
"Katakan saja, nak! Wajar untukmu tak mengetahui hal apapun, jangan malu! Lagipula kau manusia!" Celetuk sang ksatria hijau, selagi tetap menyantap daryolesnya tanpa berpaling. Bahkan pelayan pun ia panggil lagi untuk menambah porsi bagi tubuh rampingnya itu.
Sungguh mengejutkan. Namun, aku tak ingin memikirkan pendapatku tentang itu, mengingat dia pasti bisa membaca pikiranku, seperti yang baru saja dia lakukan. Maka ku kemukakan pun pertanyaan terpendamku.
"Pertama, ... mau kah kalian tetap merahasiakan identitasku ini?" Ketiganya terlihat terkejut dengan pertanyaanku, bahkan sang ksatria hijau menghentikan suapannya tepat di depan mulut yang menganga. Lanjutku, "Maksudku, kalian tahu bukan betapa gencarnya para iblis itu mengincar diriku. Terlebih pengejarku bukan hanya mereka melainkan juga para vandal."
"Ah, ... vandal! Ka ... kami juga mendengar kalau negerimu sedang di rebut, dan ayahmu belum tahu. ... bagaimana keadaan ibumu??" Tinggi simpati sang ksatria emas itu, namun lebih mengejutkan untuk mengetahui kalau setiap ksatria di meja bundar benar-benar mengenalku. Aku harus membiasakan diri ...
"Ibu ... ia sedang ditahan oleh para vandal. Namun, perdana menteri kami, Kaheed, melakukan pengawasan penuh dengan menyamar ke dalam istana yang telah ditaklukan bersama beberapa prajurit kerajaan yang tersisa."
"Hmm, ... jadi karena itu kau mau mencari ayahmu ke benua ini?"
"Ya, ... tapi, kembali pada pertanyaan yang lebih pantas disebut permohonan itu, bisakah kalian berjanji? Aku hanya tak mau pengejarku mengetahui keberadaanku sekarang melalui desas-desus."
" ... ya! Ya, jangan khawatir." Ketiganya menyanggupinya, namun aku tak yakin dengan ksatria emas ini karena kulihat sifatnya terlihat-
"Kurang meyakinkan, memang!" Celetuk sang ksatria hijau lagi, sembari mengangkat tangan untuk menambah porsi.
Sedang sang ksatria emas memasang wajah bingun atas celetuk sang ksatria hijau.
Kubisukan pun mulutku, bahkan pikiranku...
"Selanjutnya, bisakah kalian jelaskan tentang apa yang dimaksud Tuan Ksatria Hi-"
"Bertilak, ... panggil saja aku Bertilak, dia Arthur, dan dia Merlin. Jangan bertele-tele, nak!"
"Ba ... iklah, Tuan Bertilak." Perkenalan yang cukup cepat. Namun, terserahlah ... lagi pula mereka juga telah mengenal namaku. "... apa yang kau maksud tentang inkarnasi jiwa keteraturan? Dan bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?"
Tak langsung menjawab ia, kendati masih sibuk dirinya dengan makanannya. Hingga selesai ia menyuap, diletakannya sendok perunggu itu terbalik pada pinggiran mangkoknya.
"Bagaimana aku mengetahuinya? ... itu karena aku elf, ras yang berbeda dari manusia yang berumur lebih pendek dari rasku. Yangmana ras kami tinggal di sebuah alam bernama Alf, yang alamnya tak seramah alam disini. Sehingga untuk menyesuaikan diri dan bertahan hidup, segala indra dan kemampuan spiritual kami meningkat bersama dengan umur kami yang panjang.
Karena itulah aku mampu melihat lebih dari sekedar ucapan mulutmu dengan mata ini" Begitu berkilauan iris mata Tuan Bertilak, bagaikan permata citrine yang di poles bundar. "Lalu! ... sekarang biar kujelaskan tentang apa yang kumaksud inkarnasi jiwa keteraturan dan bagaimana itu berhubungan dengan mu."
Aku mengangguk, kupasang telinga semakin fokus.
Begitu pun Tuan Bertilak, yang menata duduknya menghadapku sebelum diteruskannya penjelasannya.
"Dahulu, ... ada tiga unsur yang menyusun sumber dari semua kehidupan sekarang. Dimana saat itu dunia belum terbentuk, dan semua masih melayang—layang di tengah kegelapan primordial.
Tiga unsur itu adalah keteraturan, keharmonisan, dan kekacauan. Ketiga unsur ini kemudian saling mengikatkan perjanjian dan terciptalah kehidupan yang pertama, yaitu sebuah benih.
Benih ini kemudian bertumbuh, meluaskan daratan, menghamparkan lautan. Hingga akhirnya dunia tercipta dari pertumbuhan benih itu. Lalu, benih itu juga bertumbuh menjadi sebuah pohon raksasa. Pohon raksasa yang dari pohon itu kemudian tercipta berbagai mahluk hidup baru dengan berbagai bentuk dan ciri khas. Namun, semua masih begitu murni, masih begitu putih ... belum tersentuh satu warna sedikit pun. Bahkan alam roh dan jasmani pun masih menyatu padu.
Hingga muncul sekelompok mahluk humanoid yang menyebut diri mereka asgardian. Mereka pun membatasi dunia menjadi sembilan wilayah dan mengusir beberapa mahluk lain yang tak mereka sukai dan dianggap menyaingi. Bahkan hirarki pun mereka tegakan atas diri mereka, yangmana hal tersebut membuat alam roh dan alam jasmani terpisah, dan terciptalah tiga alam roh dari sembilan alam yang sebelumnya, sehingga alam jasmani pun hanya tersisa enam alam. Meskipun, semuanya masih di dalam satu dunia yang bulat.
Dari sini kemudian tiap-tiap mahluk yang mendiami setiap alam, beradaptasi dengan alam masing-masing dan tercipta pun berbagai ras baru yang hingga saat ini masih ada."
Tiga unsur penyusun alam semesta? Asgardian? Ras lain? ... Pembicaraan ini seakan mulai keluar dari akal sehat. Meskipun, keajaiban dan berbagai monster aneh pun juga sudah sering kutemui di keseharianku selama mencari ayah di benua ini.
"Maaf, Tuan Bertilak. Tentang eksistensi ras lain dan alam lain tentu aku percaya, mengingat Tuan Bertilak yang seorang elf pun sekarang ada di hadapan ku dan sedang menyantap sarapan bersama-sama dengan kami. Namun, apa semua ini sungguh ada hubungannya dengan seorang diriku yang hanya manusia biasa ini?"
"Biasa? ... entah aku dapat mengiyakan pengakuan mu itu atau tidak. Tapi, ingatkah kau saat pertarunganmu dengan seekor monster tepat sebelum kau bertemu dengan Gawain?" Tak terkejut lagi aku, kendati benar ia memang bisa melihat apa yang sudah ku alami. "Aku, ... aku melihat mu saat membabi buta melawan monster yang membantai warga itu. Saat itu rohmu terlontar dari tubuhmu, dan aku lihat suatu jiwa hitam bergemuruh yang mengendalikan gerak dan kesadaran tubuhmu menggantikanmu.
Menurutku, kau memiliki suatu rahasia yang bahkan dirimu sendiri tak menyadarinya ada sejak awal. Apa aku salah?"
Kutarik pandanganku, kendati aku pun mengingat kejadian itu bagai mimpi yang terus terulang. Namun, hingga saat ini pun aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Tak lama pun waktu berselang, dua orang suami istri muncul secara tergesa-gesa dari pintu penginapan. Begitu kumal mereka selagi menyerukan sebuah nama.
"VIVIAN, ... VIVIAN!! ... Maaf, kami dengar seorang anak berambut ungu yang ditemukan pingsan di pinggir kota, sekarang dirawat di tempat ini? Apa benar?" Tanya mereka pada seorang pelayan yang berada di dekat pintu masuk. Maka, teringat pun aku akan wajah mereka.
Mereka ... ya, mereka adalah orang tua dari gadis itu, yang berprofesi sebagai pedagang pengembara!
Berdiri pun aku, dan kuhampiri kedua orang tua itu.