Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 14 - BAB XIII Penghakiman

Chapter 14 - BAB XIII Penghakiman

Senyap malam ini, sejak gelegar gelombang cahaya menyibakan langit dan menyingkirkan hujan.

...

"Tabib, ... adakah seorang tabib di sekitar? Tolong anak ini, dia tergeletak pingsan di luar tembok, kumohon tolong beritahu aku di mana seorang tabib yang bisa ku temui!"

Seruku sembari berlari di antara reruntuhan kota dan orang-orang yang hanya mampu terpaku melihat ku mendekat. Tak berucap sepatah pun mereka selain hanya melihatku benci. Rumah mereka hancur, tembok mereka runtuh. Jelas itu kegagalanku dalam menjalankan peran sebagai sang ksatria di tengah masyarakat.

Aku pun tak bermaksud menghindari kesalahanku. Namun, gadis bernama Vivian yang baru saja menyelamatkan kota ini dari para monster hitam itu. Ia tak perlu menanggung dampak dari penghakiman mereka kepadaku. Harusnya ia masih berhak untuk dipulihkan dari lukanya. Berhak mendapatkan perhatian dari mereka yang telah diselamatkannya dengan keajaiban itu ...

Yangmana bahkan seorang pun sepanjang aku berlari, tak bisa kutemukan ada yang meninggal ataupun terluka lagi. Pasti embun cahaya itu yang memulihkan mereka, dan hanya gadis ini yang masih terluka. Entah dapatkah dia bertahan, selama aku mencari seseorang untuk mengobatinya. Begitu lemah nafasnya, juga nadinya. Sedangkan aku yang terus menyusuri kota masih tak bisa menemukan seseorang yang peduli sedikit pun. Semua acuh karenaku.

Terhenti langkahku. Para warga menghadang jalan yang hendak ku tapaki, pandangan mereka tajam melihatku. Lalu, seorang lelaki paruh baya dan istrinya melangkah mendekatiku. Mereka adalah orang tua dari anak yang diculik gremlin tadi.

"Sekarang pergilah!" Kata sang suami tanpa berbasa-basi.

"Ma-maaf, tuan. Aku tahu kegagalanku tak bisa-"

"Kubilang pergi ..."

... terpotong aku memandang betapa muram tatapan menukiknya seperti juga pada penduduk lain di sekitar kami.

"Tidakkah kau lihat betapa kacaunya kota ini gara-gara kegagalanmu? Tembok pun jebol, dan kami pun kehilangan anak. Kau yang tak bisa berguna dengan pedang di tanganmu itu, untuk apa kau berada disini lagi!! CEPAT PERGIIIII!!" Jeritnya dengan tangis yang mulai membasahi pipi. Memaksaku untuk berjalan mundur dan mulai memalingkan diri selagi masih menggendong gadis ini.

Tak kusangka mereka akan setega ini ...

"Tunggu, ksatria muda!"

Seru itu, suara yang kukenal. Terhenti pun langkahku berpaling, selagi sang ksatria hijau melangkah turun dari akar yang mengangkatnya. Sedang di tangannya, ia gendong seorang anak, yang adalah anak yang diculik gremlin tadi.

"Anakku!" sambut kedua orangtuanya. Ksatria hijau itu pun menyerahkannya kembali pada kedua orang tuanya. Maka, tersungkur pun kedua orang itu pada sang ksatria hijau. "Terimakasih, Tuan Bertilak ... kalau tak karena tuan, anak kami pasti sudah meninggal! Syukurlah Tuan Bertilak segera datang dan membasmi monster-monster itu!"

"Hah? ..." Miring wajah sang ksatria hijau menatap dua orang tua itu. "Jadi kalian berpikir kalau aku yang melakukan semua itu? Apa kalian tak melihat ledakan cahaya dan apa yang terjadi di tembok itu?" Terancung tangannya pada lubang besar yang berada di ujung jalan. Bahkan semua warga yang tadinya marah pun mulai menundukan wajah mereka. "Kalian, ... sebenarnya kalian tahu kalau yang berjuang mati-matian bahkan berniat mengorbankan dirinya dengan melompat pada lautan monster itu adalah ksatria ini. Namun, kalian ... karena tak mau berhutang budi malah menyalahkannya dan mengusirnya.

Benar begitu, bukan?!"

"Tapi tuan, apa tuan tahu bagaimana ksatria lalai itu membuat anakku terculik goblin?"

"Tentu aku tahu bagaimana semua itu terjadi, kau tidak lupa kalau aku elf, kan?"

Elf? ... pertama kali aku mendengar tentang ini.

"Kalau begitu kenapa tuan tak mengerti kalau ini semua kesala-"

"Itu semua kesalahan kalian, sebagai orang tua anak itu!

Melepas penjagaanmu pada anakmu, selagi kau tahu kalau dia sedang bertarung mati-matian melindungi kalian dari gremlin itu. Bukankah kalian yang tak tahu berterimakasih?"

Nanar pun iris kedua orang tua itu. Melirik mereka padaku. Namun, segera mereka tarik kembali lirikan itu ke bawah.

Tak kusangka ksatria hijau ini akan membelaku, padahal awal kali bertemu ia terlihat begitu tak suka dengan ku.

"Baik kalian dan dua orang tua tak bertanggung jawab ini sama saja. Kalian yang bersembunyi tanpa mau membantu ksatria muda ini, saat kalian tahu dia kebingungan menyumpal lubang kecil di tembok kalian. Kalau saja kalian membantunya dengan menyumpal tembok itu dengan material batu dari penyimpanan kota, mungkin tembok itu tak akan jebol. Namun, lihat yang kalian lakukan ...

Kalian hanya mendorong ego kalian untuk mempersalahkan orang lain, dan tak mau mengakui akan pengorbanan yang orang lain buat atas kalian. Harusnya kalian malu akan itu ... bubarlah!"

Tak ada yang berani berkata apapun lagi. Semua menuruti perintah ksatria hijau itu dan menyebar pulang pun mereka. Lalu, dari persimpangan jalan sang musafir dan ksatria emas berlari datang menuju kami.

"Bertilak! Sudah kuduga kau akan datang."

"Arthur, Merlin ... terimakasih sudah menyibukan diri menghadang monster-monster itu memasuki kota."

"Hoo! Seperti biasa kau membaca segalanya, bukan!"

"Tentusaja! ... Aku seorang elf!" Ketus jawab sang ksatria hijau, membuat ksatria emas terpaksa menarik tawanya yang hendak lepas. "Yang lebih penting, ..."

Ketiganya memandang ku. Mendekat pun mereka melihat gadis dalam gendonganku.

"Apa yang terjadi? Siapa dia?" Tanya sang ksatria emas padaku.

"Dia ..., sedikit sulit dipercaya kalau aku mengatakan ini, tuan. Namun, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, saat-"

"Dia gadis pemegang perjanjian kehidupan di masa ini!" Tungkas ksatria hijau terhadap jawabanku pun membuat ksatria emas dan sang musafir terkejut. Namun tak berhenti disitu, terusnya lebih membuat sang musafir dan ksatria emas terkejut, sembari diarahkannya telunjuk padaku ia berkata, "dan dia inkarnasi roh keteraturan, anak Aglovale."

Terkejut aku, mendengar tentang bagaimana dia bisa tahu identitasku secepat ini dengan amat tak masuk akal. Namun, hendak menyanggah aku tak tega saat melihat sang ksatria emas dan sang musafir.

... keduanya ternganga, yangmana perasaan ku berkata kalau mereka amat kesusahan untuk memproses banyaknya informasi yang diterimanya sekaligus. Yang bahkan aku tak mengerti akan maksud dari kata-kata sang ksatria hijau yang selalu bilang kalau dirinya seorang elf, yang juga entah apa maksudnya itu?

Gadis pemegang perjanjian? Inkarnasi roh keteraturan? Entahlah, aku hanya simpati pada kedua orang yang memasang wajah sulit di depanku ini ...

.

.

.

Malam itu kami menginap di suatu penginapan di kota, sedang sang gadis di rawat oleh pemilik penginapan.

Semalaman aku tak bisa tidur, bukan resah karena identitasku terbongkar total sekarang. Identitas yang adalah putra dari seorang ksatria bernama Aglovale.

Seperti yang ku katakan pada Tuan Gawain beberapa minggu lalu, tak banyak yang bisa ku ingat tentang ayahku selain dari statusnya sebagai seorang ksatria dan kuda yang selalu ia tunggangi. Sosok ayah bagiku sungguh sulit untuk ku kenang selain dari pada eksistensinya yang pernah hadir di masa balitaku.

Meskipun tak menyangkal kalau rindu masih dapat kurasa di dasar hatiku. Kerinduan untuk hadirnya sosok ayah kandung dalam hidupku, meski Kaheed juga sudah berusaha mengisi kekosongan itu. Namun, hal yang lebih menggangguku adalah sebutan yang ksatria hijau itu arahkan padaku tentang 'inkarnasi roh keteraturan'. Entah apa yang dimaksudnya dengan hal itu, tetapi pikirku teringat pada pengalaman yang selalu kurasa saat malam di Maghreb dulu.

Kurasa ada yang belum kutahu penuh tentang jati diriku...