Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 13 - BAB XII Serangan Di Toulouse Bagian 4

Chapter 13 - BAB XII Serangan Di Toulouse Bagian 4

"Morien ..., Morien ..., Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, Morien, MORIEEEEEEEEEEEEN!!"

Kembali seru puluhan bahkan ratusan monster kudengar dari balik dinding yang setengah tergali. Dimana di ujung galiannya, sebuah lubang kecil telah berhasil dibuat oleh sang monster yang terlihat seperti tikus tanah tadi. Terus terkikis semakin membesar lubang itu, dengan beberapa jemari tumpul hitam yang berusaha menggali dari luar.

Begitukah? ... Ini pasti karena mereka tak bisa melewati ksatria emas. Sehingga mereka berusaha menggali jalan masuk baru menuju ke kota selain dari gerbang kota yang dijaga ksatria emas!

Tapi melihat jumlah mereka dari suara panggilan mereka pada namaku. Akan gawat bila mereka berhasil membuat lubang disini!

Sedangkan lubang di depanku itu saat ini telah mulai selebar perisai tangan dan membuat mereka mulai menjulurkan tangan-tangan hitam ke dalam. Merespon pun kutusukan pedangku berkali-kali, sebagai usaha mengurangi jumlah. Namun seakan tak ada gunanya usahaku ini, setiap monster yang mati tertusuk pedangku segera digantikan oleh monster lain di belakang mereka.

Bagaikan tak ada habisnya jumlah mereka, bahkan kelu mulai kurasa karena tak henti menarik dan menusuk. Sedang ukuran lubang pun semakin melebar bersama berjalannya waktu, meskipun untuk menggaruk dinding tebal ini, sungguh kesulitan mereka kulihat. Tapi dengan jumlah yang tak terhitung dari mereka, menjebol tembok hanya masalah waktu.

Cepat atau lambat semua akan berakhir dengan terciptanya lubang masuk di tembok ini.

Tak adakah cara menghentikan mereka?! Apa seluruh kota ini akan menjadi korban karena eksistensi ku disini? Yang benar saja!!

...

Sejenak pandanganku terhenti, kulihat di tembok kota samping ku sebuah tangga yang dapat menghubungkan aku pada puncak tembok. Tangga tembok yang biasanya digunakan para pemanah untuk melindungi kotanya. Yangmana tangga itu sungguh berlumut dan tak terawat, seakan tak pernah ada yang menjejakinya lagi.

Namun hal itu wajar. Mengingat dengan kondisi kota yang selalu tersembunyi dari dunia luar. Yangmana untuk memasuki kota ini diperlukan pengetahuan khusus tentang cara membuka gerbang melalui mantra. Mungkin, penjaga di kota ini pun juga dikurangi dan hanya di fokuskan di bagian gerbang saja. Bagian yang menjadi jalan keluar masuk kota dari luar maupun dalam.

Sehingga tangga itu pun terabaikan dan tak pernah terawat lagi.

Teriakan para monster pun kudengar makin kencang dan cepat melafalkan namaku. Bahkan gemanya sudah mulai menggetarkan sekitar... hingga serpihan debu dan tanah dari atas tembok mulai runtuh mengguyurku.

Sekali ... dua kali ... sebentar, apa suara teriakan saja mampu membuat hal ini dapat terjadi? ...

Ku tarik pun peda—

BUUUGHH!!

Tubuh ku terlempar sejauh tiga kaki dari tembok. Terkapar jatuh aku di bawah redupnya lampu kota. Sedangkan dari lubang yang berusaha diperbesar para monster itu, daging dan darah merah para monster berceceran ke dalam tembok. Senyap sejenak seruan para monster terhadap namaku. Lalu, getaran yang membuat serpihan debu tanah dari atas tembok terguyur, terjadi lagi dengan tempo yang lebih lambat.

Ini, ... getaran ini bukanlah dikarenakan seruan para monster. Tapi, ini adalah langkah kaki suatu monster! Monster yang besar dan berat, yang baru saja menhantamkan tubuhnya pada tembok sehingga aku yang menempel pada tembok pun terlontar daripadanya.

Kalau dibiarkan, lubang pada tembok itu pasti akan jebol dalam hitungan menit saja! Apa yang harus kulakukan?

"Moriiiiiiiiiiiiiiien!!" Bibir salah satu monster ia tunjukan di lubang dinding yang terpatri oleh sinar cahaya yang membimbing jalanku. Namun segera hancur tubuhnya tergencit, membuat bibir yang memanggil ku itu, meluncur tergelincir disamping tanganku. Tentu ini tak menakutiku! Maksudku, dengan mereka mencoba menerorku hingga mengorbankan salah satu monster untuk memanggil namaku .... Seorang ksatria sepertiku tak akan menjerit hanya karena melihat potongan bibir yang baru saja mengucap namaku!

... tunggu. Bukankah itu artinya sejak awal target mereka memang hanya aku?

Kenapa aku tak berpikir tentang hal ini sejak awal!

Kesal aku pada kerdilnya pemikiranku, ku pacu pun kaki menapaki tangga berlumut, yang beberapa kali berusaha membuatku tergelincir jatuh karena benturan sang monster besar dan lebatnya hujan. Hingga sampai di puncak tembok ini, yang tingginya sekitar setinggi bangunan dengan dua lantai cahaya pematri jalan itu ternyata mengikutiku dan mulai menyinari bagian luar tembok yang dipenuhi monster hitam.

Ku mantapkan tekadku, kuambil satu langkah ke pinggiran tembok ini.

Alasan mereka menyerang adalah untuk mengincarku, meskipun aku tak tahu pasti mengapa begitu berniatnya para iblis yang merasuk pada para monster itu. Namun, bila mereka bisa mendapatkan ku, pastilah serangan pada kota ini juga terhenti. Kalau begitu yang perlu kulakukan ...

"HEI!!! AKU YANG KALIAN INGINKAN, BUKAN?!"

Maka, melompat pun aku, sembari terpancang pedangku di atas kepala untuk ku tebaskan kemudian. Namun, terkejutku begitu hendak tengenggelam aku dalam lautan monster itu, sebuah tangan besar menghantam tubuhku hingga terhempas pun aku jauh ke barisan paling belakang para monster.

Mendarat pun aku di rerumputan hijau. Zirahku, menahan hempasan tangan yang mungkin milik seekor hob-goblin, hingga hancur pun bagian depannya berkeping-keping. Terkapar aku, begitu sesak nafasku hendak kutarik. Syoknya pasti masih mengagetkan otot—ototku.

Tak habis pikir aku melihat mereka malah menghiraukanku dan menghempaskanku pergi. Lalu, satu ekor monster goblin setinggi anak kecil berpaling wajah padaku, lalu katanya meringkih, "Kota ini, tanah ini, manusia-manusia ini ... darah akan tumpah oleh karena dirimu, Morieen~"

Senyum terbersit diwajahnya sebelum berpaling pun goblin kecil itu untuk bergabung bersama gerombolan monster lainnya yang semakin kencang menyebutkan namaku. Sedangkan untuk bernafas pun otot-otot yang masih terkejut ini masih menyusahkanku menarik oksigen. Benci aku akan ketakberdayaan ini!

Berusaha bangun aku, bunyi hantaman sekali lagi terdengar dengan riuhnya para monster yang semakin jauh dari pendengaranku. Kulihat api pun menyala besar dari kota bersama gema jeritan para warga.

Sempurna sudah kegagalanku, dan bahkan berakibat pada puluhan bahkan ratusan nyawa di kota itu. Hanya air mata saja yang bisa kuteteskan tanpa berbuat satu hal pun.

.

.

.

"Pacta!!"

Terkejut aku akan suara anak gadis yang muncul dari belakangku. Kutolehkan wajah dan muncul pun pemilik dari suara itu melewatiku.

Tanpa alas kaki ia berjalan, pandangannya lurus ke tembok kota yang terbobol monster. Rambutnya menyala terang dengan sinar, begitu pun bola matanya dan sebilah pisau putih bermotif mawar yang melayang disampingnya.

Terancung pun tangannya dan meluncur pun pisau putih bermotif mawar itu menuju kerumunan monster dan seketika meledakan gelombang putih dari tabrakan pisau itu. Sungguh menggelegar suara dentuman itu. Bersama dengan itu membuat para monster hitam sejauh aku memandang menjadi sirna tak berbekas.

Lalu, gadis itu jatuh terkapar di tempatnya. Selagi dentuman besar yang menyebarkan cahaya yang menerangi malam basah ini, menyibakan hujan dan menggantinya dengan langit berbintang. Lalu, jatuh perlahan bagaikan salju. Salju yang hangat dan menenangkan, yang ketika menyentuh kulitku seketika pun melenyapkan seluruh nyeri dan perih yang tadinya kurasa disekujur tubuh. Sedangkan dikejauhan dapat kulihat api yang tersulut di kota juga ikut padam.

Sungguh sulit dipercaya hal yang baru saja terjadi. Sungguh mengejutkan.

Namun, yang lebih menyejutkan lagi adalah fakta bahwa aku mulai mengenali gadis itu. Postur itu, suara itu, dan wajah itu ... bukankah dia gadis yang pernah memberiku roti setelah dia dan keluarganya ku selamatkan dari serangan seekor monster?

Bangkit aku, kuangkat pun tubuh anak itu dalam gendonganku, dan tersinarilah wajahnya oleh rembulan. Benar pun apa yang ku kira, gadis ini benar adalah gadis kecil yang pernah memperkenalkan dirinya padaku dengan nama Vivian ...