Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 12 - BAB XI Serangan Di Toulouse Bagian 3 – Ksatria Hijau

Chapter 12 - BAB XI Serangan Di Toulouse Bagian 3 – Ksatria Hijau

Menghela nafas, kulihat akar yang menggenggam kapak itu mulai menarik diri di bawah guyuran hujan. Sedang di kejauhan jalan, yangmana merupakan titik munculnya akar yang menggenggam kapak hijau tersebut, begitu berkabut hingga tak bisa kulihat jelas akan apa yang ada disana. Entah itu monster atau hal lain, yang pasti aku harus tetap waspada, mengingat ia membunuh harimau ini dengan sekali lemparan kapak.

Tak lama pun mulai kudengar suara langkah sepatu logam. Selangkah demi selangkah, bahkan derapnya mengalahkan kerasnya hujan. Berlumut kulihat zirah yang mulai memperlihatkan wujudnya.

Sosoknya terlihat cukup seperti ksatria meski ia lebih pendek dariku. Telinga panjang terurai lepas di samping helm logam yang hijau dipenuhi lumut. Dengan beberapa bagian helm yang terbuka aku bisa melihat betapa terang kulit dan rambut emasnya.

Juga sebuah jubah merah, yang begitu mencolok ia kenakan meskipun di derasnya hujan petang ini. Akar yang tadi terulur panjang, ternyata berasal dari tangan dibalik jubah merah yang tersampir dibawah sirah nya. Tangan ramping pun menerima gagang kapak besar dari akarnya, hanya dengan satu tangan.

Proporsi yang sulit diterima logika...

"KATAKAN, KAU MUSUH ATAU LAWAN?!" Teriak ku, kuharap dapat didengarnya. Namun, ternyata ia tak memberikan respon sama sekali, selain hanya melangkah semakin mendekati kami.

Namun, bila kulihat ia tak menyerang, mungkin ia seorang sekutu?

Kupalingkan pun pandanganku pada sang gadis yang masih terpaku. Kutudungi pun kepalanya dan kugiring menuju rumah terdekat untuk dapat kutitipkan. Lalu, aku pun kembali untuk menemui sang ksatria penuh lumut itu.

Terhenti ia disamping mayat sang harimau, dipandanginya mayat itu sesaat. Lalu pandangannya teralih pada diriku, diliriknya pedang Tuan Gawain di punggungku. Ia pun memalingkan wajah kembali tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Maka, kucoba menghangatkan suasana dengan menyapa.

"Monster ini hampir mengalahkanku kalau bukan karena tuan, terimakasih!"

" ... Apa ada yang lain?"

"Monster? Y-ya, tiga ekor lepas di sekitaran kota, namun satu itu sudah tuan tebas. Sedangkan gerombolan lainnya, sedang ditahan di gerbang kota oleh seorang ksatria dan seorang penyihir!" Demikian aku menyebut sang musafir sebagai penyihir, karena akan terlalu abstrak bila ku sebut musafir saja.

"Tunjukan jalannya!"

" ... ?"

"Jalan menuju monster sisanya, ... tunjukan padaku dimana mereka!"

"M-maaf tuan, tapi aku pun sedang kesulitan mencari dimana harus menjejaki mereka?"

"Oh, ... begitukah?" Ia pun berlutut, dan dijulurkannya telunjuk pada darah merah sang monster, lalu diciumnya telunjuk itu dengan hidungnya.

Berdiri pun ia melangkah kearahku dan merogohkan tangannya pada gagang pedang Tuan Gawain di punggungku. Aku pun mencegah dengan menggenggam lengan rampingnya, namun betapa terkejut aku akan betapa tak berdayanya aku menghentikan ia menarik pedang itu dari punggungku.

"T--tuan?!"

"Tenanglah, aku hanya meminjam ini sebentar! ... Lagi pula, pedang ini bukan kepunyaanmu, bukan?"

Tanpa basa-basi, ia pun menusukan mata pedang itu pada perut sang monster harimau dan mengukir suatu simbol dari darah yang meluber. Yangmana ukiran huruf dari darah yang dibuatnya tersebut dengan ajaibnya menggumpal tetap di tengah derasnya hujan ini. Bahkan cahaya mulai kulihat merekah dari setiap ulirannya, lalu melayang pun huruf-huruf yang ia tuliskan melingkar. Mengingatkanku pada huruf melayang di tongkat sang musafir beberapa saat lalu.

"Tangkap!" Seraya ia lempar kembali padaku pedang Tuan Gawain.

"Huruf-huruf ini, ... apa kau seorang penyihir, tuan?"

"Apa aku seorang penyihir ..., apa hanya pertanyaan itu yang bisa kau ucapkan pada orang-orang yang kau temui?"

Deja vu pun aku mengingat bagaimana aku menanyakan pertanyaan yang sama pada tuan ksatria emas dan tuan musafir di gerbang kota ini. Namun, saat itu ingat jelas aku kalau tak ada seorang pun di sekitar untuk mendengar kami.

"Bagaimana bisa, kau? ... apa kau mengun-"

"Kau pikir siapa dirimu, hingga aku perlu untuk menguntitmu!" Terhenti kataku, juga hunusan pedangku yang hendak ku hunuskan karena curiga. Malahan sang ksatria hijau yang tak terlihat seperti manusia ini yang begitu tajamnya memandangku sinis. Bahkan ia melangkah marah dan ditariknya kerahku hingga sedikit menunduk aku dengan wajahku yang tertarik pada tatapan matanya. Lalu, katanya, "Dengar ini manusia, ... jangan pikir karena kau memiliki dunia yang begitu hijau dan menyediakan kehidupan bagimu. Maka, kau bisa memandang ras lain dengan rendah!!"

"Rendah?! ... maaf tuan, tapi aku tak bermaksud- ... tunggu, apa yang kau maksud dengan 'ras lain'? Kau ... benar, bukanlah seorang manusia?"

" ... oh, kau buta!"

"...?"

Dilepasnya pun kerahku, dan berpaling pun ia sembari mengucapkan bahasa yang begitu asing ditelingaku. Yangmana bahkan untuk melafalkannya, aku tak bisa.

Cahaya yang bersinar dari darah sang monster pun berkumpul pada satu titik. Terangkat pun cahaya itu, dan memecah menjadi dua. Satu meluncur hampir mengenaiku, dan satu lagi meluncur ke barat daya kota.

"Kejar, apa yang kau tunggu?!"

"A-ah, baik." Berbalik pun dan kukejar cahaya itu berkelok di simpang tiga di depanku.

Meskipun sulit kusuka sifatnya, tetapi ketegasannya adalah benar menurutku. Membasmi monster haruslah tetap menjadi prioritas, agar korban tak berjatuhan lagi. Namun, bila ia memang bukan manusia, lalu, mahluk apa dia sebenarnya? Lantasan perawakannya menyerupai manusia, bahkan berbicara pun layaknya manusia. Hanya telinga panjangnya dan bahasa aneh yang ia ucapkan yang tak pernah kutemui pada orang lain selain dirinya.

.

.

.

Begitu sepi sepanjang jalan ku lalui. Mungkinkah semua warga sudah tahu tentang serangan monster dan mengunci diri mereka di rumah masing-masing demi keamanan mereka sendiri?

Syukurlah bila benar, meskipun suatu firasat tak nyaman begitu mengusikku...

Sial, tak boleh aku teralihkan pikiranku sendiri. Firasat tak selalu benar, dan juga ini hanya seekor monster bila harus dibandingkan dengan sang ksatria emas yang menghadang banyak monster di pintu masuk.

Aku harus fokus!

Pijar cahaya yang membimbingku, beberapa kali ia memercikan bunga api. Lalu lenyap.

... eh? Apa yang harus kulakukan sekarang?

Apa aku harus mencari sendiri? Sedangkan jalan yang kujejaki berujung gelap, tak di terangi lampu penerangan umum lagi. Sejenak pikiranku mulai hendak mengusikku lagi. Namun, tak lama aku terdiam di tengah jalan, pijar cahaya yang lenyap tadi tiba—tiba kembali menyala di kejauhan. Di ujung jalan tepatnya.

Cahaya itu menyinarkan cahaya terang pada ujung jalan itu, yang ternyata adalah tembok kota. Perlahan cahaya turun, apa yang kulihat selanjutnya, ternyata memaksa aku untuk segera berlari menyerang.

Seekor monster tepatnya. Ia berbentuk seperti tikus tanah, dengan punggung ditumbuhi semacam batu kristal putih. Namun, seluruh kulit yang tersinari cahaya pijar itu, begitu hitam dengan beberapa bulu tebal yang memantulkan cahaya terang. Monster itu menggali tembok dengan kedua cakar besar di kedua tangannya.

Aku yang telah sampai pada beberapa kaki pun, menyerukan teriakanku. Tetapi begitu fokus monster itu dengan apa yang dikerjakannya, hingga ia tak mau memberikan perhatian sedikit pun pada diriku maupun cahaya yang terpatri di atas kepalanya. Menancap lurus pun pedang pemberian Tuan Gawain ini, lurus hingga menembus perutnya. Geraknya pun melambat.

"Mo ... rien ..." Kudengar bisiknya di detik-detik terakhir sebelum tubuhnya roboh, dan memperlihatkan bagian tembok yang tertutupi punggungnya sejak tadi.

"Morien?"

Kulihat lubang kecil dari hasil galian tikus tanah tersebut. Sebuah iris merah sebesar gumpalan tanganku, memandang dari lubang itu.

"Morien ..."

Selagi diucapnya namaku, iris merah itu menarik dirinya ke dalam kegelapan.

Namun, itu bukanlah akhir dari semua ini...