Bibir gremlin yang bergerak mengejekku, terekam jelas dalam kepanikanku. Melompat pun sang gremlin menuju anak balita di belakangku.
Sial!!
Habis ideku, kulempar pedang Tuan Gawain dengan sisa-sisa tenagaku. Membuat pedang itu hanya melambung tujuh kaki dari tempatku. Tak sampai pada sang gremlin tentunya. Gremlin itu pun memberi perhatiannya pada pedang yang tertancap di lantai batu, lalu memekik tawa ia mengejek kepayahanku.
Aku berlari. Aku masih berusaha menggapai sang gremlin dan sang balita. Namun, gremlin itu segera membawa sang balita dan melompat pergi. Begitu tinggi lompatannya, membuat dirinya melambung hingga ke atap bangunan tingkat tiga. Dan muncul pun orang tua sang anak, menjerit dengan tangisnya saat melihat kepergian sang gremlin membawa anak mereka.
Hujan pun turun.
"SIAAAAAAL!!"
Tangan ku gemetar. Tubuh ku yang tak sempat ku isi cukup makanan ini, kelihatannya sudah mencapai batasnya. Setidaknya sebuah roti untuk menjagaku bergerak, pandanganku melayang pun kesekitar. Para warga mulai bermunculan memandangi ku dengan wajah kecut.
Tentu, ... lagi pula ini salahku! Mereka bisa memandangiku sepanjang waktu, apalagi sudah tak berdaya aku mengejar-
"TOLONG!!"
"MONSTER!!"
Dua teriakan memotong gumaman sanubariku. Letaknya tak jauh, setidaknya dapat di jangkau tak seperti sang gremlin yang melambung tinggi.
"Kalian ... adakah kalian punya roti? Sedikit pun tak papa, aku hanya butuh segenggam untuk menggerakankan tubuhku kembali, kumohon!" Pintaku, sembari kupandangi wajah penduduk yang mulai jijik melihat diriku.
"Tak berguna ...!" Seorang mengucap dari tempat yang tak kutahu.
"Sampah! Apa guna pedangmu itu!" Seorang lain ikut terpacu.
"Kenapa kau tak mengalahkan monster itu?!"
"Karenamu balita itu dibawa kabur oleh monster besar itu!!"
"Ksatria palsu!!"
"Pergi kau, dari tempat ini!"
Suara kaleng kosong dan peralatan masak kayu pun membentur zirah usangku. Tak terbendung lagi penghakiman mereka. Yangmana aku pun tak bisa menyalahkan penilaian tersebut, kendati memang lalaiku yang menyebabkan tragedi itu.
Cacian mereka tak terhenti, bahkan saat hujan semakin deras berusaha menyaingi cacian mereka. Sedang aku hanya bisa bersimpu. Hanya bisa kuterima lemparan yang membentur zirahku. Sirna rasanya harapanku.
"Ini, ..." Satu suara berdengung di dekat pendengaranku. Bersama terhentinya cacian dan lemparan warga, serasa mengundangku menengadahkan kepala. "Makanlah ini meski tak akan cukup menenagaimu! Hanya ini yang tersisa."
"Ini! Ka-kalian, ... apa kalian tak membenci kelalaianku?" Kejutku melihat sepotong roti setengah lingkaran, yang seukuran dua kali telapak tanganku. Yangmana roti tersebut diulurkan oleh kedua orang tua balita yang anaknya di bawa oleh gremlin tadi.
Mereka tergugu, tak kuasa mungkin mengingat bagaimana gremlin menculik anak mereka. Terlebih baru saja itu berlalu.
"Ka- ... kami tahu itu! Kami pun tak mampu untuk memaafkan kelalaianmu. Namun, kota itu memerlukan dirimu saat ini.
Perih sebenarnya hati kami memberi tangan padamu. Terlebih satu-satunya anak kami mungkin tak akan bertemu lagi dengan kami. Semua ini sungguh tak masuk akal bahkan bagi kami.
... karena itu, ambilah tanggung jawab mu. Tanggung dosamu, dan jangan biarkan ada orang lain yang menderita seperti kami!"
.
.
.
Tertunduk wajahku, kuambil pun roti dari uluran pria paruh baya itu.
"Maaf!" Sematku selagi berjalan meninggalkan mereka, lalu ku kunyah roti itu.
Selanjutnya menjerit hanya yang bisa terdengar dari tempat itu. Tak ada makian, tak ada lemparan, ... meski jelas kebencian mereka tak akan lepas dari padaku. Kembali ku derapkan langkahku. Kukejar sumber teriakan terakhir dari tempat terdekat.
Sampailah aku.
Kali ini adalah jenis manusia harimau dengan warna yang juga hitam. Yangmana sedang asik mengunyah kepala pria, di depan seorang wanita muda yang menjerit histeris. Sepertinya mereka kekasih, dan itu akan membuat wanita itu tak akan berlari dari tempat ia menjerit saat ini.
"HRAAAA!" Kuayunkan pedangku horisontal dari bawah. Namun, tersadari oleh sang harimau yang merespon dengan cepat.
Melompat kesamping pun ia, menata kuda-kuda lalu, seperti halnya diriku. Mengeram harimau itu di pinggir jalan. Meninggalkanku di tengah bersama mayat pemuda dan kekasihnya itu.
Berusaha ku panggil wanita muda itu untuk cepat menghindar. Namun, tatapannya telah kabur dalam pandangan yang terpaku pada mayat sang pemuda.
Terpaksa aku bertarung dengan melindunginya kalau begitu. Ku layangkan pun padangan ke sekitar, agar aku tak mengulangi kesalahan yang sama seperti saat sang balita dan gremlin tadi.
Kali ini sepi, cuma satu kalau begi-
"Guhk!" Sang harimau memanfaatkan kelengahanku dengan begitu baik. Dimana saat ia melihatku mengalihkan pandangan kesekitar, disergapnya wajahku dengan cakarnya. Untungnya helm ini masih cukup kuat untuk melindungi kepalaku. Sehingga yang terjadi hanya terdorong pun aku hingga ke tembok di belakangku. Dan ku balas pun dengan memutar bilahku hendak menebas. Tetapi relfeknya sungguh tajam, cakar dari tangan lainnya segera merespon untuk menghentikan bilahku.
Terdesak aku dalam adu kekuatan dengan sang monster. Kusadari pun kaki ku lenggang, ku terjangkanlah menuju perut sang manusia harimau itu.
Tak bisa menghindar ia, terdorong beberapa langkah pun harimau itu kebelakang. Menyediakan cukup waktu, untuk ku menata kuda-kuda, lalu menyerang balik.
Tebasan miring ke bawah, tebasan vertikal ke samping, lalu dua kali ku tebaskan bilahku naik turun horisontal, dan memutar pun tumitku menciptakan tebasan vertikal yang cukup kuat. Dua tebasan awal dapat dihindari oleh sang harimau, namun tebasannya selanjutnya hanya mampu ia tangkis dengan kuku-kuku tajamnya. Hingga tebasan memutar tersebut, yangmana tak mampu lagi ia menahan momentum putaranku. Ia pun terlontar hingga menabrak tembok di pinggir jalan belakangnya. Mengulang posisi sama yang tadi kami buat. Tengah jalan dan pinggir jalan.
Kuatur kembali pun kuda-kudaku mempersiapkan pertarungan selanjutnya. Sedikit kuputar gagang pedangku, membuat bilahnya segaris horisontal dengan lawan yang ada di depanku.
Nafas kami senada. Jantungku kurasakan berdetak dua kali lipat dibandingkan hembusan nafasku. Sang harimau pun menerjang menuju arah sang gadis yang masih terpaku.
"TAK AKAN KUBIARKAN!" Seruku, memutar kaki.
Syukurku, gadis itu bersimpu dalam ratapnya, membuat aku mendapat lintasan sempurna untuk tebasan bilahku.
Momentumku baik, putaranku sempurna, bilahku pun terangkat cukup tinggi dari sang gadis, namun, kemiringannya menukiknya tepat menuju sang harimau hitam. Tetapi memang insting harimau itu begitu tajam. Masih sempat lah ia menyadari serangan balikku dan segera menahan langkah untuk menggunakan cakarnya menghadang bilahku. Bersaing pun ketajaman kuku-kukunya dengan bilah pedangku.
Percikan api kulihat muncul, namun tak mau kalah aku, mengingat momentum yang sudah kudapat dan posisi yang memudahkanku menekannya dari atas. Wajah harimau itu pun memincing. Jelas ia yang terpojok kali ini. Pandangannya pun melayang beberapa kali pada sang gadis, namun tak kuberikan kesempatan ia melawan balik. Ku tekan serta tubuhku untuk menambah beban pada dorongan bilah pedangku.
Namun, ia mendapat lengahku. Kesalahanku adalah betapa dekatnya kaki kami setelah aku memutuskan menambah beban dorongan dengan tubuhku.
Di jegalnya pun satu kakiku, menggoyahkan keseimbanganku, meskipun aku segera mengambil pijakan baru dan menahannya. Namun, harimau ini berhasil mengubah posisi kami. Bahkan kali ini aku lebih dari terpojok, bilahku sedang terarah pada sang gadis selagi berusaha kutahan. Sedangkan sang harimau membalik keadaan kami dengan menekan ku dari posisi atas.
Aku pun berseru. Berusaha kusadarkan berkali-kali gadis itu dari kalutnya. Sedangkan, sang harimau yang terus menekan selagi memincingkan senyumnya, harus kutahan dengan sekuat tenaga dari posisi bawah. Yangmana posisiku sendiri hampir menyerupai posisi kayang.
Terus berseru pun aku memanggilnya, sebagai satu-satunya usaha yang bisa ku harapkan di posisi terpojok ini. Seandainya sekejab saja dia mendengarku!, batinku. Bilah yang terdorong pun semakin dekat dengan sang gadis.
Tak tahu lagi aku harus melakukan apa.
Meskipun sebenarnya aku bisa mengalahkan harimau ini dalam posisiku sekarang. Yangmana hal itu harus kulakukan dengan memutar bilah dari pedangku bagai baling-baling, dan membuat bilahku terlepas dari cengkraman cakar sang harimau. Sehingga seranganku akan lurus menebas dadanya, sedangkan kuku tajam sang harimau yang tergeser dari bilahku akan meluncur lurus pada sang gadis. Sungguh langkah yang tak mungkin ku buat.
Jatuh pun satu lututku untuk menahan dorongan sang harimau.
Tak mampu lagi aku menyadarkannya, ku fokuskan pun seluruh tenagaku untuk menahan sang harimau. Tatapan merahnya pun ku tatap jelas di atas senyuman lebarnya.
Mengerang aku.
Tawa terkikik sang harimau terekam jelas di tiap detikku, dan ...
Slash!
Sesuatu terbang memotong menyamping leher sang harimau hingga menggelinding kepalanya. Lalu beberapa akar pohon juga melesat, mengejar benda yang terbang memotong tadi.
Roboh pun tubuh hitam sang monster. Menyediakanku kesempatan untuk menghela nafas. Rasa ingin tahu yang menggelitikku, mendorong pandanganku mengejar benda yang terlempar tadi.
Ku lihat pun itu sebuah kapak hijau, kapak hijau yang berhenti diudara selagi di pegang oleh beberapa akar pohon yang mengejarnya.