Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 10 - BAB IX Serangan Di Toulouse Bagian 1

Chapter 10 - BAB IX Serangan Di Toulouse Bagian 1

Padahal, aku tengah menikmati makanan nikmat ini.

Padahal, tubuhku baru saja hendak pulih kembali.

Padahal, ...

...

"ADA MONSTER MENJEBOL GERBANG!!" Seru seorang pria selagi menggebrak pintu dengan wajah yang terteror.

Kami bertiga pun terperanjat. Begitu pun dengan pengunjung lainnya.

Wajah mereka jelas menyiratkan keraguan, yang mungkin dikarenakan bagaimana kota ini dapat menyembunyikan dirinya. Aku pun sempat ragu sesaat, namun begitu sang ksatria emas dan sang musafir berlari keluar warung makan ini. Aku pun tak kuasa untuk tak mengikuti keduanya untuk melihat keadaan yang terjadi.

Kami pun berlari menyusuri gang yang hanya disinari lampu lilin di sepanjang gang. Tak ada matahari, waktu telah larut. Sungguh waktu yang tepat bagi para iblis biasanya menyerangku. Menyerangku? ...

Jangan katakan kalau ini, karena-

"MOOOOOORIEEEEN!!"

Terhenti langkah kami selepas keluar gang. Pandangan kami terarah pada gerbang raksasa kota Toulouse. Gerbang riuh yang biasanya diisi berbagai pertunjukan dan barang dagangan yang seakan tiada habisnya. Kali ini berubah menjadi bencana.

Serpihan dimana-mana, begitu juga dengan asap tebal yang mengepul diantara sosok hitam yang memangsa manusia.

Teriakan, tawa monster, tangisan, ... semua menjadi satuan suara yang menekan jiwa. Terlebih lagi...

"MOOOOOOOOORIIEEEEEEEN!!!"

Para monster bermata merah yang tak henti memanggil namaku, selagi berlari kearah kami.

Sungguh mengusik ketenangan batinku...

Kami bertiga menggeritkan gigi, dan sang ksatria emas pun berseru "MERLIN!", "MAJULAH ARTHUR!" Jawab sang musafir segera selagi mengangkat tongkatnya. Aksara-aksara mantra pun melayang—layang mengitari tongkat itu, selagi sang ksatria emas memacu kaki dengan pedangnya yang mulai memancarkan cahaya ungu redup dari bilahnya.

Kutarik pun pedang pemberian Tuan Gawain. Dan ...

"AAAAAAAAA!! ... AAAAA!!!"

Kulihat pemandangan yang menghentikan tubuhku.

Pemandangan seorang ibu yang di permainkan seekor monster, selagi merangkak kesakitan.

Tempatnya terbentang cukup jauh dari sang ksatria emas yang disibukan banyaknya monster yang masih berusaha masuk dari luar dinding.

Kacau matanya, tak henti teriaknya, sedang tangannya berusaha mengusir anak perempuannya yang menangis hebat melihat ibunya hendak disantap sang monster. Namun paling membuatku terpukul adalah sang monster yang malah bermain dengan menarik-narik kaki wanita itu, selagi tersenyum memandangku.

Mo ... ri ... en ... bisik bibir monster hitam itu, seakan membisikan pesan lembut. Gemetar pun tanganku melepas gagang pedang Tuan Gawain, yang kemudian jatuh menabrak lantai jalan bersama dengan kedua lutut ku.

Ingatan tentang bagaimana kelalaianku berakibat pada genangan darah dari para penduduk desa yang kumintai membakar tubuh monster pun, segera merenggut kesadaranku. Terkulai lemah kedua lenganku, tangisan hebat para janda di desa itu pun terulang kembali di hadapanku. Mengacaukan duniaku, dan membawaku dalam keadaan tak berdaya bahkan hanya untuk kembali berdiri.

Teriak ku pun-

"BERDIRILAH KEMBALI, ANAK MUDA!!" ... teriak sang musafir menarikku kembali pada sadarku atas dunia.

Kupalingkan pun pandanganku padanya, cucuran peluh kulihat deras di dahinya. Namun, tekad kuatnya masih kulihat jelas di kedua tatapan irisnya.

Lalu lanjutnya ...

"Aku tak tahu apa yang membuatmu begitu terpukul hingga tak mampu mengangkat gagang pedang mu lagi. Namun, lihatlah ke depan ... para penjaga telah tiada akibat serangan mendadak mahluk haus darah itu, dan para warga dibantai satu persatu tanpa ada yang menyelamatkannya.

Sedangkan Arthur mulai kewalahan untuk hanya mengurangi jumlah mereka yang berusaha menerobos dari luar. Aku pun tak selamanya bisa mengeluarkan mantra untuk menguatkan Arthur di depan sana. Hanya kau yang tersisa!

Jadi, sadarlah ... sadarlah dan angkatlah kembali pedang pemberian Gawain itu! Karena bila bukan kau, siapa lagi yang bisa menyelamatkan mereka?!"

Teringat pun aku akan kata-kata Tuan Gawain untuk melindungi mereka yang ada disekitarku dengan pedang pemberiannya ini. Aku pun sadar.

Rasa bersalahku, bimbangku, ... itu semua bukan hal yang pantas kulakukan disaat seperti ini!

Ku geritkan pun genggamanku pada gagang pedang Tuan Gawain yang tergeletak di depanku. Bangkit pun aku dengan erangan melengking yang bahkan memekakan telingaku sendiri. Ku pacu pun kakiku. Pandanganku tertuju pada ibu dan anak yang sedang dipermainkan monster.

Sekitar lima puluh kaki jarak kami. Kuangkat pun pedang dengan sekuat tenaga.

"HRAAAAAAA!" Teriak ku saat melewati sang anak perempuan di jalan.

Cahaya harapan kulihat merubah mimik sang wanita yang melihatku berderap mendekat.

Lalu, "Akh! ..." Satu hujaman lurus, ... jari hitam sang monster menerjang turun dari belakang punggung wanita itu, dan menciptakan cipratan darah dari punggungnya, sebelum darah merah meluber menggenangi jalan.

Tersenyum lebar iblis itu pada ku yang tersendat.

Tak bisa aku berhenti, "HRAAAAAAA!!"

Satu tebasan vertikal memotong jari monster itu dari sang wanita. Menjerit hebat pun sang monster selagi melompat kebelakang memegangi telapak dari telunjuk yang telah hilang.

Tak henti langkahku, kuterjang lagi dengan tebasan horisontal kearahnya. Namun nihil karena langkah monster yang dua kali tinggiku ke belakang.

"SIALAAAAAAAAAN!!"

Tebasanku berlanjut. Vertikal, horisontal, vertikal, memotong naik kesamping ... lincah monster itu meski jeritnya masih ia kumandangan karena jari telunjuknya.

"MORIIIIIIIIIE- kh!" Lengking monster itu terhenti. Sedang wajahnya menabrak dinding batu dari bangunan disamping kami. Pedang bercahaya ungu redup dari sang ksatria emas, menusuk lehernya vertikal dari samping.

Kulihat pandangan sang ksatria emas melayang pada sang anak perempuan dan ibunya. Sendu pun matanya.

"Sangat disayangkan ..."

" ... ma-"

"Tahan dulu keresahanmu, ... ada hal lain yang harus kita kawatirkan saat ini."

Di giringnya pandang ku dengan telunjuknya menuju gerbang, kulihat tumpukan mayat hitam telah memenuhi gerbang kota. Hampir tak percaya aku melihatnya. Padahal sejenak tadi, ia terlihat begitu kewalahan hanya untuk menahan monster yang hendak masuk.

"Apa kau yang melakukan itu, tuan?"

"Ya, ... tapi itu tak akan bertahan lama. Tak lama lagi, bersama bulan yang akan semakin menyingsing, gelombang monster selanjutnya pasti akan menjebol sumpalan sesaat itu. Dan saat itu terjadi, aku harus berada disini untuk kembali menghentikan mereka.

Sedangkan, kalau aku tak salah menghitung. Tadi ada sekitar tiga ekor yang luput dari tebasan fatalku, dan hanya meninggalkan goresan luka. Yangmana saat ini mungkin sedang mengamuk di suatu tempat di kota ini.

Jadi, kau kejarlah mereka dari jejak tetesan darahnya. Jangan biarkan mereka membantai seenaknya di kota penuh manusia ini."

Benar, aku harus melakukannya!

Mengangguk pun aku sebelum berlari pergi mengejar jejak darah yang pertama. Arahnya menuju bagian barat kota. Beberapa kali berkelok jejaknya di beberapa perempatan. Hingga bertemu pun sosok hitam dengan telinga panjang yang berteriak menakuti orang-orang sekitar.

Bingung pandangan mereka, melihat kemunculan monster itu di tengah-tengah mereka. Sedang sang monster pun masih meraung—raung ke sekitarnya, mungkin karena bingung melihat gerombolannya tak disana. Dari bentuk tubuhnya kelihatannya seekor gremlin. Namun, sepengetahuanku tak pernah aku menemui gremlin sehitam dan sepekat monster ini. Seperti halnya monster-monster tadi.

Selagi monster itu masih limbung, aku harus segera bertindak.

"KALIAN, MENYINGKIR DARI MONSTER ITU!!" Seruku selagi kukejar sosok gremlin seukuran monster terakhir yang kulawan sebelumnya. Maka, warga pun berhamburan ke dalam bangunan sekitar. Menyediakanku arena yang bebas untuk memfokuskan diri pada pertarungan.

Meraung pun gremlin hitam itu, dan bertemu pun tatapan kami.

Semua terlihat khawatir membayangkan pertarungan kami. Kuku-kuku tajam gremlin, melawan bilah pedangku. Bila menghitung dari jumlah senjata dan ukuran tubuh kami yang terlampau jauh, tentulah musuhku yang paling berpeluang menang.

Satu tebasan miring keatas kulepaskan di jarak kami yang sudah dekat. Jemarinya pun merespon, dan bertubrukan bilah pedangku dengan kelima jarinya. Berteriak pun ia sembari menghempaskan satu tangan lainnya yang sedang lenggang tanpa lawan.

Ku putar pun langkah, menciptakan posisi berputar yang memaksa kelima jari sang gremlin yang beradu dengan pedangku menjadi terangkat. Sehingga dengan momentum yang tepat, terpaksa membuat kedua tangannya hanya bertumbuk jari.

Sang gremlin yang kesal pun kembali melepaskan terjangan tangan lenggangnya berulang. Namun, dengan cara yang sama, aku mengatasinya dengan mudah. Permainan langkah yang sering diajarkan Kaheed di negeriku, telah menjaga ku tetap hidup hingga saat ini. Gaya berpedang Moor sebutnya. Simple namun efektif, terlebih bila kau gunakan melawan monster yang mudah terpancing emosinya.

Hanya menunggu kesempatan yang kuperlukan untuk membasmi yang satu ini...

Emosi monster ini pun makin meningkat. Serangannya semakin membabi buta, dan teknik sama yang kugunakan, semakin membuatnya kehabisan akal. Hingga ia terhenti sejenak untuk menata pernafasannya. Nanar matanya penuh emosi tak terkendali kepadaku. Membuat aku menyeringai saja ...

Pandangannya pun mulai terlihat melirik ke samping keberadaanku. Hmm? ... Kenapa aku merasa ia sedang memperhatikan sesuatu?

Ku paling kan pun pandangku ke belakang, menemui seorang anak balita yang berdiri memandangi kami, selagi memeluk bonekanya. Berada tak jauh dari tempat kami beradu kekuatan.

Tersenyum pun sang monster dan di dilafalkannya namaku pelan seakan sedang mengejek kelalaian ku sekarang.

Sial!