Seketika itu, hamparan padang rumput hijau yang tadinya menghampar di hadapan kami, lenyap entah kemana. Sedangkan gerbang kota raksasa pun muncul, begitu megah ukurannya dan kokoh tembok yang menahan di kanan kirinya.
"Bagaimana ... mungkin?" Kejut ku menyaksikan keajaiban di depan mata. Bahkan, hendak melangkah aku menyentuh gerbang itu, karena ragu. Namun, sang ksatria emas segera menahanku.
"Jangan terlalu dekat, sihir pengamannya masih belum Merlin lepaskan!" Ia pun menggiringku beberapa langkah mundur dari gerbang itu. Lalu, bersama dengan anggukan kepala pada sang musafir, musafir itu pun mulai merapalkan beberapa mantra selagi mengetukan tongkat kayunya pada gerbang raksasa.
Bagaikan riak air beberapa huruf kuno bercahaya menyebar dari ketukan tongkat sang musafir. Hingga mantra kuno itu menutup hampir seluruh bagian pintu. Sang musafir pun menarik tongkatnya, lalu menghentakan tumpuan tongkat ke jalan batu. Bersama itu membuat permukaan di penuhi huruf tersebut bagaikan runtuh layaknya salju.
"Si-sihir?! Apa kalian berdua penyihir, Tuan?"
"Penyihir? ha! Penyihir, sayang sekali ... namun, seperti yang dapat kau lihat, aku bukanlah penyihir tentunya!
Kalau kau, bagaimana Merlin? ... Apa kau penyihir?~" Ksatria emas itu, menyampaikannya dengan nada canda pada sang musafir. Namun, sang musafir tak menjawabnya dengan kata-kata, melainkan hanya melirik sinis pada sang ksatria, lalu padaku.
Sang ksatria pun tertawa akan hal itu, yangmana bagiku justru membuat posisiku menjadi sedikit canggung. Entah apakah aku salah dalam menyampaikan sesuatu, yang pasti itu bukan impresi awal yang baik dari sang musafir kepadaku.
Dari dalam pun kudengar seseorang berteriak. "Buka gerbangnya," Seru salah satu.
Maka, terbuka pun gerbang itu, menunjukan isi kota Toulouse yang begitu riuh bagai perayaan sesuatu. Kami pun melangkah menyusuri keramaian itu.
Beberapa berdagang, beberapa mempertunjukan sesuatu. Kota itu sungguh berbeda dari tempat-tempat yang pernah ku kunjungi di daratan ini. Bahkan di kota tempat asalku Maghreb, ibukota negara yang juga menjadi pusat kegiatan rakyat Moor. Kemeriahan seperti ini hanya dapat ku lihat saat perayaan tahun baru dan festival-festival tertentu.
"Ini ..., apakah selalu seperti ini, Tuan?"
"Apa? ... kota ini kah yang kau maksud? Tentu!
Apa kau tak pernah mendengar Toulouse dari tempat asalmu? Kudengar para pelancong kami sering menceritakan betapa cerianya kota itu pada tempat tujuan mereka!"
"Tidak, tuan. Bahkan nama Toulouse pun baru kudengar saat Tuan Gawain mengatakannya padaku untuk pertama kali."
"Hmm, ... Gawain pasti lupa memberitahumu cara memasuki kota, bila begitu. Untunglah dirimu bisa bertemu dengan kami, ksatria muda! Karena kota ini, sejak kemunculan para monster telah tersembunyikan untuk melindungi keamanan penduduknya!
Sehingga, hanya mahkluk berakal yang bisa masuk dengan cara tertentu."
" ...mmm, jadi maksud anda, monster yang tak berakal tak bisa masuk atau pun tahu, begitukah tuan?"
"Ya, memangnya untuk apa lagi?"
Jadi begitu, monster berakal yang kutemui dan mengepung Tuan Gawain dan aku adalah kasus khusus yang jarang ditemui oleh masyarakat umum. Sehingga pandangan mereka dan persiapan mereka pun hanya sebatas apa yang mereka ketahui tentang monster yang tak memiliki akal.
"Hei, ksatria muda, bagaimana kalau kita istirahat untuk makan siang dulu? Kau tak terburu menuju Kastil Hijau, bukan?"
"Y-ya, ... kurasa aku masih bisa meluangkan waktu."
"Bagus! Kalau begitu kita akan menuju tempat langgananku!"
Ksatria itu mendahului tanpa berbasa-basi lagi.
Tak seperti sifatnya yang terlihat begitu cerah dan penuh canda. Sang ksatria yang memimpin jalan kami, ternyata membawa kami menuju suatu gang di pinggir kota. Gang sepi yang tak banyak di warnai kemeriahan kota, bahkan beberapa bagian kumuh masih dapat kami temui disana.
Berhenti pun kuda sang ksatria di sebuah plang papan nama, yang tertera pada sebuah kayu tua yang hendak lepas bahkan ikatannya. Ia pun turun dan mengikat kudanya, lalu mengajakku masuk bersama sang musafir yang bersamanya.
Di dalam, ternyata lebih luas dari yang kukira. Sekitar delapan meja di lantai pertama, dan tiga lainnya di lantai yang sedikit lebih tinggi jauh di belakang delapan meja di depan. Lalu, sebuah pintu yang mungkin menuju ke dapur.
"HOooo, Ra-!" Sapa seorang pelayan yang sedang membawa enam gelas bir besar di kedua tangannya. Namun, terhenti ia begitu sang ksatria emas mengulurkan telapak tangannya ke arah sang pelayan.
"Arthur, ... Arthur saja!" Balas sang ksatria terlihat berusaha meyakinkan wajah kebingungan sang pelayan. Yangmana kurasa aku ernah mendengar nama itu disuatut tempat, namun tak bisa jelas kuingat dimana kudengar nama itu.
"O-oh, baiklah ... Arthur saja. Apa kau akan memesan untuk bertiga?"
"Ya, dan juga bisakah kau beri kuda diluar makanan juga?"
"Yap! ... baiklah, tiga daryoles catsith, segera tiba!"
Pergi pun pelayan itu meninggalkan kami. Di bukanya pun helm teropong emas yang di kenakannya. Ternyata emas pula rambut sang ksatria dan kumisnya, menghiasi wajah putih eropa, yang beririskan biru, ... hampir seperti iris Tuan Gawain.
...
"Jadi, siapa namamu, ksatria muda misterius?"
Pertanyaan pertama yang mengejutkan, entah bagaimana aku harus menanggapi pertanyaan ksatria emas ini. Bahkan hingga membeku kebingungan aku, terlebih dengan lirikan sinis sang musafir yang mulai di arahkannya lagi padaku.
"M-maaf tuan, ... bahkan hal itu juga harus ku rahasiakan."
"Hmm ... rumit juga posisimu. Lalu, dengan apa aku harus memanggilmu?"
"Gagak gurun, mungkin? ... beberapa memanggil ku demikian."
"Gagak gurun?? Panggilan yang unik, bagaimana kau bisa mendapatkan panggilan seperti?"
" ... aku, ..." Melihat aku yang sedikit menahan diri hendak mengutarakan kata, ksatria emas itu segera menghentikan ku dengan menunjukan telapaknya padaku.
"Aku mengerti, aku mengerti ... misterius, bukan! Ha ha ha ha!" Tawanya pun mulai tak terputus.
Sungguh sulit kupahami pribadi seperti ia, kendati di negeri ku sebelumnya tak ada orang yang seceria dan seramah dia. Bagi moors, menghargai sesamanya lebih utama dibandingkan apapun, sehingga kesopanan selalu kami jaga. Berbanding terbalik dengan ksatria emas ini, namun bukan berarti aku tak menyukainya. Karena meskipun pribadinya begitu 'terbuka' dan tak terlalu memikirkan kesopanan dalam bertutur kata, namun aku dapat merasakan hawa persahabatan yang kuat terpancar darinya. Seakan ia ingin berteman dengan siapa saja, tanpa memperdulikan seperti apa orang dihadapannya.
Sesuatu yang baru bagi diriku yang tak pernah menemui seseorang sepertinya.
Tak lama pun datang pelayan tadi membawa tiga buat bir, dan empat buah hidangan di masing-masing tangannya. Lalu, sesampainya di meja kami, diletakannya pun hidangan tersebut satu-persatu, "Ini birnya, lalu daryoles catsith, dan yang ini fruays, sebagai bonus special untuk pelanggan favorit kami, ... Arthur!"
"Wah, terimakasih! Warung ini memang yang terbaik! ... kau minum bir, kan?" Sang ksatria emas memastikanku.
"Y-ya, tentu!" Jawabku, selagi meraih gelas itu agak ragu, dan kutenggak. Lagi pula aku sudah berumur 21 tahun, bukan? Mencicip sedikit minuman keras ini tak akan merobohkanku, pastinya! ... mungkin.
"B-bagus! ... s-sedikit alkohol tentu tak akan memabukan, b-benar kan Merlin! He he ..."
Kurasa suasana mulai canggung, terlebih dengan sang musafir yang kembali hanya menanggapi dengan lirikan sinisnya dan bergumam. Namun, tak ingin aku menyianyiakan waktu untuk makanan yang sudah tersedia. Kusendokan pun sesuap pada hidangan pie custard dengan beberapa topping diatasnya...
.
.
.
" ... agrrrh! Dimana ini ... ?"
Begitu pening kurasa kepalaku, sedangkan kunang—kunang berterbangan di pandang.
"Hei, nak ... kau sudah bangun?"
Disampingku, sang ksatria emas menepuk pundakku. Sedangkan pengunjung di dari warung ini sudah mulai berkurang.
"Agh ..., aku ... " Masih pening kepalaku bahkan lemas tubuhku, namun, kudorong bangun tubuhku. Maka, diusapnya pun punggungku oleh sang ksatria emas perlahan. Selagi kesadaranku kembali pulih sedikit demi sedikit.
"Kau tak papa?"
"Ya, kurasa? ... apa terjadi sesuatu padaku, tuan?"
"Ah, tidak! ... tidak. Hanya saja, ... saat kau hendak mengangkat sendokmu, tiba-tiba kau menangis dan mengucapkan kata Ibu dan couscous berkali-kali ... lalu, kau tertidur. Meskipun aku tak mengerti dengan couscous yang terus kau ucapkan itu."
"Couscous? ... oh, couscous. Itu, ... makanan yang sering Ibuku buatkan saat ia ingin memasak."
"Oh!"
" ... jadi, aku-"
"Kau mabuk!
Perut kosongmu yang belum terisi makanan sama sekali sebelumnya, tiba-tiba kau isi penuh dengan alkohol yang akhirnya pun langsung masuk ke pembuluh darahmu. Tentu saja kau langsung mabuk, sebagai akibatnya! Apa kau tak makan sama sekali sejak pagi?" Sang musafir memotong dari samping sang ksatria emas dengan wajah cemberutnya.
Beberapa kali sendawaku berderap, namun ku usahakan untuk menjawab, "Tidak tuan, sudah beberapa hari aku tak makan"
"Berapa lama?"
"Tiga hari, ... empat hari, ... entahlah aku sudah lupa menghitungnya"
"Oh, ... mengagetkan kau masih bisa berjalan hingga ke Toulouse."
Sejujurnya ini alkohol pertamaku, yangmana itu membuat hal ini menjadi wajar atas ketidak tahuanku kalau alkohol tidak baik di minum saat belum makan. Namun, aku tak mungkin mengemukannya pada musafir yang entah mengapa malah marah padaku. Lagi pula ini juga bukan hal yang terlalu mendesak, sehingga aku pun memutuskan untuk membiarkannya.
Palayan pun datang dan ia membawakan sepiring masakan pie custard yang sama seperti yang tadi hendak ku makan. Kuambil pun kantong koin hendak membayar makanan tersebut, namun ia mencegahku.
"Tak perlu, ... Lagi pula, daryoles mu tadi sudah kubersihkan, karena kulihat kau tak akan bangun untuk beberapa saat. Jadi, makanlah yang baru ini sebagai gantinya. Anggap saja sebagai ucapan teriamakasih karena sudah berkunjung!"
Selepas meletakannya di hadapanku, ia pun meninggalkan kami dengan senyum. Sedikit membuat perasaanku tak nyaman pada toko ini, karena makanan tadi pun belum kubayar sepeser pun. Namun, kenyataan tentang perutku yang masih kosong, tak bisa kusangkal. Aku pun menoleh, karena kulihat sang ksatria dan sang musafir tak memiliki hidangannya di hadapan mereka.
"Hei, tak papa, nak. Makanlah. Lagi pula kau juga belum makan selama berhari-hari, bukan?"
Mengangguk pun aku dan mulai menyuapkan pie custard kuning ini ke bawah penutup wajahku.
Entah apakah makanan ini memang seenak ini, atau ini karena aku belum makan selama berhari-hari, namun yang pasti, aku tak akan melupakan rasa pie custard ini selama beberapa bulan ke depan.