Berseru kami, bersama setiap monster yang jatuh karena kami kalahkan. Entah sudah berapa lama pertarungan tiada henti ini berlangsung. Namun, semangat yang dipancarkan Tuan Gawain, dengan cara yang tak kumengerti membuat diriku ikut berkobar. Memompa otot-otot lenganku, memampukanku untuk terus mengayunkan pedang Tuan Gawain, yang ternyata lebih berat dari pedang-pedang yang pernah kugunakan selama ini.
Sedangkan bulan menyambut, teriakan para monster itu masih bersautan kudengar menyebutkan identitas-ku yang kusembunyikan. Seakan percuma kukenakan helm teropong ini, apakah iblis benar-benar bisa mengetahui segalanya dengan begitu curangnya?
Peluh, dan bau anyir darah mulai membumbung. Namun, kobaran api disamping kami juga masih membara menemani pergulatan kami. Hingga akhirnya Tuan Gawain daratkan tinjunya menembus pipi monster terakhir. Membuat sang monster roboh, selagi bibirnya masih berusaha menyebut nama-ku.
"Morien ..., morien ..." Lirihnya di saat terakhir, lalu "terkutuklah kau, ksatria hitam ..." Ucapnya terakhir, sebelum merah pekat bola matanya memudar, mengembalikan warna asli bola mata sang monster. Sekitar lima belas ekor mayat para monster di sekitar kami. Membuatku seraya terkejut, mengingat aku sendiri yang tadi melakukannya. Sungguh sulit di percaya, dalam satu hari ini aku mengalami begitu banyak hal di luar yang dapat ku bayangkan.
Selepas itu, kami urus pun mayat-mayat para monster, dengan melemparnya ke api bakaran yang masih menyala membakar tubuh dua monster pagi ini. Hingga semakin besar pun kobarannya karenanya. Melepas lelah pun, kami sandarkan punggung kami pada pohon di belakang kami. Tubuh kami, kami lepas bergeser ke bawah, hingga kami terduduk menyentuh tanah.
Sejenak kami melihat satu sama lain, lalu tertawa. Bagi kami, pertarungan tak masuk akan yang telah kami lewati dengan kemenangan ini, sungguh sesuatu yang menggelikan. Sulit tuk dipercaya, bahkan setelah kami melewatinya dengan selamat.
Kami lihat pun api di depan kami semakin besar membara, karena tambahan mayat yang menumpuk di atasnya. Tuan Gawain pun bertanya memecah hening.
"Nak, katakanlah ... apa yang masih kau ingat dari ayahmu?"
" ... tak banyak. Hanya statusnya yang seorang ksatria, kulitnya yang berbeda dari orang-orang Moor, lalu tangannya... Selain hal itu, tak ada yang bisa ku korek dari ingatanku. Bahkan warna suaranya pun telah lama pudar dari telingaku.
Entah, aku bisa mengenalinya atau tidak, bila kami berpapasan di perjalanan?"
"Hmm, ... apa kau sedih akan hal itu, nak?"
Berpindah dari memandang langit yang di sinari bintang, kobaran api di depan ku pun membawaku pada rasa nostalgia, begitu Tuan Gawain bertanya soal perasaanku. Kendati tak bisa aku bilang bahwa aku tak sedih sama sekali, namun pengenalanku yang kurang pada sosok ayah tersebut, juga dengan adanya sosok Kaheed yang selalu menjaga dan mengajariku banyak hal. Orang-orang disekitarku selalu mampu untuk menghapuskan senduku, atas Ayah.
"Aku tak yakin, Tuan. Terkadang sosok samar itu kurindukan untuk hadir di hidupku. Tapi, kadang amarah juga kurasa bila mengingat beban yang harus ditanggung Ibu, karena kepergian Ayah.
Yang ku pikirkan sekarang, hanya menemuinya lalu membawanya pulang. Entah itu dengan bujukan ringan, atau dengan aku harus menyeretnya hingga sampai di kampung halamanku.
Karena lebih jauh dari rasa rinduku pada Ayah, saat ini lebih besar cemas-ku atas keselamatan Ibu, yang tiap harinya harus berada dalam penahanan orang-orang barbar, Vandal!"
"Begitukah? ... aku harap, kau bisa segera bertemu dengan Ayahmu."
.
.
.
Kami lihat, tubuh para monster sudah mulai habis terbakar. Bau darah pun sudah tak terlalu menyengat seperti sore tadi. Kami bereskan pun barang bawaaan kami masing-masing, dan kuberikan kembali pedang Tuan Gawain padanya.
"Trimakasih, tuan. Berkat ini, aku bisa menghabisi monster-monster yang dirasuki iblis tersebut."
"Bawalah, kau lebih memerlukannya daripada aku."
"Tidak, tuan. Aku tak bisa menerimanya, ini terlalu .."
Digenggamnya pun kedua pundakku, sembari tatapnya begitu dekat pada ku. Membuatku terpaksa menghentikan kata. Sebelum ia sambung pun dengan kata-kata tegas kemudian.
"Dengar, Morien. Dalam perjalananmu selanjutnya, para iblis akan semakin mengincar nyawamu, bahkan mungkin mulai memburu dimana kau berada. Disamping itu, rintangan yang akan kau lewati dalam pencarian ayahmu, pastilah akan membawamu dalam berbagai rintangan berbahaya.
Karena itu, pedang ini lebih dibutuhkan olehmu dari pada aku. Lagi pula, aku akan segera mendapat ganti yang baru di tempat tujuanku selanjutnya nanti!
Jadi, bawalah pedang ini, dan lindungilah orang-orang disekitarmu. Kau mengerti, nak!"
Di tepuknya sebelah pipiku, menimbulkan bunyi tubrukan logam yang menenangkan pikiranku. Maka, kuterima pun pedang Tuan Gawain, dan kusarungkan dalam sarung pedang dipunggungku. Lalu, kami pun berpisah. Sembari salam ia titipkan padaku, untuk Ayahku bila nanti ku temui dirinya.
Kami pun berjalan berlawana, dimana Tuan Gawain menuju arah tenggara, dan aku menyusur menuju arah barat. Tujuanku adalah Kastil Hijau, melewati kota Toulouse, hampir menyebrang perbatasan wilayah Kerajaan Visigoth tempat kami sekarang berada. Demikian arahan yang diberikan Tuan Gawain padaku, untuk menjejaki Ayah.
Dalam perjalananku, beberapa serangan monster menungguku, benar seperti yang Tuan Gawain perkirakan. Setiap hutan, setiap desa, ... seakan mereka telah menanti kedatanganku. Serasa tak ada hari tanpa serangan. Bahkan dihari-hari dimana aku kehabisan makanan, karena tak ada upah yang kuterima dari memburu monster. Entah apa yang mereka incar. Namun, beberapa kata yang selalu mereka ucap adalah tentang aku, Morien, dan tentang ksatria hitam.
Membuat aku kadang berfikir untuk berkelana tanpa sirah dan teropong ini. Namun aku pun tak yakin dengan melepas sirah hitamku, serangan para monster akan terhenti. Sehingga yang bisa kulakukan hanyalah bertahan. Terus bertahan dan menjadi lebih kuat.
Hingga beberapa hari berlalu, namun kota yang bernama Toulouse itu, tak kunjung menampakan dirinya. Entah karena aku mengambil rute yang salah, atau memanglah kota itu masih jauh. Namun, sesuai dengan arahan dari penduduk desa yang telah kulalui. Seharusnya kota itu sudah tak jauh lagi dari lokasiku.
Menanjak jalan miring pun, kupaksakan kakiku. Kendati ini hari ketiga dari saat terakhir ku lewati sebuah desa. Hari dimana persediaan makananku mulai menipis, sedangkan serangan monster biasanya mulai mengintai keberadaanku.
Terik sinar mentari kala itu, kulihat diujung jalan dua orang musafir sedang membaca peta. Seorang mengenakan sirah emas di atas kudanya, dan seorang lagi berjubah abu-abu bak seorang peramu obat. Kuteriakan sisa nafasku, kuharap mereka dapat berbagi pada diriku yang lusuh ini.
Awalnya, mereka hanya menolehkan pandang padaku, bahkan melambai dari kejauhan itu. Namun, berselang jarak kami menjadi dekat, sang ksatria bersirah emas tiba-tiba turun dari kudanya. Berjalan ia menjemputku, lalu berseru ia sembari menghunuskan pedang.
"Kau! Hunuskan pedangmu!"
Aku sedikit bingung dengan maksud dari perkataannya, bahkan kukira ada monster yang hendak mendekat dari sekitarku. Namun, tak ada apapun dan siapapun disekitar. Hanya aku, sang musafir berpakaian peramu obat, dan sang ksatria bersirah emas tersebut. Yangmana bersama langkahnya yang semakin kencang, ia pun menyerukan hal yang sama kembali.
"Kubilang, hunuskan pedangmu! Apa kau tak mendengarku?!"
Begitu geram suaranya, begitu pun dengan berat langkahnya. Yang semakin dekat, langkah itu pun semakin cepat menerjangku. Hingga terpaksa pun ku hunus pedangku dalam keadaan membingungkan tersebut. Dan ia pun mulai menebas.
Satu tebasan vertikal, menyerang dadaku, namun kutangkis. Lalu, tebasan miring kebawah menuju pundakku, yang kembali pun ku tepis kesamping. Ksatria itu tak henti pun menyerangku bertubi-tubi. Tak memberiku waktu menghela, bahkan untuk sekedan berucap memohon penjelasan.
Hingga tebasan vertikal ke samping pelipisku pun, membuat pedangku melayang dari genggaman tanganku. Menancap jatuh pun pedang itu ke tanah, seraya membuat ksatria itu menghentikan serangan padaku.
Hampir terputus nafasku, bahkan tiap-tiap helaannya membuat jantungku memompa hebat. Kendati tak ada kulit yang terluka dari semua tebasannya. Diangkatnya pun mata pedangnya searah tenggorokanku.
"Sebelum ku tebas kau, katakan! ... Apa kau mencuri pedang itu? Kenapa pedang coklat itu ada padamu? Apa kau membunuh pemilik pedang itu? Cepat katakan padaku, bagaimana pedang Gawain bisa ada padamu!"
Tatapnya geram bisa kurasa dari balik penutup helem teropongnya. Namun, sebentar ... apa ksatria ini barusaja menyebut nama Tuan Gawain? Jangan-jangan dia salah satu ksatria meja bundar!
"Sebentar, Tuan ... apa Tuan mengenal Tuan Gawain? Atau mungkin Tuan juga ksatria meja bundar, seperti juga halnya Tuan Gawain?"
Ditariknya kembali mata pedang dari tenggorokanku, terlihat bingung pun ksatria itu menatapku.
"Kau, ... siapa Gawain bagi dirimu?"
"Tuan Gawain adalah penolongku tuan, ia juga yang memberikan pedang itu sebagai senjata bagiku, saat pedang ku patah tak bisa ku gunakan lagi!"
Turun pun bilah sang ksatria, sembari menepuk telapaknya pada dahi.
"Akh ... jadi begitu, sungguh terdengar seperti Gawain ...
Hampir saja aku menebasmu! Maafkan aku." Tersarung pun pedangnya kembali, lalu diulurkannya tangannya padaku.
Maka, kusambut pun telapak tangan itu dengan hangat.
Sungguh mengejutkan aku bisa bertemu rekan ayah lainnya secepat ini. Ingin pun aku segera menanyakan soal ayah pada dirinya. Tetapi, niatku pun terhenti mengingat pesan Kaheed untuk menyembunyikan identitasku. Agar para pengejarku tak mudah untuk menemukanku dalam persembunyianku ini. Mengingat aku juga berpacu dengan waktu untuk memabawa Ayahku pulang dan menyelamatkan Ibuku.
Terlebih mengingat para monster yang dirasuki iblis, sedang mengawasiku. Aku harus berhati-hati dengan identitasku. Aku harus bisa membatasi kumonikasi yang tak penting, untuk menyibak identitasku.
"Tuan, katakanlah ... apa kau juga dari meja bundar?"
Kubersihkan debu di tubuh, lalu berjalan aku mengambil pedang yang tertancap di jalan berbatu. Sungguh tajam dan kuat bilah itu hingga bisa menembus batu, pikirku sesaat aku menarik pedang itu.
"Apa kau juga ksatria Logres, tuan?" Ulangku, karena tak kunjung ia jawab pertanyaanku. Sedang sang musafir berpakaian peramu obat, mendekat turun dari ujung jalan menanjak, sembari membawa serta kuda yang ditinggalkan sang ksatria emas ini.
Mungkinkah musafir itu pelayan dari ksatria ini?
Mungkinkah para ksatria di menja bundar dan Ayahku memiliki nama yang begitu tersohor?
"Ah, Logres! ... Tentu aku dari sana ku datang, apa kau tak mengenalku?"
Ku palingkan pandangan padanya, entah mengapa ia malah bertanya balik padaku.
"... mm, apa kau orang terkenal di negeri ini, tuan? Maafkan aku, tapi dari daratan lainlah tempat asalku. Meskipun, di daratan ini sudah tiga musim berlalu begiku."
"Oh, begitukah! ... Darimana datangmu anak muda?"
"Selatan!" Jawabku singkat, sembari kami berjalan searah menuju ujung jalan menanjak.
"Selatan? ... Mengapa kau berkelana ke daratan ini?"
" ... maaf tuan, aku memiliki alasan untuk tak mengatakan alasanku."
"Baiklah ..., aku mengerti. Tapi, setidaknya bisakah kau ceritakan tentang bagaimana kau mengenal Gawain, anak muda?"
"Untuk hal itu ... sebenarnya ada sedikit hal yang bersinggungan dengan rahasiaku, tuan. Tuan sendiri, apa tuan sedang dalam perjalanan ke suatu tempat?"
"Kau, pria yang penuh misteri, bukan?"
Entah itu sindiran karena aku tak terlalu terbuka atau bukan. Aku yang tak menjawabnya dengan kata-kata pun, hanya bersenda dalam tawa sedikit agar tak menyinggung perasaannya. Setidaknya aku tak mau rekanan ayah menjadi tak menyukaiku karena tersinggung.
"Apa kalian sedang menuju Toulouse, tuan?"
"Ya, ... apa kau juga ingin menuju kesana? Atau kau punya tempat tujuan lain?"
"Kastil Hijau tujuanku, tuan!"
"Oh, Kastil Hijau? ... sudah lama aku tak mendengar tempat itu. Apa Gawain yang mengirimku kesana?"
Terkejut aku tentang bagaimana ia bisa langsung mengetahuinya. Apa itu juga ada kaitannya dengan meja bundar? Sungguh menarik keingintahuanku, tempat bernama meja bundar tersebut.
"B-bagaimana kau bisa mengetahuinya, tuan?"
"Oh, tepatkah? ... Sudah ku duga demikian!"
Dia mengacuhkan sisa pertanyaanku, hanya tersenyum ia menunggang. Aku pun tak ingin pembicaraan ini semakin panjang dan membuatku tanpa sengaja menumpahkan informasi tentang identitasku.
Kami pun berhenti di ujung jalan menanjak itu. Dimana di hadapanku, padang hijau tak berbatu atau pun pohon, menghampar begitu jauh di hadapan mata. Sedangkan jalan batu yang ku injak, berakhir di depan langkahku.
Apa ini? ... Apa dugaanku tentang salah jalan, benar adanya?
Namun, tak lama bingungku hendak mencari jalan. Ksatria di sampingku, mendahuluiku lalu berhenti di menghadapku.
"Baiklah, berhubung Gawain juga mempercayaimu dengan pedangnya. Biar ku pandu kau selama berada di Toulouse.
Merlin, bisakah kau lakukan?"
Musafir berpakaian peramu obat itu pun menunduk, lalu tongkat yang digunakannya menopang jalannya, diangkatnya ke udara bebas. Dan bersinar pun ujung tongkat itu menyilaukan mata.
Begitu silau, hingga tak kuasa aku tuk tak menutupi pandang. Namun, begitu cahaya itu reda dan pandanganku ku buka. Betapa terkejutnya aku melihat sebuah gerbang kota raksasa di hadapan kami.
"Apa yang ...?"
"Selamat datang di Toulouse." Ksatria itu membuka tangannya pada pintu gerbang yang kemudian terbuka pun.