Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 7 - BAB VI Matahari Logres Part 2

Chapter 7 - BAB VI Matahari Logres Part 2

"... maafkan aku."

Ksatria bersirah coklat berlutut sembari menundukan wajahnya. Di samping, diriku yang kaku tak mampu berucap ataupun bertindak. Hanya diam, dan menatap kaku pada pemandangan sang ksatria, yang bersimpu di hadapan para janda baru, yang tak henti bersendu. Bahkan saat kuangkat wajah melihat penduduk desa di sana. Sang kepala desa yang tadi begitu berterimakasih padaku, hanya bisa meremas punggung tongkat yang membantunya berdiri, selagi memimikan wajah sedih diantara keriputnya.

Jiwa ku serasa tertusuk begitu dalam. Di hati kecil bahkan berharap aku tuk melayang pada pengalaman menyatu dengan alam. Sehingga pemandangan menyesakan ini dapat pergi dari ingatanku. Namun, tak bisa aku beralih. Tak bisa aku pergi ke dunia layang itu, dan meninggalkan keadaan ini.

Kendati, semua memang keteledoran ku...

Ksatria coklat itu berdiri, dan di guncangnya bahuku satu kali.

"Ayo, nak ... masih ada tanggung jawab yang harus kita selesaikan."

Kuarahkan pandang, wajahnya masih tegar kulihat. Mengangguk pun aku sebelum kami berjalan meninggalkan para janda baru itu. Aku hanya tertunduk mengikuti sang ksatria coklat, bagaikan mayat hidup yang dipaksa berjalan.

Akan menangis pasti Ibu bila melihat hal ini, apalagi Kaheed.

...

Sepuluh keping koin perak, dan tiga keping koin emas. Bukan menerima yang ksatria itu lakukan, malah memberi ia dari kantongnya pada kepala desa. Alasannya, sebagai sedikit pelipur lara bagi para janda yang kehilangan pencari nafkah mereka. Lalu, kami membeli juga tiga tong minyak dari kepala desa tersebut, dengan uang berbeda dari yang telah diberikan sang ksatria coklat sebelumnya.

Satu tong hendak kuangkat untuk kubawa kembali menuju hutan. Namun, bergetar tanganku, menyela pun tangan sang ksatria coklat melarangku mengangkatnya. Memaksaku hanya bisa menurut, lalu mengikuti di belakang langkahnya, yang membawa tiga tong minyak sendirian.

Langit bergeser kekuningan, matahari tenggelam. Mebuat api yang kami bakar pada kedua tubuh monster yang kami tumpuk, semakin nyala terangnya dibanding saat siang. Sedangkan senyap ku sepanjang waktu, masih tak kuasa aku menepis kekecewaan yang dalam ini, atas diriku. Sembari berandai, dan terus berandai. Semakin kalut pun merasaanku yang selalu menemukan kesalahan dalam setiap keputusan yang telah kulakukan.

"Jangan menyerah ..."

Kutolehkan wajahku atas kata-kata ksatria coklat itu.

"Jangan menyerah, untuk saat ini ..." Ulangnya.

Lalu, dirogohnya kedalam sirah dadanya, sebuah liontin bundar pun ia genggam di telapak. Sendu irisnya menatap genggaman itu, sebelum berucap lagi.

"Setidaknya, janganlah menyerah untuk orang-orang terkasihmu, ... agar tak ada penyesalan di hari tua."

Begitu sendu tatapnya, meskipun bahasa tubuhnya masih tetap tegap dan kuat. Bahkan ketika genggamannya menguat pada liontin bundar itu. Mata yang membiarkan tangisnya meluncur, tetap terlihat begitu tegar memantulkan cahaya dari api pembakaran.

Menyela pun, teringat aku akan Ayah. Aku tak boleh berkubang dalam penyesalanku terus, selagi Ibu masih di tahan di istana!

"Tuan, dapatkah kau memberitahu tentang Ayahku, sekarang?"

Mendengarku, diusapnya pun airmatanya.

"Ah, iya ... soal Ayahmu. Dia adalah ksatria yang luar biasa ... " Terhenti kata-katanya dalam hembusan nafas, dipandangnya wajahku. "Aku dan Ayahmu, kami ksatria yang berada dalam satu kesatuan ksatria yang sama, nak! Ksatria meja bundar, orang-orang menyebutnya.

Suatu kesatuan ksatria, yang berada dibawah komando sang Raja Logres, Raja Arthur. Disana ia banyak bercerita tentang negerimu dan dirimu, nak. Karena itu semua ksatria di meja bundar, termasuk Raja kami, pasti akan mengenalimu bila mereka tahu kalau kau Morien!"

Jadi ayah selalu mengingat kami ... demikiankah?!

Terharu aku mendengarnya. Kendati selama bertahun Ayah tak pulang, tak jarang pun kami berprasangka kalau iya telah melupakan kami. Dan ternyata semua itu salah! Ayah masih mengingat negeri kami, dan terus menceritakannya pada rekan-rekannya. Ia masih mengenang hari-harinya bersama Ibu, ia masih mengenang hari-harinya di Maghreb. Lalu, ia juga masih terus mengenang aku.

"Begitukah, tuan!" Semangat seraya menguatkanku kembali, "Lalu, dimana dia saat ini, tuan?"

" ... itu, saat ini aku tak tahu dimana keberadaannya."

Tak mengerti aku apa yang dimaksudnya, namun tak langsung menyela aku untuk menunggu ia enyelesaikan kalimatnya. Hanya kutunggu dan kupandang ksatria itu menghela nafasnya.

"Ya, ... saat ini tak tahu aku keberadaannya. Karena sudah satu tahun ini, kami tak bertemu."

" ... m-mengapa begitu? Apa terjadi sesuatu pada Ayahku, tuan?" Kerut dahiku, kurasa mulai diisi butiran keringat.

"Bukan begitu, ... hanya saja, setahun lalu kami menerima misi untuk menyebar di daratan ini. Misi rahasia yang tak bisa kami ceritakan pada siapapun. Tapi, ... ada tempat yang bisa kau tuju untuk mencari jejak ayahmu!"

"Begitukah? ... Kalau begitu, bisakah kau mengantarku menuju tempat itu, tuan?"

Kembali senyap ia. Entah apa yang terbersit di benaknya kali ini. Namun pandangan yang ia berikan padaku sekarang, entah mengapa sungguh terasa seperti pandangan yang sering di berikan Kaheed dan Ibu padaku. Pandangan yang mereka berikan saat mereka membicarakan tentang apa yang ingin kulakukan di waktu mendatang.

Hangat dan menenangkan pandangan itu, lalu sedikit digosoknya bagian atas helm teropongku. Membuatnya terguncang dan sedikit miring dari kepalaku.

"Maaf, nak! Ada misi yang masih harus ku emban untuk sekarang. Tak bisa aku meninggalkan hal ini begitu saja untuk menemanimu mencari Ayahmu. Namun, jangan khawatir! Tempat yang akan kau tuju ini, tidaklah jauh dari tempat ini. Dan bila kau bilang kalau aku yang mengirimku, mereka pasti akan menerimamu dengan baik!"

" ... baik, tuan. Namun, kau masih belum memberitahukan siapa dirimu padaku, tuan!"

"Ah, benar juga. Aku kelihatannya lupa memperkenalkan sedari tadi, bukan? Ha ha ..."

Sembari meletakan kedua tangannya di lututnya, berdiri pun ia dengan mendorong tubuhnya pada kedua lutut dengan tangan. Menghadap diriku pun kemudian, suara lantangnya menggelegar pun dari senyum lebarnya.

"Aku Gawain, ksatria terhormat dari Lodgres! Dengan matahari yang bersinar di punggungku ini, ku ucapkan senang dapat mengenalmu, nak!"

Menyambung perkenalan riangnya tersebut, lengannya pun ia ulurkan padaku mengantarkan telapak yang terbuka. Aku pun menerimanya dengan menyalam tangan tersebut. Lalu, di tariknya pun aku bangun, berdiri setara dengan dirinya. Meskipun aku pun sadar, kalau ternyata aku masih lebih tinggi dari dirinya.

"S-salam kenal juga dari ku, tuan Gawain!" Aku pun terpaksa mengikuti nada meriahnya.

"Bagus! Dengan begini, kita resmi sebagai rekan sesama ksatria. Seperti halnya aku dan Ayahmu. Maka dari itu, mulai sekarang pun, kau wajib untuk menjaga kehormatanmu sebagai ksatria. Apa kau mengerti, nak!"

Senyumnya yang begitu gemilang, hampir membuatku kabur dari kenyataan kalau dia masih menyindirku tentang tindakan tak bertanggung jawabku. Namun, mengetahui kalau rekan-rekan yang dimiliki ayahku adalah para ksatria seperti Tuan Gawain, dalam hati kurasa kelegaan tersendiri.

Tetapi, raut wajah Tuan Gawain yang tadinya begitu gemilang menatapku. Bersama senyapnya hutan yang kusadari pun terasa janggal, iris birunya teralihkan tajam kesekitar kami.

"Nak, persiapkanlah dirimu ... karena kelihatannya, tugas kita sebagai seorang ksatria disini masih belum selesai sama sekali!"

Seraya pun kami saling membelakangi, di sela-sela diantara pepohonan yang sudah mulai tak terlihat karena gelapnya hari, beberapa pasang mata merah seperti yang ditunjukan sang monster kedua tadi siang, terlihat menatap mengelilingi kami. Enam, delapan, sepuluh, bersama hitunganku yang terus bertambah, mata-mata merah itu juga terus bermunculan diantara kegelapan.

Suara mereka menyebut namaku berulang ulang kami dengar semakin mengencang.

"Iblis, kah?"

"Iblis?"

"Ya, roh iblis yang merasuk pada tubuh monster. Roh itulah yang membuat mereka bisa berbicara. Entah mereka sudah ada sejak pertama kali monster-monster muncul di daratan ini, atau mereka baru saja sampai di daratan ini dan merasuk ke para monster yang telah ada di daratan ini lebih dahulu. Namun, satu hal yang pasti, mereka adalah musuh umat manusia. Dan juga salah satu alasan, mengapa aku dan Ayahmu di utus Raja kami untuk menyebar kesegala penjuru daratan membasmi mereka.

Tetapi, kelihatannya kali ini mereka mengincarmu atas suatu sebab, nak! Apa kau bisa menyadari suatu alasan?"

Kugelengkan kepalaku, lalu kugeritkan gigi.

Sungguh sulit kupercaya, kalau pengejarku sekarang bertambah satu kelompok. Dan mereka bukanlah manusia.

Terlebih, kami terkepung, dan pedangku dalam keadaan yang tak memungkinkan bertarung. Namun, terpaksa ku hunuskan pun begitu Tuan Gawain menghunuskan juga pedangnya. Kurasakan pun lirikannya pada tangan ku yang menggenggam pedang yang hampir tak berbilah lagi ini.

Tuan Gawain pun mengulurkan pedangnya padaku.

"Pakailah!" Katanya singkat, membuatku bingung melihat dirinya yang hanya memiliki pedang tersebut padanya saat ini.

"Tapi, tuan. Bila kuambil pedang mu, dengan apa nanti kau akan bertarung?"

Angin berhembus di punggung kami, sejenak mengangkat syal merah yang dilingkarkannya di leher. Membuat sejenak mataku memandang simbol matahari yang terukir lebar di punggung sirahnya.

"Apa kau lihat matahari di punggungku, nak? Kau tahu kenapa simbol itu melekat disana?"

Hanya diam aku, namun pandanganku masih memperhatikannya yang mulai memalingkan badan padaku. Kemudian, diambilnya tanganku dan digenggamkannya pedangnya padaku.

"Jangan khawatir, nak! Banyak orang menyebutku Sang Matahari Logres, bukan tanpa sebab!"

Begitu gemilang wajah Tuan Gawain saat itu ku lihat.

Namun, para mahluk yang menurut penuturan Tuan Gawain adalah iblis yang merasuk itu, menyerang pun mereka dari kegelapan. Memaksa kami merespon, dan darah merah pun mulai berceceran disekitar kobaran api, yang membara setinggi pohon apel.

Menangkis, menebas, dan menusuk pada tiap monster yang menyerangku. Demikian pun dengan Tuan Gawain, yang begitu mengejutkan mampu melawan para monster ini hanya dengan tinju kosong dan tendangan kakinya saja. Padahal, untuk menjatuhkan satu monster saja, nafas ku yang berbekalkan pedang ini sampai harus tersenggal-senggal.

Tetapi, Tuan Gawain malah tak terlihat kewalahan! Malah dia masih menunjukan senyuman lebarnya dibawah tatapan tajam iris birunya. Kemudian dilanjutnya ia berucap lantang.

"Biar kuberitahu, mengapa mereka menyebutku demikian, nak!

Itu karena, selama matahari di jiwaku masih berpijar, aku tak akan roboh melawan siapapun!"