"Morien, ... kerajaan kita memiliki sejarah yang panjang, nak!"
Demikian ucap Ibu ku dulu saat aku bertanya kenapa kami tak meninggalkan kerajaan dan mencari Ayahku saja. Hanya jawaban ambigu yang tak bisa ku mengerti hingga saat ini pun, itu, yang kuterima. Bahkan, disaat aku hendak memulai perjalanan ini. Dimana saat itu adalah saat terakhirku menunjukan wajah pada orang lain, yaitu pada Kaheed, perdana menteri kepercayaan kerajaan kami.
"Karena Moors, memiliki sejarah yang panjang, tuan! ... jadi, jangan pernah tunjukan wajah tuan atau nama tuan pada siapapun, mengerti!" Ucapnya sembari menunjukan wajah gelisah. Yang selama ini tak pernah kulihat terpampang di wajahnya, sehebat itu!
.
.
.
Entah mengapa aku mengingat semua itu, saat ini. Terlebih disaat terdesak yang akan menjadi saat terakhir hidupku.
...
"SEKARANG MATI KAU, MORIEEEEEEEN!!!"
Demikian seru Monster itu selagi berlari kearahku bagai anjing kelaparan. Sedangkan, otot dan tubuh yang baru saja tertabrak batang pohon ukuran sedang ini, sungguh enggan untuk kugerakan lebih. Seakan, semua penderitaan kami, semua harapan kami, serta pengorbanan yang telah dibuat hanya untuk menjemput raja sah atas negeriku hanyalah...
Oh, ... begitukah!
Jadi, semua hanya akan berakhir sia—sia pada akhirnya.
Sungguh tak adil, ada monster berakal yang tiba-tiba menyebut dan mengincar nyawaku dengan seluruh keganasannya.
Sungguh kemalangan yang tidak berdasar,... sungguh tragedi.
Lepas helaan nafasku, ku pejamkan pun mata dalam posisi duduk. Sedangkan raungan sang monster begitu jelas terdengar di tiap detik, semakin dekat. Hingga kesenyapan pun menyambut,... menyisahkan hanya bunyi logam.
Lalu, bunyi logam sekali lagi...
... aneh kurasa. Mengingat aku dulu sering mengalami berbagai pengalaman 'merasa', saat malam. Meskipun, aku yang tak pernah mati sebelumnya. Namun, saat ini aku begitu yakin kalau apa yang kurasakan sekarang, tak seperti sedang mati.
"... Morien?" Suara seorang laki-laki yang terdengar tegas dan dalam. Mengundangku membuka mata, meyambut sirah dengan warna coklat bak perunggu. Juga, motif ukir matahari di bagian punggungnya, di bawah syal merah berkibar-kibar di tiup angin musim hujan. Ia berdiri tegap membelakangku dengan pedang yang teracung tegas ke depan. Sunguh sosok yang kuat, di sekelibat itu persepsiku.
Namun, segera aku tersentak mengingat tentang monster, yangmana segera mengejutkanku saat kutemukan pun tergeletak mayatnya di kanan kiri dalam dua bagian potongan. Jangan bilang, kalau orang ini membunuhnya dengan sekali tebas?
"Kutanya, ... apa kau Morien, seperti yang kudengar dari seruan monster itu padamu?" Tegas pria itu lagi selagi menyarungkan pedangnya dan berbalik padaku.
" ... mm, y-" tidak! Ini gawat, dia mendengar jelas seruan monster tadi.
Identitasku terbongkar!
Aku harus segera lari. Namun, tubuhku tak mau ku kerahkan. Bahkan untuk berger-
Klang!
Helm teropongku tersibak dari kepalaku. Membuka wajah hitam Moor ku, menghadap iris biru langit dari ksatria berkulit sawo matang di depanku.
Kaku kami menatap di tengah angin berhembus.
"Jadi benar ..."
Dia pun berdiri dari jongkoknya, membiarkanku masih terdiam di posisi duduk. Lalu, berjalan dia melewatiku...
Apa ini?... begitu saja?
Apa dia memutuskan melepasku begitu saja, setelah mengetahui aku pangeran Moor, target kejarannya? ... tidak, kenapa dia menyelamatkanku kalau dia pengejar yang dibayar untuk membunuhku? Apa dia pengejarku?
"T-tuan, apa kau mau pergi?" Seruku selagi mengambil helm teropongku merangkak, lalu berdiri.
"Pergi? ... Lalu siapa yang akan membakar mayat monster ini, kalau aku pergi? Aku tak akan tak bertanggung jawab dengan menyerahkannya pada penduduk desa, seperti yang kau lakukan!"
Ia tahu?!... Ah, pasti ia mendengarnya dari penduduk desa. Ia pun berjalan pergi menuju desa meninggalkanku.
"T-tunggu tuan, ... " Seusai menutupkan helm teropongku pada kepalaku. Berdiri kembali aku, dan kukejar pun ksatria coklat itu. "Tuan, saat kau menanyakan identitasku tadi, seakan kau mengetahui ku sebelumnya. Apa kau mengenalku, tuan?"
Sejenak ia memberikan pandangnya, namun langkahnya tak berhenti melangkah.
"... tentu aku mengenalmu! Meskipun, kita tak pernah bertemu sebelumnya."
"Be-begitukah?! Darimana kau mengenal ku, tuan?"
"Darimana? ... semua orang di meja bundar, tahu siapa dirimu itu, nak!"
Meja bundar?
Apa itu suatu tempat, bernama meja bundar? Apa identitasku sudah terbongkar dan di awasi begitu ketatnya di meja bundar itu?
Namun, melihat sikapnya yang terlihat tidak mengincar nyawaku... agh! Apa maksud semua ini?
"Meja bundar, ... apa itu suatu nama tempat, tuan?"
Ksatria coklat itu menghentikan langkahnya.
"Kau tak pernah mendengarnya?" Tolehnya pada ku.
"... ini pertama kalinya, tuan"
Ia senyap. Menundukan wajah, lalu menghembuskan helaan nafas.
"Memilukan ..." Bisiknya seakan menghayati sesuatu, lalu kembali ia berjalan dengan tegas. Bahkan hingga membuatku sedikit tertinggal dalam langkah.
"Hei, tuan ... setidaknya, tidakkah kau berpikir kalau kau punya kewajiban menjelaskannya padaku sedikit pun?"
Dia seketika berbalik, dan digenggamnya kedua pundakku memaksaku menegakan punggung. Tajam tatapannya di teropong tanpa penutup wajah itu, namun air mata mulai mengalir deras dari matanya kemudian. Selagi tersedu-sedu pun, dia paksakan berbicara padaku.
"Nak, ingat ini, ... ayahmu ... menyayangimu, nak!!"
Ayah? Orang ini, mengenal ayahku? Apa karena itu ia mengenal nama pemberian ayahku itu, namun tak membunuhku?
Rasa hangat pun menyeruak hebat dari dadaku. Bahkan eforiaku tak bisa kutahan, saat aku mendorong balik sang ksatria coklat.
"Anda mengenal ayah saya, tuan? ... Dimana dia sekarang?! Dapatkah kau mengantarku padanya, tuan? Kumohon tuan, aku harus segera membawa ayah kembali dan merebut kembali kerajaan kami tuan! Kumohon antarlah aku, maka akan kubayar berkali-kali lipat pun jasa anda nanti! Kumohon ...!"
Tak kurasa, ternyata aku mendorong sang ksatria hingga ia terdesak terangkat pada sebuah batang pohon di punggungnya. Namun, mimik mukanya tak menunjukan perubahan. Hanya menatapku begitu tegas, dengan suatu sendu yang bisa kulihat di pandangannya.
"... tenangkan dirimu, nak."
Aku tersadar. Perlahan kulepaskan dorongankku, membiarkan ksatria itu kembali turun menginjak tanah. Namun, malu ku membuat pandanganku tak bisa kuangkat lagi pada wajahnya.
"M--maaf ..., tuan."
"Kau cukup kuat, bukan?"
Hanya diam aku ...
Kudengar sirahnya berdeting ringan bersama tangannya yang membersihkan dedaunan di pundaknya. Lalu, ditepukkya pundakku pelan. Pandangannya pun menelusur sirah lusuhku, sembari sedikit ia tepiskan dedauan dari kedua pundakku, dan ditegakkannya pun aku kembali.
"Jadi ... kerajaan mu diserang. Apa kau satu-satunya yang selamat?"
"Tidak tuan, Ibuku masih hidup dalam penahanan orang-orang vandal, yang menyerang istana kami. Begitu pun perdana menteri kami yang berjaga untuk keselamatan Ibuku di negeriku bersama beberapa pasukan kerajaan yang tersisa...
Bahkan sebenarnya, aku tak berangkat sendiri ke tanah ini ..."
Lemah aku menahan kenangan dari para prajurit kerajaan, yang saat lalu bersama dalam perjalananku. Kugenggamkan kuat pun tanganku, menahan kekesalan ini. Namun, air mata yang menetes dalam teropong tertutup ini, tak bisa ku tepis membasahi wajah.
" ... pasti berat bagimu, ... sudah berapa bulan, nak?"
"Sekitar tiga musim aku sudah berada di tanah ini, tuan"
"Begitukah! ... baiklah, kalau begitu kita bereskan dulu mayat dua monster tadi, sebelum kemudian kita bisa banyak berbincang."
...
Ia pun kembali berjalan, hingga kami pun sampai di desa.
Di depan pintu masuk desa, beberapa warga sudah menunggu disana. Juga kepala desa yang tadi kulihat dan beberapa wanita paruh baya. Pandangan mereka penuh kecemasan kurasakan. Tiga orang wanita paruh baya, terlihat tak sabar dan belari menjemput kedatangan kami.
Hingga mereka sampai di hadapanku, mereka renggut pun tanganku sembari menatapkan penuh harap. Bertanya pun salah satunya ...
"Suami-suami kami, ... a-apa mereka tertinggal di belakang, oh tuan ksatria? Ke-... kenapa mereka tak ikut kembali bersamamu, tuan?"
Sadar pun aku, ... darah yang berceceran diantara organ itu. Tak kuasa ku ucap kenyataan tragis itu. Begitu terpukul aku akan keteledoran yang berakibat fatal ini...
Hendak ku jemput pun genggaman kuat mereka di tanganku, dengan tangan sebelahku. Namun, bergetar tangan itu tak mampu ku dorong untuk bergerak. Serasa seluruh badan ini menopang beban begitu berat, bahkan kakiku seakan tertanam ke dalam tanah.
Namun, sang ksatria coklat, yang mendekat dari sampingku. Diulurkannya tangannya, memberikan beberapa potong kain lengan baju berdarah, yang tercabik oleh sang monster sebelumnya. Entah kapan ksatria itu memungutnya. Para wanita paruh baya itu pun terpukul melihatnya. Perlahan tangan mereka melepasku dan mengambil potongan lengan baju itu. Tersungkur pun mereka ke tanah dengan pandangan yang lepas.
Tangis mereka, jerit mereka, ... hampir roboh dari pijakanku, aku mendengar itu.
"M- ..."
Hendak kuucap penyesalanku, tetapi hilang suara dari tenggorokanku. Membuatku hanya bisa memaku melihat ratapan para wanita paruh baya yang kehilangan suami mereka tersebut.
Tak mampu kusampaikan betapa menyesalnya aku atas kebodohanku itu. Malah sang ksatria coklat disampingku yang menundukan dirinya, sembari menjatuhkan satu lututnya ke tanah. Menutup kesalahanku dengan permohonan maafnya.
"Andai aku datang lebih cepat untuk menyelamatkan suami-suami kalian ... maafkan aku."
Ia menanggung beban besarku yang terjadi karena kesalahan yang kulakukan.