Menembus pepohonan dari hutan disamping desa, aku bergegas mengejar jeritan para warga yang dapat tipis kudengar. Tak banyak waktuku. Bahkan, untuk menghindari dahan dari jalurku berpacu pun aku tak sempat, dan membuatku terpaksa menebasnya. Menebas dengan pedang ringkih yang bilahnya pun semakin terkikis karenanya. Sial!
Aku membuat kesalahan, dan kesalahan itu berakibat pada nyawa yang tak bisa mempertahankan dirinya. Harusnya aku lebih teliti dan menyadari ini sejak awal. Namun, rasa lelah dan pikiran rindu kubiarkan menguasai seluruh indraku. Membuat penalaranku tumpul, dan akhirnya berakibat fatal seperti ini!
Aku harus bergegas. Aku, tak boleh membiarkan kekacauan yang kubuat, semakin buruk lebih dari ini!
Aku harus selamatkan...
Bergetar tubuh pria paruh baya itu kulihat, saat kuhentikan langkah dikubangan darah. Sedangkan, kedua kakinya tak menyentuh tanah, lengan kiri pun dirobek dari tubuhnya. Lalu, disantap pun oleh sang monster yang menusukan dua jarinya ke dada sang pria.
Pria itu masih bernafas! Aku bisa lihat ababnya!
Bahkan pandangan mata yang bergoyang irisnya itu!
Tak sanggup memberontak, tak sanggup menjeritkan rasa sakit. Ia, hanya menatap monster yang sibuk mengunyah lengannya dengan tenang. Mengunyah bagaikan sedang menikmati kudapan yang begitu nikmat. Lalu, dibuangnya pergelangan tangan yang tersambung dengan tulang lengan yang telah dihabiskan dagingnya. Melambung, lalu terjatuh menggelincir dibawah kakiku. Di bawah kaki yang berada di kubangan darah dan bagian-bagian ... yang terkoyak.
... seperti waktu i-
"SIALAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN!!!!"
Tubuhku bergerak lebih cepat dari pikiranku.
Pandanganku kabur. Indraku meredup. Lalu, saat kutebaskan pedangku vertikal keatas, dunia pun menjadi gelap.
Setiap ototku yang bekerja keras dan setiap tebasan yang kulayangkan masih dapat kurasa. Namun, seakan aku tak punya kuasa lagi atas raga ini. Semua yang meluap dari jiwaku membuat nalarku terabaikan begitu saja.
Entah berapa kali aku terhempas oleh lengan besar penuh otot tebal tersebut. Entah bagaimana aku bisa menghindari semua sinyal bahaya yang mengarah pada tubuhku. Yang kulihat hanya dua pandangan buas diatas gigi-gigi tajam ternganga, dua tangan bercakar yang berusaha merobek dan menangkapku, lalu awan mendung...
Ini semua, terasa seperti pengalaman malam saat aku masih di Istana. Pengalaman menyatu dengan alam, sebelum aku punya mimpi buruk yang menggantikannya di tiap malam.
Kemarahan sang monster dan perjuangan tubuhku, benar kulihat dari tempat tak jauh. Bagaikan melihat pertunjukan. Tubuhku kulihat bagaikan kumpulan awan mendung yang mengangkat pedang.
Kudengar teriakku seperti gemuruh, dan tebasanku bagaikan kilat terang. Berulang kali jatuh, terhempas, dan menghindar, sembari menebaskan bilah ringkih pedang besi ku. Aku mengamuk menuju sosok besar yang tak begitu jelas bentuknya dipengelihatanku.
Hanya menggebu dan terus menggebu yang bisa kujejakan diingatanku. Diluar itu, semua gelap
Hingga, pedang ku patah...
Begitu jelas suara besi terbelah itu, memaksaku kembali pada akal sehat pada dunia terang.
Maka, sadar pun aku bila sedang melayang di udara. Selagi, punggung tangan sang monster menghadang di hadapanku. Lalu, gagang pedang yang ku julurkan kebawah berhadapan dengan kuku tebal sang monster yang tergores. Seakan menjelaskan mengapa bilah yang patah bisa melayang di depanku sekarang.
Apa yang sudah terjadi selama tadi?
... tidak! Jangan terbawa pikiran lagi!
Kondisi melayang di depan monster yang kesakitan penuh luka ini, belum berakhir!
Aku harus berge- "Bhuggh!!"
Punggung tangan sang monster pun menghantamku, dan melontarku tinggi melambung ke udara. Menghantam pun aku pada batang pohon ternoda darah. Menyebarkan nyeri yang tak tertahankan di punggung. Nyeri yang tak kurasa saat mengamuk.
Mengejutkan untuk menyadari tentang bagaimana aku bisa menahan nyeri seperti ini, sedari tadi pertarungan kami. Sempat merangkak bahkan aku untuk bangun, selagi sang monster mengerang kesakitan di hadapan salah satu pergelangan tangannya yang rapi terpotong. Monster itu mengerang hebat selagi memundurkan langkah sedikit dalam pandangan gentar padaku. Akukah yang melakukannya? Tak bisa kuingat ...
Yang bisa kupastikan hanya otot-otot ku lelah, nafasku berat. Sedangkan pedangku sudah tak mungkin menemaniku bertarung lagi.
... ini terjadi lagi.
Kebencianku pada diriku yang lemah, telah membuat aku lepas kendali dengan membabi buta. Yangmana menghabiskan seluruh energi dan memberikan beban berlebih pada tubuhku yang lelah, dan menempatkanku pada posisi yang berbahaya.
Seperti saat—saat lalu, dimana semua hal itu selalu berakibat pada aku yang kehilangan orang—orang disekitarku. Satu persatu, dengan cara yang hampir sama.
Tak hanya dengan monster. Baik itu dengan bandit yang mengincar kami, juga dengan pengejar kami para vandal. Aku yang selalu lepas kendali saat menyadari betapa tak berdaya dan lemahnya diriku. Yangmana, selalu berakhir pun dengan diselamatkan oleh pengorbanan nyawa rekan-rekan seperjalananku.
Padahal dulu kami bersebelas saat menetapkan tekad untuk berangkat dari Maghreb, untuk mencari ayahku di Eropa. Namun, saat ini mereka telah tiada. Dan itu semua karena keteledoranku! Aku yang membuat mereka merenggang nyawa...
"Sial!!"
Umpatku selagi menghantamkan kepalan tangan pada batang pohon disampingku. Lalu, pandangku melayang pada pedang patah di tanganku. Tak sampai sejengkal panjang bilah yang tersisa di gagang. Sedangkan monster itu..., tubuh yang sebesar minotaur dengan kepala ganas seperti serigala. Bahkan untuk merobek leher mahluk itu, mungkin pedang yang hanya berbilah pendek ini tak akan mampu.
Namun, bila aku menyayangi nyawaku dan mundur. Maka, nyawa yang lainlah yang akan dibahayakan. Aku harus mengakhirinya disini dan sekarang juga!
Menelusur kesekitar pun netraku, terarah pun pada dua tong kayu di samping mayat sang baboon. Mungkinkah minyak yang hendak digunakan warga membakar tubuh baboon?
Terbersit pun suatu ide di pikiranku. Ide yang seakan memaksaku melakukannya sebagai satu-satunya cara yang layak dicoba. Maka, kusarungkan pun pedang patahku pada sarungnya, sebelum kemudian kupacu kakiku menuju tong kayu tersebut.
Dari belakang, mungkin monster itu mengira aku ingin kabur, namun teriaknya yang semakin dekat kudengar, menandakan kalau dia tak akan membiarkanku begitu saja! Melompat pun aku merenggut tong kayu itu, lalu segera ku balikan badan. Namun, monster itu ternyata lebih cepat dari perkiraanku dan diserangnya pun aku yang masih membawa tong berisi minyak. Membuatku pun lagi-lagi terhempas, dan terpaksa melepas peganganku pada tong kayu yang susah payah hendak kulemparkan pada sang monster.
Jatuh hancur pun dan bercecer percuma minyak dari tong kayu itu di depan sang monster. Lalu, tenggelam pun dalam tanah dengan sia-sia. Tak menyisahkan apapun, selain bau menyengatnya yang menusuk hidung sang monster.
"Gaaa... !!" Ucapku hendak mengumpat, namun sadarku akan salah perhitunganku sendiri membuat kata-kata itu tertahan.
Dengan begini, hanya tinggal satu kesempatan yang ku miliki. Satu tong kayu yang berada di samping sang monster saat ini. Geh, ... hal ini menjadi semakin menyulitkan saja!
Entah bagaimana kali ini aku harus melakukannya, namun geram sang monster kelihatannya juga semakin meningkat. Setidaknya hal itu bisa kulihat jelas dari raungannya dan tatap mata merahnya kali ini!
Mungkin aku untuk menerjang dan menghindari hempasannya, untuk mendapatkan tong terakhir itu. Atau haruskah aku lari?
Tidak, ... jangan buat pilihan yang akan kau sesali, Morien!! Hantamku, menarik diri.
Ku luruskan pun kembali pikiranku, dan kubulatkan pun tekadku. Lalu, berkata aku dalam hati pada diriku.
Aku harus melakukannya. Meskipun itu tidak mungkin, aku harus membuatnya mungkin!!
Maka, berlari pun aku menerjangnya, begitu pun sang monster yang menjemput terjanganku dengan egonya. Dalam langkah, ku fokuskan pun indraku pada satu-satunya tangan besar sang monster yang bisa ia gunakan. Kurasakan pun angin berhembus di antara kami, jelas memandang pun kedua netra ku memantau posisi.
Jarak kami yang hanya tinggal beberapa langkah. Tangan sang monster yang ia angkat keatas hendak mencakar. ... baiklah!!
Melompat pun aku pada ritme yang tepat dengan waktu monster itu menerjangkan cakarnya. Mengantarku berguling mendekati tong kayu dan meninggalkan sang monster luput dengan terjangannya padaku.
Aku yang berhasil mendapat kesempatan terakhir ini pun, segera merogohkan tangan pada tong, lalu ku angkat pun tong itu diatas kepala, untuk ku lemparkan pada sang monster.
Tetapi suatu hal di luar dugaan terjadi menghalangi ku. Hal yang tak mungkin untuk dilakukan monster tak berakal, yang biasanya hanya menghajar dengan emosi.
Itu adalah sebuah batang pohon medium, yang terlempar dan menghantamku jatuh ke belakang. Seraya pun membuat ku terpaksa melepas tong kayu terakhir itu, untuk menghantam tanah dan hancur menyebarkan minyak di dalamnya.
Aku mengerah berusaha bangkit, sembari pandanganku tercengang melihat sang monster. Sang monster yang seharusnya tak berakal dan hanya terbawa emosi. Namun, kali ini bibirnya melebar. Sembari pandangan menukik yang meremehkan, ia arahkan padaku selagi terkikih.
"Sekarang kau mati, Morien ..."
Diriku tertegun. Ragu aku mendengar kata-kata keluar dari bibirnya, bahkan identitasku dia ucapkan.
Gelisahku menghentak. Suatu teror tiba-tiba kurasa begitu hebat...
"Ap-"
" SEKARANG MATI KAU, MORIEEEEEEN!!"
.
.
.