Chereads / Cintai Aku Dengan Keras / Chapter 15 - Chapter 15 : Ada Getaran Asing dan Amarah

Chapter 15 - Chapter 15 : Ada Getaran Asing dan Amarah

๐ŸŒบ๐ŸŒบ๐ŸŒบ

Satu bulan sudah berlalu setelah kencannya dengan Fatih.

Dyvette juga mendengar kalau Ankhamun sudah kembali pada tugas militernya. Sampai saat ini belum terdengar kabar kehamilan dari istana. Yang artinya, istri Ankhamun belum mengandung.

Entah kenapa juga Dyvette terus teringat pada lelaki itu, bahkan jika dibandingkan dengan Fatih, Dyvette lebih sering memikirkan Ankhamun.

Soal Lucas, tidak terjadi apa-apa dengannya. Sepertinya hanya Dyvette saja yang merasa tidak enak padahal lelaki itu tetap santai.

Dan mengapa juga Dyvette merasa bersalah karena tidak sengaja mengatakan soal ciuman itu di depan Lucas?

Pikirannya sedang runyam, ditambah pekerjaannya yang semakin padat dan menguras waktu.

Fatih hanya pernah mengirim pesan satu kali semenjak dia kembali ke negaranya. Itu pun hanya menanyakan kabar dan harapannya agar Dyvette akan selalu sehat dan bahagia. Tidak ada keromantisan sama sekali, padahal sebelumnya Fatih begitu...

Ah sudahlah, mungkin dia tidak direstui, itu pikir Dyvette.

"Kakak sendirian?"

Dyvette menoleh, lalu tersenyum setelah melihat siapa yang bertanya.

"Pacar kakak yang payah itu ke mana?"

Dyvette tidak bisa untuk tidak terkekeh.

"Sini duduk." dia menepuk tempat di sebelahnya dan meminta Yori duduk.

Yve sedang ada di pasar malam, ini akhir pekan jadi dia ingin menghabiskannya dengan bermain. Lucas sedang pergi membeli permen kapas dan Dyvette menunggunya di sebuah taman kecil.

"Kamu kesini sama siapa?"

"Sendirian." jawabnya, Dyvette agak terkejut.

"Sendirian? Rumahmu di mana?" jangan sampai anak imut ini nyasar, kalau ada yang culik bagaimana?

"Rumahku di distrik 14, jalan Moza 27 Salem Tengah."

Wow, dia hapal alamat rumahnya,

"Memangnya orangtuamu tidak mencari nanti?"

Anak itu terlihat muram.

"Mereka tidak akan mencari."

Dyvette : "Kenapa?"

Yori menggeleng pelan.

"Ceritakan sama kakak. Aku pendengar yang baik lho.." bujuk Dyvette lembut, Yori terlihat sedang mempertimbangkan.

"Ibu dan ayah bertengkar setiap waktu, kalau Yori pergi pun, mereka tidak pernah mencari. Nanti kalau Yori pulang, baru mereka sadar kalau Yori tidak ada di rumah."

Bagaimana bisa seorang anak kecil berbicara lancar seperti ini? Ya Tuhan.. Hati Dyvette meringis.

"Kamu anak yang pintar dan pemberani, jangan bersedih ya, kan ada aku sekarang." Dyvette mencoba memberinya semangat. Yori hanya diam, seperti sedang berpikir, atau malah mengingat perilaku kedua orangtuanya. Dyvette jadi tersentuh dan merasa kasihan.

"Mau main lempar-lemparan lagi?"

Yori menggeleng. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari saku kecilnya.

"Kenapa dikembalikan?" Tanya Dyvette penuh keheranan.

"Ibu marah dan mengira Yori mencuri ini. Ibu tidak percaya kalau Yori mendapatkannya dari kakak. Apakah ini sangat berharga?" tanyanya dengan wajah polos yang sedang menahan tangis itu.

"Apakah kamu pergi ke sini setiap minggu untuk menemuiku?"

Yori mengangguk.

Hatinya teriris. Bagaimana seseorang bisa tega mengabaikan anak semanis Yori?

"Simpan saja. Itu akan berguna suatu saat nanti. Kalau Yori sudah besar dan ingin hidup berpisah dari ibu dan ayah, jual itu. Kamu akan mendapat uang yang banyak darinya."

Yori diam menyimak, dalam hatinya dia bertanya apakah kakak Dyvette menyuruhku kabur jika aku sudah besar nanti?

"Nona...?" Lucas datang membawa dua permen kapas.

"Eh, Lucas. Ini Yori. Yori, itu kakak Lucas." Dyvette mengenalkan mereka berdua.

Dengan wajah ceria Yori bertanya : "Pacar baru kakak?"

"Ehemm... Bukan. Dia teman kakak." jawab Dyvette. Sedangkan Lucas hanya diam dengan wajah yang sedikit tersipu.

Lucas ikut duduk bersama mereka. Dyvette memberikan satu permen kapasnya pada Yori.

Malam ini mereka bermain bersama, bertiga seperti sebuah keluarga. Yori langsung akrab dengan Lucas bahkan mereka sampai membuat tim bersama untuk mengalahkan Dyvette.

Hati Dyvette sudah terketuk, dia ingin membuat Yori ceria selama mereka bersama. Dan ia merasa sangat bersyukur karena Lucas ternyata seorang penyayang anak kecil, Lucas memperlakukan Yori seperti adiknya sendiri.

Mungkin karena itu juga Yori langsung akrab dan dekat dengannya. Yori sampai enggan jauh-jauh dari Lucas dan terus menempel padanya.

Singkatnya, malam ini Dyvette merasakan bahagia. Dan dia sadar akan hal itu.

๐ŸŒบ๐ŸŒบ๐ŸŒบ

Keesokan harinya, Dyvette tidur seperti mayat sampai matahari sudah di atas kepala.

Para pekerja di rumah sedang melakukan tugas masing-masing. Ada yang sedang memetik bunga, mengepel lantai, memasak, membersihkan kaca, mencuci mobil, memotong rumput, memberi makan kuda, dan lain lain.

Lucas sedang berlatih bela diri di sebelah taman, di sana ada pintu dan jalan setapak yang akan membawa ke dalam hutan. Suasana yang hijau dan sunyi, sangat cocok untuk berlatih dengan fokus.

Vivian duduk dengan manis menunggu Dyvette bangun. Sambil membuang rasa bosan, dia bermain dengan sulaman. :)

"Hoammmm." dia menguap.

Vivian segera meletakkan sulamannya, dia menuangkan air dari teko yang berada di atas tungku kecil dengan api dari batu bara, lalu membawa nampan berisi air putih hangat dan satu buah delima yang sudah dikupas itu pada Dyvette.

"Jam berapa sekarang, kak?" Dyvette meminum air itu sedikit demi sedikit.

"Sudah jam dua belas lewat tiga puluh, Yve."

"Wah, aku kesiangan." Dyvette kembali menarik selimutnya dan bergelung di sana.

"Tadi pagi ada telepon dari pak Darius."

Seketika Dyvette langsung duduk tegak. Dengan wajah muram yang berlipat ganda. "Dia semakin kurang ajar semenjak ada telepon, bilang apa orang itu?" sungguh, hari libur adalah hari yang paling Dyvette tunggu karena hanya pada hari itu Dyvette bisa bebas dari pekerjaan, tapi rupanya Darius tidak bisa membiarkannya tenang walau sebentar saja.

"Tidak ada. Hanya menanyakan bagaimana akhir pekanmu. Dan juga, katanya soal kontrak 1999 yang belum diselesaikan kemarin, dia meminta berkasnya diantarkan sore ini."

Hening.

"Arrgghhhhhhh...."

Dyvette menyibak selimutnya dan langsung bangun dari ranjang. Dia memakai gaun tidur satin tipis berwarna hijau muda, dengan belahan dari paha sampai bawah di sisi kirinya.

"Panggil Lucas ke ruang kerjaku." ucapnya sebelum masuk ke kamar mandi.

.....

"Ada apa, Nona?"

Urat-urat dan otot Lucas menegang melihat Dyvette yang masih mengenakan gaun tidur.

Bagaimana tidak terkejut, dua putingnya yang mengeras tercetak dengan jelas :)

"Antarkan ini ke rumah Darius. Alamatnya sudah kutulis di sana. Oh iya, katakan juga kalau dia berani mengangguku lagi pada hari libur, aku akan keluar dari perusahaan." Dyvette menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.

"Baik. Apa ada hal lain lagi?" tanyanya sembari membaca tulisan pada kertas itu. Dia merasa canggung karena sudah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat dari majikannya.

"Hmmm... Belikan aku susu rasa strawberry dari kedai Baqara ya.."

Lucas mengangguk lalu segera pergi tanpa melihat ke arahnya sama sekali. Dyvette memandang kepergian Lucas dengan alis mengernyit.

"Kenapa lagi si Lucas?" gumamnya pelan.

Sementara itu, di belahan bumi yang lain.

Dua puluh dua tahanan hukuman mati yang jadwal eksekusinya adalah bulan depan dimajukan menjadi hari ini.

Fatih sedang dalam suasana hati yang buruk, dia meminta agar dia sendiri yang menjadi algojo mereka.

Para tahanan itu berbaris dengan pasrah menunggu kematian, ini sudah kepala ke delapan yang Fatih tebas hari ini.

Tahanan itu terlihat bergetar dengan terus menyebut nama Tuhan.

Assad memperhatikannya dari atas menara, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa pada putera semata wayangnya itu.

Kenyataan memang pahit.

Dari luasnya dunia, Zabbana dan Kadesh, kenapa putranya harus jatuh cinta pada adiknya sendiri?

Fatih terlihat sangat ceria saat kembali dari Kadesh, lalu menceritakan tentang niatnya yang ingin menikahi Dyvette.

Lalu Assad bisa apa?

"Aku akan memberikan dunia kepadamu, apapun yang kau inginkan, nak. Tapi tidak untuk Dyvette, karena dia adalah adik kandungmu, Farish. Maaf, baba tidak bisa mengabulkan permintaanmu yang satu ini."

Ucapan Assad terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Adik kandungmu..

Adik kandungmu..

Adik kandungmu..

Splashhhh.....

Dengan satu tebasan, leher itu putus. Fatih menggenggam gagang pedang damaskus itu dengan erat sampai urat-urat tangannya terlihat membesar.

Tubuh tanpa kepala itu bergetar dan memuncratkan darah dengan deras dari lehernya.

"Bagaimana hal ini bisa terjadi, yang Mulia? Fatih terlihat sangat terluka." ucap Salimah yang juga sedang ikut menyaksikan eksekusi itu bersama Assad.

"Entahlah, Aku hanya berharap semoga mereka belum melakukan apa-apa. Membayangkan jika aku akan mendapatkan cucu dari kedua anak kandungku sendiri, aku tidak akan sanggup menanggungnya."

Salimah menjawab, "Mungkinkah sudah saatnya kita membawa Dyvette pulang?"

Jujur saja, Assad merasa pesimis, "Menurutmu, apakah Dyvette bisa menerima kenyataan ini dengan mudah? Apakah dia tidak akan membenciku?"

"Kita belum mencobanya. Siapa tahu, kan? Dia akan lebih aman jika berada di sini."

Assad mengambil nafas panjang, dia kembali melirik ke bawah, di sana Fatih terlihat sedang melakukan ancang-ancang untuk menebas orang yang sedang duduk berlutut di hadapannya.

"Apakah dosa-dosaku terlalu besar dan belum diampuni? Salimah, hatiku benar-benar sesak. Melihat puteraku yang akhirnya merasakan bahagianya jatuh cinta, tetapi pada adik kandungnya sendiri." Assad menunduk, Salimah memeluknya dari belakang.

"Yang artinya, dia tidak akan pernah bisa bersatu dengannya."

Hening, setelah getaran di bahu Assad berhenti, baru Salimah berani mengeluarkan suara.

"Putri Hurairah, nona Zaya akan berusia tujuh belas tahun ini. Bagaimana kalau kita menikahkan mereka?"

Hening lagi, kali ini cukup sebentar.

"Aku tidak akan memaksa Farish, itu adalah sumpahku. Aku tahu rasanya dipaksa menikah itu seperti apa. Aku tidak ingin Farish merasakan hal yang sama." Assad berbalik, ia membelai pipi Salimah dengan lembut.

"Kalau begitu biarkan mereka saling mengenal dulu.."

Assad terdiam.

"Yang Mulia, hatimu selalu lembut dan perasa, aku dulu salah mengerti tentangmu. Tapi setelah kita banyak menghabiskan waktu bersama, aku menjadi tahu dan mengerti. Aku semakin jatuh cinta padamu dan rasa itu selalu bertambah setiap harinya bahkan sampai hari ini. Putera kita juga akan mencintainya, percayalah. Mereka hanya perlu sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama."

Dalam keheningan, mata mereka saling pandang. Sebelum akhirnya Assad menciumnya.

Sementara itu di bawah

Splasshhhh...

Fatih terengah-engah, dia melempar pedang itu dengan keras ke tanah.

"Sisanya lanjutkan besok." lalu segera pergi setelah mengatakan itu.

"Ya Tuhan.. Sesingkat inikah rasa bahagiaku?"