Chereads / Cintai Aku Dengan Keras / Chapter 18 - Chapter 18 : Hati Dari Api II

Chapter 18 - Chapter 18 : Hati Dari Api II

Kadesh, jam delapan pagi.

Estheria terus mondar mandir di kamarnya sejak tiga puluh menit yang lalu.

Ankhamun sakit.

Tubuhnya panas sejak semalam, Esther menunggu dengan cemas, Ankhamun sedang diperiksa oleh dokter.

Di sana juga ada Ahmanet dan Zephyr, Jamal belum tahu kalau puteranya sedang sakit karena dia masih sibuk menghadiri pertemuan pagi.

"Bukankah dia baik-baik saja saat pulang dari Salem?" tanya Ahmanet.

"Yang Mulia memang terlihat sangat lelah saat kembali, dia mengatakan jika akan langsung beristirahat." Jawab Esther

"Sejak kecil, Ankhamun itu jarang sakit. Dia anak yang kuat dan kebal walau dalam musim paling dingin sekalipun." Ahmanet bertambah cemas.

"Tahtah, apa pangeran tidak memperhatikan kesehatannya saat di Salem? Bukankah dia dijaga oleh delapan pengawal? Apa tidak ada yang mengawasi kesehatannya?" Zephyr bertanya pada Tahtah yang juga sedang kelihatan cemas.

Tidak tanpa alasan mereka cemas berlebihan, Ankhamun memang sangat jarang sakit, dan tentu mereka akan berpikir dramatis jika itu terjadi. Apalagi Ankhamun adalah satu-satunya pewaris laki-laki di Kadesh.

"Yang Mulia, pangeran menolak makan sehari sebelum kembali. Beliau mengatakan kalau sedang tidak berselera." jawab Tahtah seadanya, karena dia tidak mau berbohong.

"Apa Ankha sedang memikirkan hal berat sampai tidak berselera makan?"

Tahtah menggeleng. Dia tidak mau ikut campur terlalu dalam.

"Hamba kurang tahu, yang Mulia."

Beberapa saat kemudian, akhirnya dokter selesai memeriksa Ankha.

Dokter itu masih muda, mungkin masih sekitar pertengahan 30'an. Tinggi, berkacamata, membawa tas kulit ukuran sedang.

"Bagaimana dokter?" tanya Ahmanet. Esther berhenti dari mondar mandir dan ikut menunggu jawaban dokter.

"Yang Mulia hanya demam biasa, mungkin karena telat makan dan sedang banyak pikiran. Tadi beliau sempat mengigau karena demamnya terlalu tinggi. Saya sudah menulis resep dan akan segera meraciknya. Mohon ditunggu sebentar, yang Mulia."

Ahmanet segera melihat keadaan Ankha. Ia menyentuh keningnya, benaran panas sekali. Ankha terlihat cemas dalam tidurnya, Ahmanet mengusap alis putranya yang sedang mengerut itu.

"Apa yang sedang menganggu pikiranmu, sayang? Kenapa tidak cerita sama ibu? Jangan menanggungnya sendiri, kau masih punya aku." hati ibu mana yang tidak sakit melihat buah hatinya terbaring lemah seperti ini?

Esther datang dan menyentuh kaki Ankha, kaki ini sudah melangkah menghadapi banyak pertarungan dan pengabdian untuk negara. Lelaki seperti Ankhamun pasti memiliki seorang wanita idaman dalam hatinya, dan melihat dari sikapnya selama ini, Esther sudah tahu jika dia tidak akan mendapatkan rasa sayang Ankhamun dengan mudah. Sungguh sangat beruntung siapapun wanita yang dicintai oleh Ankhamun. Esther membatin dan mengusap ujung matanya yang berair.

"Ngghhh...." Ankha mengerang, kepalanya terasa berat dan berdenyut, dia bisa merasakan sendiri hawa panas yang mengelilingi tubuhnya.

"Ankha, buka matamu nak." Ahmanet terus membelai rambutnya.

"Dy...." gumamnya pelan.

"Ya?"

"Dy.. Dydy..."

"Didi?" Ahmanet kebingungan.

"Siapa si didi?"

Esther : "Nama pria?"

"Entahlah. Tapi sepertinya iya." jawab Ahmanet setengah ragu setengah tidak.

"Dy...jangan lari.." Ankha terlihat frustrasi takut ditinggalkan

"Ya Tuhan, siapa Didi? Tahtah!" Ahmanet memanggil Tahtah

Tahtah menghadap dan memberi hormat. "Ada apa, Yang Mulia?"

"Kau kenal Didi?"

Alis Tahtah keriting

"Didi?"

Belum sempat Ahmanet membalas dokter itu datang membawa semangkuk obat. Ia langsung meminumkan obat itu pada Ankhamun.

"Saya sudah memberikan obat penurun panas dan pereda nyeri. Dan menambahkan sedikit obat penenang supaya pangeran bisa tidur lebih nyenyak.

Sebenarnya dokter Zain juga merasa agak heran, sejak kapan Pangeran menjadi orang lebay yang tidak makan sehari saja sudah demam tinggi begini? Sejak tadi pangeran juga memanggil nama seseorang yang dia sendiri baru mendengar nama itu.

"Jadi tidak ada penyakit yang serius kan?" Ahmanet memastikan.

"Tidak, beliau hanya butuh istirahat saja. Saya sudah menyiapkan obat untuk dua hari ke depan."

Setelah minum obat, Ankhamun tidur dengan nyenyak. Ahmanet membenarkan posisi selimutnya, sedangkan Esther membereskan obat-obat dari dokter tadi. Semuanya adalah herbal dan masih berbentuk daun-daun kering, ada juga bubuk-bubuk yang ditaruh dalam botol kaca.

Ahmanet tidak mau Ankhamun meminum obat yang dibuat di pabrik kimia. Nanti kalau akan minum obat, mereka akan mendadak menumbuk dan meraciknya sesuai resep dari dokter.

🌺🌺🌺

Salem. Jam tujuh malam.

"Dyvette..."

Vivian duduk pada kursi goyang di kamar Dyvette, dia sedang menyulam sambil memperhatikan tuannya yang sedang gelisah.

"Apa?"

"Berhenti memukul-mukul bantal yang tidak bersalah itu." ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari kegiatan menyulamnya.

"Bagaimana aku akan menghadapinya setelah ini? Aaahhhh sialan." Dyvette merasa frustasi.

"Bukan hal besar, hanya berciuman."

"Hanya? Hanya, kau bilang hanya?" Dyvette tercengang, dia memukul bantal itu sekali lagi sebelum melemparnya ke lantai.

"Bukankah kamu juga menyukainya?"

Dyvette menatap Vivian dengan wajah tidak percaya, "Aku? Menyukainya? Mana mungkin begitu.."

"Lalu, kenapa kamu berinisiatif menciumnya duluan?"

Dyvette terdiam, benarkah apa yang dirasakannya selama ini adalah perasaan menyukai seseorang?

"Aku merasa ada rasa nyaman, hatiku juga selalu berdebar, kak. Apakah itu artinya benar aku menyukainya?" Vivian meletakkan sulamannya, dia terlihat kaget.

"Dyvette, kamu memang cantik tapi rupanya agak bodoh, itu artinya kamu menyukainya! Ya Tuhan... Jadi selama ini sebenarnya kamu uring-uringan karena dia?" Vivian mendekat

"Masa aku mau menelan ucapanku sendiri? Dia itu sudah menikah kak! Aku paling benci laki-laki yang tidak setia dan punya istri lebih dari satu, masa aku malah mau menjadi istri kedua?"

"Kamu uring-uringan terus teringat ciuman pertamamu yang di ambil olehnya, kamu juga sering bilang, kenapa aku terus memikirkannya sih? Di hari pernikahannya kamu ke sana karena ingin melihatnya, bukan?"

Untuk urusan hati, Dyvette memang agak lamban dan kurang peka, seperti ayahnya. Dia tidak bisa mengerti isi hatinya sendiri, yah, setidaknya Assad bisa tahu jika dia pernah mencintai Khaira, tapi Dyvette benar-benar tidak memiliki kesadaran ke arah itu. Dia, jauh lebih parah.

"Ankhamun, dulu dia yang meraihku waktu akan terjatuh di butik permata saat Lucas memberitahu ibu meninggal. Aku juga melihatnya di rumah, berpakaian serba hitam seperti orang yang sedang menyamar agar tidak dikenali. Aku juga tidak tahu, kenapa aku merasa seperti itu? Kami hanya bertemu satu kali di festival, lalu dia dengan tiba-tiba dia datang melamar. Tentu saja aku menganggap itu sebuah lelucon, dia baru berusia 18 saat pertama melamarku. Bukankah dia terlalu tergesa-gesa?"

Vivian tersenyum, "Dyvette, setiap kisah cinta itu indah, unik dengan caranya masing-masing. Pangeran saat itu masih belum terlalu dewasa, dia mengatakan apa yang ingin dia katakan dengan jujur tanpa memikirkan akibatnya, dia hanya berbuat apa yang ingin dia lakukan menuruti kata hatinya."

"Tapi sampai sekarang juga dia masih seperti itu." 

Vivian duduk di samping Dyvette, menatapnya dengan teduh dan penuh kasih sayang.

"Bukankah dia seperti itu hanya padamu? Kamu lihat sendiri kan, kalau di pernikahannya saja pangeran terlihat sangat dingin pada istrinya."

Pikiran Dyvette melayang ke mana-mana, mengingat semua yang telah dia lewati sejak bertemu dengan Ankhamun di butik.

Perasaan kuat yang membuatnya ingin melihat Ankhamun saat menikah, padahal dia tidak perlu melakukannya. Lalu saat dia menari, perasaan sedihnya bercampur dengan kesedihan kehilangan ibunya, hingga rasa itu terasa samar-samar.

Apakah jangan-jangan kesedihan itu malah lebih banyak datang dari pernikahan Ankhamun? Saat lelaki itu tersenyum padanya, Dyvette merasakan banyak kupu-kupu berterbangan di perutnya, kesedihan itu juga menghilang begitu saja.

Dan sahabatnya juga bilang kalau dia kurang ajar karena memilih musik yang lebih pantas di putar pada acara pemakaman di pesta pernikahan seorang putra mahkota.

Tapi Dyvette benar-benar merasa jika musik itu sangat sesuai dengan suasana hatinya.

"Aku... Merasa tidak rela dia bersentuhan dengan wanita lain. Membayangkan dia bersetubuh dengan istrinya saja membuatku merasakan panas yang entah berasal dari mana. Aku ingin menjauh dan tidak ingin melihatnya lagi karena itu, setiap kali aku melihatnya, aku selalu terbayang jika dia sudah menikah dan menyentuh wanita lain. Dan itu sakit, aku ingin, aku ingin dia hanya untukku, apakah aku aneh kak?"

Vivian tersenyum. Dia menggenggam tangan Dyvette. "Tidak, kamu tidak aneh. Wajar bagimu untuk cemburu dan merasakan 'panas' setiap membayangkan Ankhamun bersama wanita lain. Jalan kalian memang terlalu jauh dan akan sangat berliku, tapi setidaknya untuk sekarang, nikmati saja indahnya jatuh cinta. Jangan terlalu memikirkan bagaimana ke depannya, karna kita hidup pada hari ini, besok belum tentu sama. Jadi, nikmati saja apa yang sedang terjadi saat ini. Jangan berlari lagi, itu akan membuatmu lebih sakit. Kalau pangeran mendekatimu lagi, jujur saja dengan apa yang ada dihatimu."

"Masa aku harus bilang kalau aku menyukainya dan mau menjadi wanitanya?"

"Ankhamun sendiri yang sudah bilang, kan? Kalau kamu tidak merebutnya dari Esther, karna dari awal hatinya tidak pernah menjadi milik Esther, hatinya terjatuh padamu. Hatinya sudah menjadi milikmu. Kamu harus berjuang untuk kebahagiaanmu, aku yakin Ankhamun juga pasti akan berjuang, dia terlihat tulus dan tidak main-main."

Dyvette merenung, dia masih merasa jika ini terlalu cepat untuk menyimpulkan jika mereka saling mencintai. Apalagi apalah itu berjuang berjuang, Dyvette belum berpikir jauh ke sana.

Hatinya kembali panas, bayangan-bayangan Ankhamun tidur dengan Esther membuatnya mendidih.

"Sudahlah, tidak usah dibahas lagi kak. Aku jadi panas membayangkannya." Dyvette memaksakan senyumnya.

Hatinya benar-benar seperti terbakar, dan itu membuatnya tidak tenang.

Vivian membelai rambutnya dengan sayang, rupanya adiknya ini sudah mengalami masa-masa penuh drama itu, yah, walaupun agak terlambat.

"Baiklah. Kalau begitu ayo makan, jangan mogok makan lagi. Kalau nanti sakit bagaimana? Aduh adikku ini, luar biasa sekali. Langsung pergi setelah mencium seseorang, pasti Ankhamun sedang terkena mental sekarang." Vivian terkikik.

"Itu tidak lucu! Aku benar-benar sangat malu.. Aaarghhhhh.."

Vivian tertawa terbahak, benar-benar gemas sekali dia pada Dyvette.

Bayangkan, seharian dia sudah menjauhinya, secara halus terus mengusir Ankhamun, lalu tiba-tiba dengan dipenuhi rasa gugup dan gelisah dia malah menciumnya terlebih dulu. Setelah itu langsung lari pula.

Bukannya gak jelas banget ya tingkah laku adiknya ini? Vivian masih terbayang-bayang.

"Yasudah, sudah. Gimana kalau kita wisata kuliner lagi? Kita ajak Lucas, anak itu pasti langsung gembira."

Dyvette tersenyum, "Baiklah, ayo..."