Estheria sedang melamun saat Ankhamun ikut duduk di sampingnya, dan tidak menoleh sama sekali.
Mereka sedang ada di taman istana, taman seribu bunga, di tengah hamparan bunga itu ada sebuah patung dewi. Dewi Hathor, Ahmanet yang meminta patung itu untuk dibangun di sana, Kaisar mengabulkannya. Patung itu dilapisi emas dua puluh empat karat, kilaunya semakin indah saat tersiram sinar matahari.
Estheria memandangi patung itu sejak tadi, dalam hatinya sedang terjadi perang, berbagai macam emosi silih berganti membuatnya hampir tidak mampu bertahan.
Ankhamun : "Maaf.."
Ankhamun mengikuti arah pandang Estheria. Dia merasa sedikit bersalah pada gadis itu. "Maaf karena aku masih belum bisa mencintaimu."
Estheria masih diam untuk beberapa saat, tapi air matanya kembali jatuh. "Anda tidak perlu meminta maaf, aku tahu batasanku. Anda tidak perlu merasa terbebani, aku sudah siap dengan apapun sejak aku menginjakkan kaki di istana."
"Kau tidak membenciku?"
"Anda menyakitiku seribu kali pun, aku tidak akan pernah bisa membencimu, yang Mulia."
Ankhamun semakin merasa tidak enak.
Esther, mencoba menenangkan dirinya sendiri, "Kita baru menikah kurang dari setahun, tidak perlu terburu-buru. Aku percaya suatu hari nanti anda akan bisa membuka hati untukku. Tidak peduli sekecil apapun tempatku di sana, Aku percaya aku bisa masuk ke dalam hatimu."
Ankhamun, menjadi merasa tambah kasihan padanya, "Aku tidak bisa berjanji, putri Estheria."
Kenapa sih, dia tidak bisa mengatakan hal-hal yang baik, sekaliii saja, setidaknya untuk menghiburku.
"Siapa wanita itu?" Esther menyeka pipinya,
Ankhamun masih tidak memandang ke arahnya. Esther berasumsi jika wanita itu pasti orang yang luar biasa sampai membuat Ankhamun tidak bisa melupakannya.
"Siapa wanita yang anda cintai, yang Mulia?"
"Dyvette Mebraah." Ankhamun jujur sekali, dia samasekali tidak menyembunyikan apapun. Hati Esther semakin terluka saja.
"Dia penari itu? Si putri Salem?" Esther terkekeh pelan, Ankhamun menoleh setelah mendengar balasan sinis Esther.
Esther sudah tahu siapa Dyvette karena sepupunya, Alma sering cerita. Dia juga yang menyetujui Alma untuk meminta Dyvette tampil di pesta pernikahannya. Siapa yang tahu bukan? Kalau ternyata wanita itu adalah orang yang di cintai oleh suaminya, tahu begitu dia tidak akan membiarkan wanita itu menunjukkan wajahnya di depan Ankhamun. Ini malah menari dengan begitu indah di hadapan mereka. Esther juga tidak bisa munafik, dia sadar kalau Dyvette memang cantik dan tariannya malam itu sangat mempesona.
Esther semakin merasa ngenes saja. Dan dia membenci itu. "Jadi anda menyukai wanita yang cantik ya, Yang Mulia. Cantik tapi tidak berguna, apa bagusnya."
Selamat, sekarang Ankhamun tersinggung.
"Tarik kembali kata-katamu, Esther!"
"Kenapa? Anda tidak terima? Memang apa bagusnya dia, kecuali wajah yang cantik tentunya."
Mereka saling menatap dengan tajam, Esther tidak terima jika dia kalah oleh seorang anak haram, sedangkan Ankhamun tidak terima karena Dyvette dihina.
"Jadi kau merasa lebih baik dari dia, begitu?" cibir Ankha. Dia sekarang jadi tahu sisi lain dari Esther. Di mata Ankha, Esther adalah wanita yang lembut dan pandai menggoda, tidak terlihat ada sisi seperti ini sama sekali.
"Aku kurang apa di matamu, yang Mulia? Sejak kecil aku bekerja keras agar pantas bersanding denganmu, melewati banyak pelatihan calon permaisuri, belajar taktik perang dan bela diri agar bisa membantumu, aku mempersiapkan diri selama bertahun-tahun untuk berdiri di sampingmu. Tapi semua usahaku itu tidak berarti apa-apa dan kalah oleh seorang anak haram yang kebetulan berwajah cantik."
Jika Esther adalah orang lain sudah pasti Ankhamun menebas kepalanya sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya barusan.
Ankhamun, menahan amarahnya : "Dyvette bukan anak haram, kau tidak tahu apapun jadi lebih baik tutup mulutmu yang kotor itu sebelum aku benar-benar marah."
"Bukan anak haram? Kalau begitu di mana ayahnya? Jika dia bukan anak haram lalu kenapa ibunya membesarkan dia seorang diri? Dia hanya pandai menari dan menggoda saja! Apa anda tidak menyukaiku karna aku tidak bisa menari? Baiklah, aku akan belajar menari untuk anda."
Ankhamun bangkit, dia terlihat sangat, sangat marah. Tapi dia tidak sudi bertengkar dengan seorang wanita, apalagi wanita itu adalah Estheria.
"Meskipun kau mengganti wajahmu jadi mirip dengannya, meskipun kau menghabiskan seumur hidupmu untuk belajar menari agar bisa menandinginya, aku tidak akan pernah mencintaimu."
Luka di hati Esther semakin lebar, dan itu membuat dia membenci Dyvette lebih dari sebelumnya.
"Hah... Ternyata seperti ini rasanya. Baiklah, aku masih bisa menanggungnya. Tapi aku tidak akan menyerah, aku tidak akan membiarkannya merebut apa yang kumiliki." ucapnya dengan penuh tekad.
"Tidak usah terlalu percaya diri, aku tidak pernah menjadi milikmu jadi dia tidak merebutku sama sekali. Mulai hari ini aku tidak akan tinggal di kamarku lagi. Kau bisa tidur di sana sesuka hatimu aku tidak peduli."
Setelah mengatakan itu Ankhamun langsung pergi, dia tidak mempedulikan panggilan Estheria dia tetap berjalan meninggalkannya.
Esther tertawa keras, tertawa namun matanya juga berair. Ankhamun benar-benar menekan kepercayaan dirinya ke titik paling rendah, dia bahkan jadi malu dengan kata-katanya sendiri. Tidak akan menyerah ya?
Tentu tidak, dia tidak akan membiarkan Dyvette merebut posisinya sebagai calon Permaisuri di masa depan, meskipun Ankhamun tidak mencintainya, yang penting dia tetap menyandang gelar itu. .
"Aku jadi ingin berduel dengannya. Hahahaha."
Seperti orang gila, Esther terus saja tertawa....
🌺🌺❤️🌺🌺
Waktu terus berjalan, semuanya kini berbeda. Begitupun dengan hubungan Ankhamun dan Estheria. Mereka semakin menjauh sampai pada tahap seperti orang asing. Ankhamun menepati kata-katanya, dia benar-benar tidak pernah lagi tidur di kamarnya.
Tadinya Ankhamun menghargai Esther walaupun dia masih belum mencintainya, tapi setelah Esther menghina Dyvette, Ankhamun tidak lagi melihatnya seperti dulu.
Dan Kaisar tahu tentang itu, dia tahu kalau mereka tidak pernah tidur bersama lagi. Tapi dia bisa apa? Itu kehidupan putranya, dia tidak ingin ikut campur lagi, setidaknya, Esther tetap hidup.
Salem selatan..
Pembangunan yayasan sudah akan dimulai, ini adalah hari di mana mereka akan berdo'a bersama. Setelah berdo'a mereka akan makan-makan dengan semua pekerja dan orang-orang yang terlibat dalam projek ini. Ankhamun juga hadir, dia bersama Tahtah datang pada acara itu.
Dyvette tersenyum setelah melihat Ankhamun, mereka berjabat tangan. "Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk datang, yang Mulia.."
Ankhamun tersenyum, "Sebenarnya aku datang karena ingin bertemu denganmu."
Dyvette tersenyum tipis, "Anda sangat berterus terang sekali. Baiklah... Ayo mari, kami sudah akan mulai berdo'a.."
Dyvette akan membiasakan diri dengan kehadiran Ankhamun, lagipula ke depannya nanti mereka juga akan sering bertemu.
Ankhamun yang memimpin do'a, Dyvette agak terpana, lumayan religius juga ya Ankhamun?
"Amin.." Dyvette mengaminkan, panjang sekali do'a yang Ankhamun bacakan. Akhirnya mereka selesai.
Setelah berdo'a selesai, mereka makan bersama dan para pekerja mulai membuat fondasi. Yohan sudah rapat dengan semua tukang sebelumnya, jadi hari ini sudah bisa langsung dikerjakan.
"Nyonya, anda bisa menunggu di tenda, panasnya sudah mulai terik." Ates, mandor yang mengatur pembangunan menghampirinya. Tidak jauh dari sana Dyvette melihat Yohan sedang bicara dengan beberapa pekerja.
"Apakah Pangeran Ankhamun sudah pergi?"
"Belum, beliau sedang istirahat di dalam."
Dyvette berpikir sejenak, "Baiklah, aku akan ke sana sebentar lagi."
Ates mengangguk dan kembali pada kegiatannya.
Sebelum pergi dari area pembangunan itu, Dyvette berteriak menyemangati mereka.
"SEMANGAT YA SEMUANYA....." teriaknya sambil melambaikan tangan.
Semua tukang tertegun dan tersenyum.
"SIAP NYONYA!." mereka menjawab dengan serempak. Lalu benar saja, para tukang itu bekerja lebih giat.
Di dalam tenda Ankhamun terlihat duduk santai di sebuah sofa empuk, dia sedang melihat gambar-gambar rancangan Yohan. Dia menoleh sekilas saat Dyvette masuk.
Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan : "Menurutku rancangan ini terlalu sederhana, bagaimana menurutmu, Dy?"
Ap.. Apa? Sederhana? Apakah dia buta atau memang punya standar yang terlalu tinggi?
"Sederhana? Itu adalah desain yang aku pilih sendiri dan itu adalah yang paling cocok untuk sebuah yayasan. Kita akan membangun tiga sekolah di dalamnya, dari kelas untuk anak-anak sampai dewasa, ada tiga bangunan asrama, tiga lapangan, ruang dewan, asrama guru dan pelatih, dan banyak lagi. Ingat, kita itu membangun yayasan, bukan istana." balas Dyvette rinci.
Ankhamun terpana.
"Wah, sebanyak itu. Kalau begitu seharusnya aku memberi 1 juta keping emas lagi." Ankhamun hanya melihat gambar desain bangunan depannya saja, jadi dia tidak tahu.
"Tenang saja, aku punya banyak uang jadi anda tidak perlu khawatir kalau itu tidak akan cukup." Dyvette tersenyum disertai rasa kesal.
"Benarkah? Oh iya, aku lupa, kamu kan sangat kaya ya.." Ankha tersenyum penuh maksud.
"Yah, harta ibu ada lebih dari satu juta batang platinum di bank Salem, belum lagi emas, berlian, uang dan lainnya." Ujar Dyvette dengan bangga.
"Kemari.." Ankha menggerakkan jarinya meminta Dyvette mendekat.
Dyvette diam kebingungan, apakah dia harus?
"Kemari, Dy." ulangnya.
Mau apa dia? Dyvette membatin, tapi kakinya melangkah juga (-_-)
Belum juga sampai Ankhamun sudah menarik tangannya dan mendudukkan Dyvette di atas pangkuannya. Dyvette terkesiap, dia menahan jeritan yang akan keluar karena kaget. Dia duduk membelakanginya.
"Apa yang kamu lakukan, lepaskan."
Ankhamun semakin memeluknya dengan erat.
Sial, aku sudah terlalu lama berpuasa jadi sedikit tidak tahan..
Aroma parfum Dyvette yang khas membuatnya pusing tujuh keliling, aroma inilah yang selalu dia rindukan.
Jantung Dyvette memompa keras. Berdekatan seperti ini membuat dia bisa mencium wangi Ankhamun dengan jelas, dan itu membuatnya kembali teringat dengan ciuman mereka.
Dyvette bisa mendengar napas Ankha yang sudah mulai berat dan lebih pendek-pendek.
"Dasar mesum! Lepaskan!" Dyvette langsung panik setelah merasakan ada sesuatu yang keras menyentuh bokongnya.
"Itu salahmu, kamu gemesin sih."
'Astaga, dasar sinting'
"Aku teriak nih?" ancamnya
Ankhamun menyeringai, "Teriak saja teriak, lebih keras lebih bagus."
Tentu saja Yve tidak akan berani, banyak sekali orang dan itu akan sangat memalukan kalau mereka tahu apa yang sedang Ankhamun lakukan padanya.
"Ankhamun, jangan menggodaku."
"Aku tidak menggodamu, hanya ingin memelukmu saja. Kamu tidak tahu betapa aku sangat merindukanmu, kan?" Ankhamun menyibak rambut Dyvette ke samping, terlihatlah leher putih Dyvette di depan matanya. Dia langsung menciumnya dengan lembut, anggota tubuh bagian bawahnya semakin mengeras saja.
Dyvette merinding. "Katanya cuma peluk? Mmm.." Ankhamun berhasil menyentuh titik sensitifnya.
Well, Dyvette memang bilang kalau dia tidak mau menikah. Tapi itu bukan berarti kalau dia tidak akan pernah berhubungan seksual seumur hidupnya, kan?
Tangan Ankhamun semakin lincah setelah mendengar lenguhan pelan Dyvette. Dia meremas payudaranya. dan satu tangan yang lain berusaha mengangkat roknya.
Tadinya dia tidak berniat seperti ini samasekali, tapi setelah tubuh mereka bersentuhan otak Ankhamun jadi sangat kotor dan lupa dengan segalanya.
Dyvette memang menyukai Ankhamun, sampai titik di mana dia tidak bisa menolak sentuhan pria itu. Ankhamun terus mengecup lehernya dengan keras, Dyvette yakin itu akan membekas.
Kedua tangan Ankhamun bergerak berusaha melepaskan kancing kemeja Dyvette, setelah terbuka sedikit tangannya langsung menyusup dan memilin puting kirinya yang ternyata sudah mengeras. Ankhamun tersenyum penuh kemenangan. Rupanya Dyvette juga menginginkannya. Tangan kanannya kembali berusaha masuk ke antara pahanya.
"Ahh..." Dyvette membekap mulutnya sendiri setelah suara laknat itu keluar. Dia merasa... Malu? Tapi ini.... menyenangkan
Seperti ada sengatan listrik yang menyalur ke area wanitanya setiap kali Ankhamun memainkan putingnya. Yve merasakan panas dan bagian inti tubuhnya berkedut-kedut. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan sensasi itu. Yve jadi penasaran apa yang sedang Ankhamun rasakan saat ini.
Di tengah-tengah kegiatan penuh gairah itu, tiba-tiba bayangan Lucas terlintas.
"Ankhamun, hentikan....." seperti baru tersadar, Ankhamun segera melepaskan tangannya dari tubuh Dyvette.
Hampir saja mereka bablas ketahap 'itu'.
Tahtah melihat mereka, tadi saat dia akan masuk ke tenda dia malah melihat sebuah adegan dewasa, jadi dia memutuskan untuk tidak mengganggu mereka dan memilih untuk berjaga di luar takut-takut akan ada yang masuk.
"Maaf, aku tidak bermaksud melecehkanmu." Ankhamun masih bisa berpikir waras meskipun keadaannya saat ini sudah di ambang batas.
Dyvette bangkit dan membenarkan pakaiannya yang sudah acak-acakan.
"Tidak apa-apa, aku juga terlena." balasnya.
Ankhamun terpesona, melihat Dyvette yang terengah sedang mengancingkan baju.
"Kenapa kamu tidak mau menjadi wanitaku? Kamu tahu kalau aku mencintaimu, Dyvette."
Dyvette melirik ke antara paha Ankha, dia jadi lebih merinding.
Itu pasti besar sekali ya?
"Maaf, aku tidak mau jadi wanita simpanan."
"Bagaimana kalau menjadi istriku?"
Dyvette menarik ujung bibirnya beberapa mili, "Aku juga tidak tertarik menjadi istri kedua. Apakah aku hanya pantas menjadi wanita kedua? Apakah aku terlihat serendah itu?"
"Aku tidak mencintai Estheria. Aku akan melanggar sumpahku demi kamu, asalkan kamu yang jadi istriku."
Setelah rapi, Dyvette memandang Ankhamun. "Aku sedang tidak ingin membahas ini. Maaf, ada hal lain yang harus aku urus. Selamat siang, yang Mulia." Dyvette akan pergi tapi Ankhamun belum rela
Ankhamun, dengan hati yang bergemuruh, "Hal apa itu sampai kamu lebih memilih untuk mengurusnya daripada membahas hubungan kita?"
Dyvette menghentikan langkahnya. Matanya sudah akan menangis, setiap kali mengingat Lucas Yve akan menjadi cengeng. "Mencari orang yang aku sayangi." setelah itu dia langsung keluar.
Lucas belum ketemu. Dyvette sudah lelah terus marah-marah setiap kali bawahannya datang melapor.
Setiap malam Vivian akan menghiburnya agar tidak terus bersedih.
Apa yang aku pikirkan? Bisa-bisanya terlena oleh sentuhan Ankhamun sementara nasib Lucas masih tidak jelas di luar sana.
Lucas, maafkan aku..