๐บ๐บโค๏ธ๐บ๐บ
Mata yang berbinar, bersinar seperti berlian yang tersorot cahaya. Wajah yang teduh dan mendamba itu. Bibir merah yang tersenyum dengan sangat manis itu..
Ankhamun telah menemukan 'rumah' untuk hatinya pulang.
Dia masih belum lepas dari keterpanaan, wanita yang ada di hadapannya ini benar-benar Dyvette?
Kemana wajah masam dan kesalnya pergi?
Dyvette berjalan mendekat. Melihat reaksi Ankha yang memandangnya seperti barusaja melihat orang asing, dia tidak bisa tidak terseyum lebih lepas.
Yve menyentuh sisi wajah Ankha, meskipun dia pria, tapi wajahnya lembut dan tidak bercela. Kulit coklatnya mempesona, alis tebal dan lurusnya yang ekspresif, matanya yang tajam seperti elang, bulu matanya yang panjang dan melengkung, hidungnya yang terpahat sempurna, bibirnya yang penuh dan lembut seperti selalu diolesi dengan pelembab.
Belum ada kumis dan janggut, sepertinya Ankha selalu mencukurnya, atau memang dia belum ditumbuhi oleh mereka.
Dyvette menatap bibirnya sangat lama, bibir inilah yang membuatnya selalu terbayang-bayang hal tidak senonoh. Bibir yang sering mengeluarkan kata-kata menyebalkan, bibir yang sudah menciumnya. Bibir yang menjelajahi lehernya dengan tidak sopan pada hari itu.
Dyvette : "Kenapa hanya diam? Kamu gak rindu aku?"
Ankha mendapatkan kembali kesadarannya. Dia tersenyum. "Maaf, aku pikir ini adalah hayalanku. Kamu berubah terlalu cepat, aku tidak tahu harus terkejut atau senang melihatmu seperti ini."
Semburat merah jambu muncul di kedua pipi Dyvette. Dengan hati berdebar dia berkata : "Aku bukan orang yang romantis, aku juga tidak pintar berkata-kata manis. Apakah kamu mau menerimaku yang seperti ini?"
Ankhamun memeluknya, ada sebuah pikiran kalau dia tidak bisa menyentuhnya karena ini hanya ilusi, tapi karena wanita yang di hadapannya ini nyata, dia bisa menyentuhnya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Dyvette, kamu membuatku gila."
"Sepertinya kita sudah sama-sama gila, yang Mulia." Dyvette membalas pelukannya.
Mereka menghirup aroma masing-masing. Merasakan kehangatan suhu tubuh satu sama lain, dada mereka yang berdebar menempel.
Tinggi Dyvette sebatas leher Ankhamun. Dulu waktu pertama bertemu, tinggi mereka tidak terlalu jauh. Tapi karena Ankhamun tumbuh setiap tahun, sekarang dia jauh lebih tinggi darinya.
Ankhamun melepas pelukannya. Dia menyelami mata Dyvette, mencari sebuah kesungguhan. "Sejak kapan kamu menerimaku?"
"Kamu banyak berubah, setiap kita bertemu, pasti selalu ada yang berbeda darimu. Aku tidak mau menyangkalnya lagi, aku juga tidak tahu sejak kapan, hatiku selalu resah setiap kali memikirkannya. Mungkin itu dimulai saat kamu menikah."
Tatapan Ankha menghangat.
"Jadi kesedihan yang kamu tunjukkan hari itu adalah kesedihan karena aku menikah?"
Dyvette menjawab setiap pertanyaannya dengan jujur.
"Tidak tahu, perasaanku masih samar-samar saat itu."
"Terus kenapa kamu selalu menghindariku?"
"Aku juga bingung. Setiap kali melihatmu, bayangan-bayangan kesengsaraan itu selalu muncul. Dan aku tidak mau melihat ataupun membayangkan bagaimana rasanya."
Ankhamun sedikit heran, "Kesengsaraan?"
"Kamu sudah menikah, kamu juga pasti bersentuhan dengan istrimu. Kamu tidur satu ranjang dengannya, melihat tubuh telanjangnya, dan wajah yang pertama kali kamu lihat saat membuka mata di pagi hari adalah dirinya. Kesengsaraan itu membuatku panas, hatiku seperti dibakar dan perasaan itu membuatku tidak nyaman."
Jantung Ankha berdebar semakin keras setelah mendengarnya. "Percayalah, setiap malam sebelum aku tidur yang terus terbayang dalam mataku adalah wajahmu. Saat aku sedang dalam tugaspun, yang selalu terlintas adalah dirimu, aku sering kehilangan fokusku setiap kali kita habis bertemu. Tidak ada yang lain selain dirimu, Dy."
Dyvette terpana, benarkah? Jadi dia tidak melulu menjadikan aku sebagai objek mesum?
"Banyak yang ingin kuceritakan, tapi aku terlalu lelah untuk membahasnya. Intinya, Ankamun. Aku sudah menyerah, aku menyerah padamu. Mulai sekarang aku adalah milikmu.."
Cup.... Ankhamun mencium keningnya, lama.
Hati Dyvette berdesir, dia tersenyum bahagia. Akhirnya dia menyerahkan dirinya, Dyvette tidak tahu apakah dia akan menyesali keputusannya ini nanti. Tapi hidup itu singkat dan hanya sekali, kan? Apa salahnya dia ingin membahagiakan diri tanpa peduli dengan pandangan orang lain. Kali ini saja. Sekali ini saja, bisakah dia egois?
"Aku akan bekerja keras untuk hubungan kita, aku ingin kamu berdiri di sisiku, menjadi istriku."
Dyvette melepaskan pelukan dan menatap matanya, "Mungkin aku harus menegaskannya sekali lagi. Aku tidak berminat untuk menikah, Ankhamun. Aku tidak mau mengalami kesengsaraan meminta restu kedua orangtuamu. Aku sudah tahu akan seperti apa. Apakah tidak cukup untuk saling memiliki saja? Asalkan kita tetap bersama, tidak peduli menikah atau tidak, kita tetap saling memiliki."
Ankhamun terdiam, sepertinya hanya dia yang berpikir terlalu jauh. Tapi apa boleh buat, dia juga tidak ingin terlalu memaksa Dyvette.
Karna sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, masalah internal keluarganya saja belum selesai sampai sekarang. Sudah pasti kedua orangtuanya akan menentang mereka habis-habisan.
"Baiklah, kita bisa membahas itu lain waktu.."
Setelah itu yang terjadi adalah dua orang yang bibirnya saling membelit.
Membelit dan membelit, pelukan mereka semakin erat sementara mata mereka terpejam.
Ombak-ombak kecil terdengar bersamaan dengan suara nafas mereka yang mulai terengah. "Mmmmhh..." erangnya.
Ankha menyudahi ciuman itu untuk mengambil nafas. Sudah tidak bisa dibayangkan lagi semerah apa wajah Dyvette sekarang. Jangan sampai Ankha mengungkitnya!
"Pesan terakhirmu, apa kamu bersungguh-sungguh dengan itu?"
Sial, dia benar-benar mengungkitnya.
Dyvette tidak bisa lebih panik lagi setelah merasakan sesuatu yang 'keras' menyentuh bagian bawah tubuhnya. Dia hanya mengangguk tanpa menatap wajah Ankha. Yve terlalu malu.
Ankhamun kembali menciumnya, kali ini gairah sudah membakar seluruh dirinya, ciuman itu semakin turun ke lehernya. Yve bisa merasakan napas hangat Ankhamun, itu membuat aliran darahnya terasa panas.
"Jangan.. Jangan di sini." gagapnya
"Mmmhh.. Dimana?" Ankhamun semakin mengecup dengan keras, itu pasti membekas lagi.
"Ayo..." Yve menuntun jalannya, ternyata tidak jauh dari sana ada sebuah kabin kecil, sepertinya tempat dia santai.
Kabin itu tidak terlalu besar, tapi di dalamnya cukup lengkap. Ada ranjang besar dengan jendela kaca besar di belakang sandarannya, itu memberikan pemandangan pantai yang indah.
Ada lemari kecil dan sofa empuk, meja yang terdapat vas bunga dan keranjang buah segar. Ada juga air mineral dalam poci kaca, dan dua gelas minum.
Di sampingnya ada sebuah pintu yang tertutup tirai dari macam-macam bentuk kerang, di dalam sana adalah toilet dan bak mandi besar. Ruangan itu di kelilingi oleh jendela kaca, menampakkan pemandangan sekitar yang indah.
"Kamu sering tidur di sini?" tanya Ankha.
"Ehemm.. Hanya kalau sedang ingin ketenangan saja. Tapi setiap hari pasti dibersihkan."
Dyvette membelakangi Ankha, wajahnya terasa sangat panas. Dia memandangi ranjang itu, tidak pernah menyangka kalau dia akan kehilangan 'kesuciannya' di sini.
Ankhamun menguci pintu, lalu memeluk Dyvette dari belakang. Ia memejamkan mata, menahan rasa geli dari kecupan-kecupan Ankha di lehernya. Ia meremas rambutnya, Ankha membelai perut ratanya dengan gerakan yang membuat frustrasi. Semua sentuhan itu membuatnya kembali merasakan 'sengatan' yang mulai membuatnya candu.
Ankhamun tidak terburu-buru, meskipun dia sebenarnya sudah sangat siap untuk 'masuk' detik ini juga. Dia ingin mempersiapkan Dyvette terlebih dulu.
Dalam beberapa gerakan, mereka sudah berada di ranjang. Ankha melepaskan pakaian luarnya, yaitu cardigan brukat putih. Sekarang Yve hanya mengenakan dress sutra putih tanpa lengan yang mencetak lekuk tubuhnya, dia tidak memakai bra.
(Fact : Dyvette tidak nyaman memakai bra. Dia tidak akan memakainya kecuali pada saat-saat tertentu yang mengharuskannya berbusana resmi)
Dengan lembut Ankha meremas dadanya, tangannya bermain-main sementara mereka terus berciuman tanpa henti. Yve merasa jika bibirnya akan bengkak sebentar lagi.
"Mmmhhhh....." Yve tidak bisa menahan erangannya lagi ketika lidah Ankhamun yang hangat menari-nari di puncak kiri dadanya. Dia menjilat, menyesap, menyusu seperti bayi yang kehausan. Yve meremas rambutnya dengan gemas. Dressnya sudah turun sampai perut, tangan Ankhamun liar membelai seluruh inci tubuhnya.
Melihat reaksi Dyvette, Ankha semakin gemas dan mulai memberi tanda-tanda merah di payudaranya.
Dia membelai pahanya dan meremasnya pelan.
Gairahnya sudah memanas, Yve membuka kakinya untuk mempermudah jalan. Mendapat lampu hijau begitu, tentu saja Ankhamun menjadi semakin liar.
Perlahan tangan Ankha masuk ke dalam celana dalamnya, membelai 'daging kecil' itu, menyentuhnya dengan sangat hati-hati, kemudian menekannya sedikit, lalu membuat gerakan memutar dengan lembut. Awalnya Yve tersentak, dia merasa kurang nyaman, tapi Ankha segera membungkamnya dengan ciuman sehingga yang terdengar hanya erangan dan desahan yang tertahan.
Lama kelamaan ia mulai santai, Yve sudah bisa merasakannya. Sensasi geli-geli gemas itu, melihat respon Dyvette, Ankha memindahkan ciumannya pada daun telinganya. Tangan kanan Ankha terus meremas dan mempermainkan puncak dadanya, sementara tangan kirinya terus mempermainkan klitorisnya.
"Mmhhh.. Ankhamun.." tanpa sadar pinggulnya bergerak mengikuti ritme permainan Ankhamun.
Ankhamun semakin terbakar, bagian yang 'mengeras' dalam tubuhnya mulai terasa sakit karena terlalu lama didiamkan. Meredam egoisnya, Ankhamun kembali mengulum puncak dada kiri Dyvette, tiga titik sensitifnya dia mainkan secara bersamaan. Membuat wanita itu seperti melayang ke langit.
Setelah beberapa saat. "Ankha.. Aku sepertinya mau.... Mmmhhh..." Yve bergetar, dia merasakan kontraksi hebat pada inti tubuhnya, matanya berputar ke atas, tubuhnya menegang setelah itu. Setiap denyut yang dia rasakan membuatnya tenggelam dalam lautan menikmatan. Ini adalah pengalaman pertamanya, dan ternyata rasanya seperti ini.
Untung saja Ankhamun cukup mengerti anatomi tubuh wanita, dia sering membaca buku tentang itu. (๐) Ehemm...
Cairan bening dan licin keluar dan membasahi tangan Ankhamun. Yve sudah siap..
Ankha melepas tangannya dan merobek celana dalam tipis itu dalam sekali gerakan. Dyvette menarik wajah Ankha lalu mencium bibirnya dengan tidak sabaran, sekarang tingkat gairah mereka sudah seimbang.
Ia membantu melepaskan pakaian Ankha tanpa melepaskan ciumannya. Begitupun dengan Ankha yang melepas gaun yang tersisa di tubuhnya itu.
Sekarang mereka sudah sama-sama telanjang. Wajah Dyvette memerah begitu melihat 'Jamur' Ankha, nyalinya tiba-tiba menciut. Mana mungkin benda itu bisa masuk di tubuhnya?
"Kalau sakit bilang ya.. Aku akan pelan-pelan kok.."
Dyvette mengangguk dan berusaha tenang. Tapi Ankhamun tidak kunjung memasukannya, dia terus menggesek-gesekan penisnya di pintu masuk, padahal Dyvette sudah sangat basah.
"Mmmhh... Cepat masukkan!" keluhnya, dia sudah tidak tahan dengan rasa geli itu. Ankha terkekeh dan menciumnya karena gemas.
Ankhamun bergerak sedikit demi sedikit, Yve mencengkram seprai saat merasakan bagian bawahnya telah dirobek, dan itu sangat sakit.
Sialan alat kelamin pria ini!
Ankha menggeram, dia juga merasakan sakit karena pintu masuknya terlalu sempit. Butuh beberapa waktu bagi mereka berdua untuk bisa menyesuaikan tubuh masing-masing. Setelah beberapa dorongan, akhirnya 'benda' itu masuk seluruhnya.
"Ahh... Sakit...." Dyvette menangis. Ankhamun berubah cemas, dia membelai sisi wajahnya dengan lembut.
"Maaf, aku jadi menyakitimu. Tahan sebentar ya? Nanti tidak sakit kok." dia berusaha menenangkan. Yve mengangguk...
Untuk meredam tangisannya, mereka berciuman.
๐บ๐บโค๏ธ๐บ๐บ
Hari sudah gelap saat Dyvette membuka mata. Dia tertidur dalam pelukan Ankhamun, dadanya kembali berdebar setelah sadar mereka berpelukan dalam keadaan telanjang. Ankhamun terlihat begitu damai dalam tidurnya, dengan tangan bergetar Dyvette menyentuh pipi pria itu.
Ranjang itu berantakan dan basah, Yve meremang saat membayangkannya.
Mereka tadi melakukannya berapa kali, ya? Tiga kali? Ia tidak menghitung. Tapi yang pasti, Yve merasa kalau perasaannya pada Ankhamun semakin kuat.
Setelah puas memandangi Ankhamun yang sedang tertidur, dia merasa haus dan bergerak untuk bangun.
Tubuhnya seketika membatu.
Sakit, sakit sekali. Semuanya terasa sakit, apalagi bagian di antara kakinya. Dyvette menggingit bibirnya yang bengkak untuk menahan jeritan. Sama saja terasa sakitnya, malah ditambah oleh bibirnya yang berdenyut.
Tadi tidak sesakit ini saat mereka melakukannya, tapi kenapa sekarang rasanya seperti tubuhnya terbelah dari tengah?
"Jangan bangun dulu, kamu pasti masih sakit." Tanpa disadari Ankhamun sudah bangun, dia membaringkannya untuk kembali tidur.
Yve menangis lagi. Sungguh, dia tidak pernah merasakan sesakit ini seumur hidupnya.
"Maaf, aku seharusnya tidak menyentuhmu sebanyak itu karena ini adalah yang pertama untukmu. Aku benar-benar binatang.." Ankhamun terlihat akan ikut menangis. Dyvette menggeleng dengan cepat.
"Tidak apa-apa, aku juga bersedia, kan? Aku haus, tolong ambilkan minum ya?" Dyvette menyeka air matanya sendiri.
Dia adalah wanita pertama yang berani menyuruh seorang pangeran mahkota untuk mengambilkan air!
Tapi ternyata Ankhamun langsung bangkit dan melakukannya. Dyvette... Terpana.
"Kamu pasti lapar, tunggu di sini aku akan menyuruh orang mengambil makanan." ucapnya setelah Dyvette menghabiskan segelas air itu.
Dyvette tidak mau bermalam di sini. Akhirnya setelah berhasil meyakinkan Ankhamun, mereka sepakat untuk pulang.
Ankha menggendongnya sampai ke mansion, semua pelayan menunduk dengan hormat begitu Ankha menurunkan Dyvette dari mobil. Dia membawa Dyvette ke kamarnya, memandikannya, lalu makan malam bersama sebelum kembali tidur.
Malam itu Ankhamun menginap.
Dan tentu saja, Vivian dan Tahtah tidak henti-hentinya merona setelah melihat kedua majikan mereka akhirnya telah bersatu..