🌺🌺❤️🌺🌺
*Siang hari, di sebuah tempat di sisi laut*
"Di belakangmu, yang Mulia..!"
Suara tembakan terdengar bersahutan,
Splashhh.. Tahtah memotong sebuah tangan
Piuuuuuu....
Satu anak panah menancap tepat di kepala seorang pria yang hampir menebas Ankhamun dari belakang.
"Apa sebenarnya yang di inginkan para perompak ini, kenapa masih belum jera juga." umpat Ankhamun
Klang.. Klang..Klang
Suara para prajurit yang sedang beradu pedang dengan perompak-perompak itu terdengar nyaring di telinga.
Lalu tidak lama seseorang berpakaian coklat tua datang sambil menepis segala serangan dari prajurit Ankhamun. Rambut pria itu gimbal seperti tidak pernah keramas, banyak ornamen yang menempel di rambutnya, dia juga memakai topi besar warna coklat yang bagian depannya dilipat, terdapat logo tengkorak di tengahnya.
"Menyingkirlah, bocah! Aku datang secara baik-baik tapi kau malah memulai perang dengan orang-orangku." ucapnya dengan marah
"Apanya yang datang baik-baik bajingan, orang-orangmu menganggu ketenangan rakyatku, membunuh dan memperkosa. Begitu yang kau bilang datang secara baik-baik?!" jawab Ankamun dengan ekspresi gelap, dia benar-benar dikuasai hati iblis sekarang, pikirannya dipenuhi oleh nafsu ingin membantai.
"Mereka bukan orang-orangku! Kami hanya menjarah kapal di laut, bukan di sebuah desa apalagi desa yang masuk dalam wilayah Kekaisaran!"
Klang... Akhirnya mereka sampai berhadap-hadapan, Ankhamun menahan serangan pedang raja perompak itu dengan pedang miliknya.
"Lalu mereka orang-orang siapa? Kalian sama-sama perompak sialan!"
Klang klang..
Ankhamun menyerangnya bertubi-tubi tapi pria itu selalu berhasil menangkisnya. Sementara itu prajurit yang lain masih saling membunuh di sekitar mereka.
Fokus Tahtah terus terbagi menjadi dua, dia sedang bertarung namun juga memperhatikan Ankhamun yang sedang berduel dengan raja perompak.
"Aku kemari karena ingin mencari puteraku yang hilang 18 tahun yang lalu, tapi prajurit-prajuritmu langsung melukai orang-orangku, jadi apa boleh buat." Lelaki itu menyeringai, aura membunuh terasa begitu jelas.
"Hanya orang bodoh yang akan percaya dengan ucapanmu!"
Klang klang klang...
Ankhamun berada dalam mode iblis, tidak akan ada yang selamat jika bertarung dengan dia yang seperti ini.
Mereka saling menyerang dalam waktu yang lama. Duel antara hidup dan mati itu malah semakin membangkitkan sisi mengerikan Ankhamun.
Tidak ada yang berani membantu atau menolong, mereka membiarkan dua orang itu bertarung dengan adil. Tahtah masih disibukkan dengan pertarungannya sendiri.
Splashhhh... Ankha berhasil memotong tangan kanan raja perompak yang memegang pedang. Mengetahui hidupnya akan berakhir di tangan Ankhamun, pria itu tertawa sedih.
"Noah, di manapun kamu berada, semoga suatu hari nanti kamu akan tahu, ayah selalu mencarimu. Ayah tidak pernah mengabaikanmu. Noah- *Jrepppp."
Ankhamun menusuk tepat pada jantungnya, pedang itu tembus sampai belakang, kemudian dia memutar pedang itu agar dalamannya semakin rusak.
"Ahhh." pria itu berteriak pelan, dia menjatuhkan lututnya dengan wajah menahan sakit.
Ankhamun menyeringai, "Tenang saja, aku akan menyampaikan salammu pada Noah."
Pria itu hanya diam tidak mengatakan apapun, tapi sebuah cairan bening jatuh dari pelupuk matanya. Kemudian dia memuntahkan darah, pandangannya sudah mulai kosong.
Dia menangis? Apakah dia benar-benar tidak berbohong? Kenapa aku merasa sedikit kasihan?
Setelah orang itu sudah tidak terlihat bernapas lagi, Ankhamun mencabut pedangnya lalu menebas kepalanya sampai putus.
Melihat raja mereka sudah tewas, para perompak yang masih bertarung menjadi hening. Mereka menatap jasad raja mereka dengan wajah yang terlihat sangat terkejut.
"Yang Mulia!" (Suara perompak)
"Yang Mulia!" (Suara Estheria)
Ankhamun terbangun dari tidurnya.
Sial, pertarungan yang sudah terjadi hampir lima tahun yang lalu itu akhir-akhir ini sering muncul dalam mimpinya.
Ankhamun terduduk, sepertinya tidur Esther terganggu lagi oleh mimpi buruknya.
"Maaf, tidurmu terganggu ya?" Ankhamun memijat pelipisnya yang agak pusing.
"Tidak, aku bahkan belum tidur." Esther menempelkan punggung tangannya pada dahi Ankha. "Demamnya sudah turun, syukurlah."
Ankhamun mengernyit, demam? Jadi dia sakit? Dia memang merasa sedikit lemah akhir-akhir ini sampai titik dia tidak mengingat apapun sejak memejamkan mata siang kemarin. Badannya terasa sakit semua, untungnya dia tidak ambruk di luar, tapi di kamarnya sendiri.
Esther merasa bersalah karena sempat sedih dengan sikap Ankhamun siang itu, harusnya dia tahu jika Ankhamun sedang tidak baik-baik saja.
"Jam berapa ini, putri?"
"Jam sebelas malam, yang Mulia."
"Aku mau mandi."
"Jangan! Demammu barusaja turun, bagaimana kalau dilap saja. Ya?" tawarnya.
"Aku mau mandi, suruh pelayan siapkan saja air hangatnya." Ankhamun berusaha turun dari ranjang, tapi kepalanya tiba-tiba terasa seperti melayang. Akhirnya dia terduduk kembali.
"Yang Mulia, anda masih sakit. Tahanlah sampai besok, besok anda boleh mandi sepuasnya."
Ankhamun mengumpat kesal pada dirinya sendiri. "Merepotkan sekali..."
"Tiduran saja, yang Mulia. Aku akan mengambil obat."
Esther dengan cekatan merebahkan Ankha dan menyelimutinya kembali. Lalu bangun untuk menyiapkan obat, dia meraciknya sendiri. Syukurlah dulu dia pernah mengambil kelas pengobatan, jadi lumayan mengerti.
Ankhamun meminum obatnya dengan patuh, lalu kembali tidur.
🌺🌺❤️🌺🌺
Salem barat.. Jam tiga sore.
Mansion Mebraah, di taman depan kamar Dyvette yang berada di lantai bawah.
Lucas duduk di sisi kolam ikan, dia sedang memberi mereka makan. Dyvette sedang tidur siang jadi dia santai sambil menunggu tuannya bangun.
Lucas point of view...
Seseorang pernah berkata, lupakanlah masa lalumu dan jalani hidup dengan baik di masa depan.
Aku tidak percaya hal itu bisa terjadi, sampai aku mengalaminya sendiri.
Aku benar-benar melupakan masa laluku, bahkan namaku sendiri saja aku tidak ingat.
Yang tersisa dalam memoriku hanyalah seorang anak lelaki yang lemah dan terus ditindas.
Aku tiba di Salem dibawa oleh seorang lelaki yang aku sudah lupa seperti apa wajahnya. Saat aku baru turun dari kapal, orang itu menyerahkanku pada seseorang. Tuan memberiku nama Lucas, dan sejak saat itu aku menjadi budaknya.
Pekerjaanku tidak seberat budak-budak yang lain, aku hanya di tugaskan untuk menggembala domba dan mencari rumput untuk mereka makan.
Aku juga sering dirundung oleh sesama budak, mereka membenciku karena mereka pikir aku hidup lebih baik dari mereka. Mereka tidak tahu saja, meskipun kelihatannya aku lebih santai, tapi nasib domba-domba itu tergantung padaku.
Kalau ada yang cacat satu saja, pasti aku yang disalahkan dan disiksa dengan keras.
Selama tahun-tahun gelap itu, banyak siksaan dan hinaan yang kudapatkan. Tapi aku tetap menjalankan pekerjaanku dengan sepenuh hati, karena itu memang tanggung jawabku.
Yang membuatku selalu kuat adalah kepercayaan.
Aku percaya jika Tuhan pasti sayang padaku, aku percaya jika ayah dan ibu yang sudah kulupakan sosoknya pasti mengkhawatirkanku, aku percaya mereka pasti selalu mendo'akan dan mencariku.
Ya Tuhan, apakah aku benar-benar memilikinya? Apakah ayah dan ibuku benar-benar ada dan masih hidup?
Kalung yang masih kupakai sampai saat ini, aku percaya kalau itu adalah identitasku, mungkin suatu hari nanti dengan kalung ini aku bisa menemukan jati diriku yang sesungguhnya.
(Kalung yang dipakai Lucas adalah kalung berbandul perak yang diukir menyerupai bentuk tengkorak dengan mahkota ruby di atasnya)
Namun semua kesengsaraan itu berakhir setelah aku bertemu dengannya. Nona cantik yang sedang berburu di hutan.
"Apakah aku terlihat seperti pernah melihat seekor domba betina?"
Wajah tidak ramah, suara ketus dan manisnya masih terdengar jelas di telingaku sampai detik ini.
Aku tidak akan pernah melupakan hari di mana aku bertemu dengannya. Awalnya kukira dia adalah seorang peri hutan, tapi mendengar suara ketusnya membuatku sadar kalau dia adalah manusia, sama sepertiku.
Dia ketus namun hatinya peduli. Awalnya aku tidak mengerti, tapi setelah melewatkan banyak waktu bersamanya, aku mulai paham.
Dia adalah malaikatku, dewiku, tuanku yang harus aku lindungi. Walaupun itu dengan nyawaku sendiri, aku rela mati asalkan dia tetap hidup aman dan bahagia.
Tapi kenapa.. Kenapa akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh dalam diriku?
Aku sadar kalau dia memang selalu cantik sejak dulu, tapi belakangan ini dia sudah mulai merusak kewarasanku.
Aku berdebar saat dia mengucapkan kata-kata frontal padaku, hatiku selalu gelisah saat dia sedang menggodaku walaupun aku tahu jika dia hanya sedang bergurau, tapi tetap saja hati ini tidak bisa baik-baik saja.
Apalagi sejak siang itu, saat aku melihatnya masih mengenakan gaun tidur, dan kedua dadanya tercetak dengan jelas di depan mataku.
Seolah mengundangku untuk berbuat dosa.
Ya Tuhan, Lucas, sadar!
Sebenarnya saat bertemu lagi dengan nona Dyvette setelah empat tahun dalam pelatihan aku sudah mulai merasa tidak waras.
Melihatnya menari dengan sangat erotis dan mengenakan busana seperti itu, sisi binatang buasku yang selama ini terpendam mulai menyeruak keluar.
Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah darinya.
Tapi aku sadar siapa diriku.
Aku berada jauh di bawahnya, aku tidak mau berimajinasi terlalu liar.
Lalu sekarang apa? Bagimana aku bisa menatap wajahnya dengan tenang seperti dulu, setelah mimpi-mimpi sialan itu. Aku menjadi semakin canggung walau sekedar untuk mengobrol dengannya.
Apakah aku harus segera menikah? Agar tidak ada lagi bayangan-bayangan sedang menidurinya.
Tapi mau menikah dengan siapa? Apakah akan ada wanita yang mau menikah denganku? Lagipula, aku sedang tidak menyukai wanita manapun selain dirinya.
Aku hanya menyukai nona Dyvette! Aku bahkan sudah berjanji kalau tidak akan pernah meninggalkannya.
Ya Tuhan, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana..
"Lucas!"
Ah lihatlah, baru bangun tidur saja dia masih sangat cantik.
"Ya, nona?"
"Nanti malam ke pasar malam yu, berdua saja."
Baru bangun tidur, dan itu yang terlintas di kepalanya? Mau ke pasar malam?
"Jam berapa?"
"Emm.. Jam tujuh saja." dia mengedipkan matanya sebelah, lalu menguap dan meregangkan tubuh. Menggemaskan sekali..
"Baiklah.." dia menatapku cukup lama, aku jadi semakin gelisah saja ditatap seperti itu.
Kelihatannya dia langsung mencariku begitu bangun, kadang-kadang perilakunya memang suka aneh.
"Oke.. Kamu jangan pakai pakaian seperti itu terus dong, kemana-mana bawa pisau pula. Santai saja."
Bukankah tugasku memang menjaganya? Kalau aku tidak membawa senjata, mau melindunginya pakai apa?
"Baiklah."
"Baiklah, baiklah, hanya itu saja jawabnya." dia berbalik dan akan pergi.
"Mau ke mana, nona?"
"Mau tidur lagi, ini masih siang." jawabnya sambil menguap. Aku hanya diam menatap kepergiannya.
Lagi-lagi dia hanya memakai gaun tidur.
Lucas pov end.
🌺🌺❤️🌺🌺
Di belahan bumi yang lain....
Di sebuah kapal megah yang berlabuh di sisi pulau.
Seorang pria sekitar umur 40'an duduk dengan wajah yang dipenuhi amarah, seseorang sedang berlutut di depannya.
Ada seorang wanita paruh baya duduk di kursi lain dengan wajah yang terlihat sedih dan kosong.
"Sudah lebih dari dua puluh tahun, tapi belum ada tanda-tanda Noah akan ketemu juga?!"
"Maafkan saya, Tuan. Kami sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ada orang yang memiliki kalung itu."
Pria itu bangkit, lalu mondar mandir dengan wajah kesal.
"Tempat terbunuhnya kakak. Instingku mengatakan kalau keponakanku ada di sana."
Orang yang sedang berlutut itu bergetar. Dia menelan salivanya, kembali membayangkan pertarungan dengan pangeran Ankhamun.
Eveth adalah satu-satunya orang yang berhasil melarikan diri dari Kadesh pada waktu itu, sedangkan semua teman perompaknya yang ikut dalam pertarungan itu ditahan dan dibunuh.
"Tuan, mengapa anda masih ingin mencari tuan muda Noah? Bukankah anda sudah menjadi raja dari tiga raja perompak menggantikan kapten Loui sekarang?"
Pria itu terdiam. Dia mengadah ke atas, melihat langit-langit kapal megah tempatnya tinggal.
"Aku tidak pernah menginginkan posisi ini. Lagipula, aku sudah berjanji pada kakak, aku akan membawa putranya kembali."
"Bagaimana jika ternyata tuan muda Noah sudah meninggal, makanya tidak pernah ditemukan?"
"Kalau aku percaya dia masih hidup, maka dia masih hidup!"
Wanita itu menangis, dia memeluk sebuah baju anak-anak, yang sepertinya adalah milik Noah.
"Temukan puteraku, Iaros. Entah itu dalam bentuk mayat, kerangka, atau abu, aku ingin puteraku kembali."