๐บ๐บโค๏ธ๐บ๐บ
Istana Kadesh, ruang tahta.
Ankhamun dan Estheria duduk berlutut di hadapan Jamal. Kaisar sudah akan memberi perintah agar mereka cepat-cepat memberinya cucu.
Mereka hanya berempat di sana, Ahmanet berdiri di sebelah kursi tahta.
Masa sih Esther sama seperti kakak perempuannya, mandul. Jamal sudah berpikiran jelek sekali padanya.
Kaisar : "Kalian mau memberiku penjelasan apa?"
Esther memilin-milin jarinya karena gugup, dia harus menjawab bagaimana pada Kaisar? Mereka berdua masih diam.
"Jangan bilang kalau kalian bahkan belum berhubungan badan?" Kaisar mulai curiga ke arah sana.
"Ayah, jangan merendahkanku. Tentu saja kami sudah melakukannya." jawab Ankhamun dengan nada tersinggung.
"Lalu kenapa Esther belum hamil?"
Ankha menjawab, "Mungkin belum waktunya saja."
Kaisar Jamal berdecak mendengar jawaban putranya.
"Kau adalah keturunanku, darah dagingku, Ankhamun. Bagaimana bisa kau sulit memiliki anak? Dulu Ahmanet melahirkanmu sebelum usia pernikahan kami satu tahun."
"Ayah, jangan samakan dirimu dan aku. Kita berbeda."
"Sepertinya aku harus memanggil tabib untuk memeriksa kesuburan kalian berdua."
"Tidak usah sampai begitu juga."
"Kenapa? Aku ingin tahu alasannya, mungkin saja memang benar salah satu dari kalian ada yang kurang subur. Setelah tahu sebabnya kan bisa diobati nanti."
"Aku bilang tidak usah ya tidak usah!" Anhkamun mulai kesal.
"Beri aku satu alasan kenapa kau tidak mau melakukannya?"
Ankha diam sesaat sebelum menjawab, "Aku belum siap memiliki anak."
(.....)
Petir bersahutan di kepala Kaisar Jamal. Dia tercengang
"Belum siap? Hahahaha. Memangnya kau akan menunggu apa, Ankha? Kau tidak akan mengganti celananya saat dia buang air, kau tidak akan menggendongnya setiap detik, kau juga tidak akan menyusuinya saat dia lapar. Tugasmu hanya memberiku keturunan saja. Alasanmu tidak masuk akal."
Ankhamun mendengus. "Tidak masuk akal? Apakah membesarkan seorang anak itu sangat mudah bagimu, Ayah? Menurutmu karena banyak yang membantu maka aku tidak perlu khawatir meski punya banyak anak sekalipun? Menurutmu apakah aku terlihat seperti seorang pendonor sperma?"
"Ankhamun Mena!!" Ahmanet bersuara keras, untuk kali ini dia tidak suka dengan Ankhamun yang berani melawan ayahnya.
"Pendonor sperma? Sebutan yang bagus. Darimana kau mempelajari kata-kata seperti itu?" Kaisar bertanya sinis.
"Itu tidak penting."
"Jadi apa alasanmu yang sebenarnya sehingga belum mau memiliki anak?"
Kaisar paham, Ankhamun bukannya tidak siap, tapi dia memang tidak ingin saja. Dia sudah tahu seperti apa putranya itu.
Ankhamun terdiam. Dia mempertimbangkan apakah dia harus benar-benar mengatakannya di sini atau tidak pada ayahnya. "Aku hanya akan mengatakan ini satu kali dan tidak akan mengulanginya lagi."
Jamal mendengarkan dengan sabar.
"Aku akan menitipkan keturunanku hanya pada rahim wanita yang aku cintai. Kurasa alasanku sudah sangat jelas."
Ahmanet dan Jamal sama-sama terhenyak. Mereka memandang Estheria bersamaan setelah Ankhamun mengatakan itu.
Estheria sedang menunduk, matanya sudah panas dan penglihatannya mulai buram karena air mata yang terkumpul di sana. Kalau dia berkedip, air mata itu pasti jatuh.
Ankhamun benar-benar sedang menegaskan kalau Estheria tidak dicintai olehnya. Dan itu rasanya pasti sakit sekali.
Jamal jadi merasa cemas. Dia memandang Estheria dengan wajah kasihan. Wajah gadis itu sudah sangat merah.
"Estheria, kau bisa kembali ke kamarmu sekarang." Jamal mengatakan itu dengan hati getir, dia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perasaan Esther sekarang.
"Baik, yang Mulia." Esther langsung pergi sesuai perintah Jamal.
Setelah Esther tidak ada, Jamal mengambil pecut yang selalu tersimpan di bawah tumpuan lengan di kursi tahtanya.
Dia mengarahkan pecut itu pada lantai tepat di samping Ankhamun.
Cetassss... Suara itu terdengar nyaring, Ahmanet langsung merinding karena terkejut.
"Katakan sekali lagi?!!"
Ahkhamun membisu. Dengan wajah penuh tekadnya dia tetap diam tidak menjawab.
Dia tidak gentar sama sekali. Berbeda dengan ibunya yang sudah menangis sambil menutup mulutnya dengan tangan.
"Apa kau tuli? Aku bilang katakan sekali lagi!"
Cetassss....
Kali ini pecut itu mengenai lengannya. Tapi Ankhamun terlihat seperti tidak merasakan sakit sedikitpun.
"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, aku hanya akan mengatakan itu satu kali saja. Apakah ayah tuli?" Ankhamun masih sangat tenang saat menjawab begitu.
Saat Kaisar akan mengayunkan pecut lagi Ahmanet langsung menghalanginya.
"Yang Mulia, dia adalah putraku. Semua kesalahannya hari ini adalah karena hasil didikanku. Jadi kalau yang Mulia ingin menghukumnya, hukum saja aku. Hukum aku karena telah gagal mendidik putra kita."
"Ibu!" Ankha berteriak. Dia tidak mau melihat ibunya terluka.
Jamal menghentikan niatnya setelah diam beberapa saat, dia melempar pecut itu ke lantai dengan keras.
Dia menatap Ahmanet dengan hangat, mengusap air mata di pipi istri keduanya itu. Gadis mesir yang dia sayangi, gadis yang selalu ingin dia jaga kebahagiaannya itu sekarang menangis karena dirinya.
Jamal menghembuskan nafas dengan berat.
"Kembali ke kamarmu, Ahmanet. Aku ingin bicara berdua saja dengan Ankhamun."
Ahmanet menggeleng dengan cepat.
"Jangan menyakitinya, yang Mulia, kumohon." Ahmanet akan berlutut namun Jamal dengan cepat mencegahnya.
"Aku tidak akan membunuh darah dagingku sendiri."
"Tapi..."
"Keluarlah, jangan sampai aku mengatakan itu dua kali."
"Baik, yang Mulia."
Sebelum pergi, Ahmanet menatap Ankhamun cukup lama, memberi isyarat agar putranya tidak boleh membuat ayahnya marah. Suasana menjadi hening selama Ahmanet masih belum sampai ke pintu keluar.
"Siapa gadis itu?"
Ankhamun diam, dia malah melamun.
"Ankhamun Mena!"
Panggilan itu berhasil menarik kembali kesadarannya. "Ayah tidak perlu tahu."
Jamal kembali diliputi amarah.
"Ankhamun, apakah aku pernah mengajarkanmu untuk menjadi orang yang tidak berperasaan?"
Ankhamun diam, tapi dia tetap menyimak dengan patuh.
"Mengatakan jika kau hanya akan menaruh keturunanmu pada rahim wanita yang kau cintai di depan Estheria, tidakkah kau memikirkan perasaannya?!"
Sekarang emosi Ankhamun sudah mulai terpancing. "Aku tidak peduli! Sejak awal aku tidak pernah ingin menikah dengannya! Kalian yang memaksaku, dan sekarang kalian juga menyalahkanku karena tidak bisa mencintainya?"
Kaisar Jamal kembali teringat pada ucapan Sultan Assad, katanya lelaki itu tidak akan pernah menjodohkan Fatih dengan siapapun, biarlah dia yang mencari istrinya sendiri, asalkan itu wanita baik-baik, Assad akan merestui.
Dan di sini, dia yang malah menjodohkan putranya dengan wanita yang tidak dia cintai.
Dan sekarang Ankhamun berani melawannya karena hal itu.
"Siapa wanita yang kau cintai? Aku akan menikahkan kalian."
Ankhamun tertegun, dia tidak salah dengar, kan?
"Mau menikahkan atau mau membunuhnya?" sinis Ankha, Kaisar Jamal menyeringai.
Rupanya mereka sudah sangat mengenal karakter masing-masing. Jamal sedikit.... bangga-
"Dia wanita itu, kan? Wanita yang sudah menolakmu dengan kasar lima tahun yang lalu?"
Darimana ayah tahu?
"Dia yang menari di pesta pernikahanmu, kan? Kau terpikat padanya? Apa kau berencana untuk menjadikannya istri keduamu?"
Ankha semakin terkejut. Bukan karena tuduhan ayahnya yang mengira dia akan menjadikan Dyvette istri kedua, sebab Ankhamun sudah bersumpah kalau dia hanya akan memiliki satu istri seumur hidupnya. Tapi dia terkejut karena Kaisar tahu siapa wanita yang dia cintai.
"Kau menyumbangkan 20.000 batu permata dan 500.000 keping emas untuk membantunya membangun yayasan. Kau pikir aku tidak tahu, Ankhamun? Aku diam saja bukan berarti karena aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin membahasnya. Ingat ini baik-baik, aku tidak akan pernah merestui kalian sampai kapanpun."
Hati Ankhamun dihancurkan, dia bahkan belum memulai perang dan jantungnya sudah ditikam, "Kenapa?"
Kaisar : "Karena aku membencinya.."
Ankhamun menunduk pasrah, di kepalanya muncul banyak sekali pertanyaan, namun dia memilih diam karena lebih baik tidak mengetahui apapun jika itu memang hal yang menyakitkan.
Ankhamun, dengan suara dingin : "Jika anda berani menyentuhnya sedikit saja, aku bersumpah aku akan membunuh Estheria tepat di hadapan panglima."
๐บ๐บโค๏ธ๐บ๐บ
Salem...
Satu minggu sudah berlalu sejak kejadian penculikan itu, dan Lucas belum ketemu. Dyvette sudah mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mencarinya, tapi hasilnya nihil.
Kemana mereka membawa Lucas?
Bagaimana keadaan Lucas sekarang?
Apakah mereka menyiksa Lucas?
Lucas sedang apa?
Dia sudah makan belum?
Bagaimana jika mereka menyakiti Lucas?
Lucas masih hidup atau tidak?
Berbagai pertanyaan silih berganti lewat di kepalanya, Dyvette merasa akan meledak.
"DASAR SAMPAH! Mencari satu orang saja kalian tidak berguna!" Dyvette melemparkan vas bunga yang ada di meja. Benda itu pecah berkeping-keping setelah menyentuh lantai.
Tiga orang laki-laki muda dari departemen keamanan itu bergetar ketakutan, Dyvette cukup mengerikan saat marah.
Pria berkacamata : "Nyonya, mungkin saja Lucas sudah tidak ada di Kadesh? Setiap hari banyak kapal yang keluar masuk pelabuhan, dan kita tidak sempat mengeceknya satu persatu pada hari itu."
Dyvette, marah dan marah : "Aku tidak peduli! Cari Lucas sampai ketemu, kalau tidak, ucapkan selamat tinggal pada hidup kalian yang tidak berguna itu!"
Ketiga pria berbadan kekar itu bergetar, "Kami akan bekerja lebih keras lagi, nyonya."
Setelah memberi hormat mereka langsung pergi.
Dyvette menghempaskan dirinya ke sofa, matanya terpejam, dia memijat keningnya yang terasa berdenyut-denyut. Dia benar-benar sangat khawatir pada keselamatan Lucas, dia tidak bisa membayangkan akan menjadi seperti apa dia nanti kalau Lucas tidak selamat.
Ya Tuhan, jangan sampai terjadi apa-apa pada Lucas, lindungilah dia, Ya Tuhan. Aku rela menukar apa saja untuk mendapatkan Lucas kembali!
Darius mengetuk pintu sebelum masuk, dia menatap Dyvette dengan prihatin.
"Nyonya, berkas yang anda minta."
"Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik, Darius. Bawa berkas sialan itu sebelum aku membakarnya." tanpa membuka mata Dyvette mengatakannya. Suaranya datar namun sangat mengerikan. Darius jadi bertambah kasihan
"Kakakku adalah seorang saudagar yang sering mengirim dan mendatangkan barang dari luar negri. Apakah anda ingin aku menghubunginya? Siapa tahu ada petunjuk tentang Tuan Lucas."
Seketika Dyvette jadi mendapatkan sedikit semangat, dia membuka mata dan menatap Darius dengan tatapan sayu. Dia hampir menangis lagi, dia selalu menangis setiap malam selama satu minggu terakhir ini.
Vivian selalu bersyukur karena Dyvette tidak stress setelah kejadian penculikan Lucas, hanya saja mentalnya jadi kurang stabil, Yve sering marah-marah dan melamun.
"Terimakasih, Darius. Aku jadi ikut merepotkanmu."
Darius tersenyum. "Anda tidak merepotkanku sama sekali, aku senang bisa membantu."
Dyvette mengangguk satu kali, dia tidak ingin bicara lagi dan malah jadi melamun. Air mata kembali turun di pipinya, bayangan-bayangan Lucas dianiaya muncul di otaknya. Dia benar-benar merasa tidak berdaya.
Tapi Darius masih berdiri di sana, memegang berkas laporan itu dengan erat. "Kehilangan seseorang yang penting dalam hidup kita pasti sangat menyakitkan, aku tidak ingin anda jadi putus semangat, mari berdo'a semoga tuan Lucas segera ditemukan."
Dyvette masih diam, Darius tersenyum sebelum meninggalkan ruangan.
"Seseorang yang penting? Apakah dia berharga untukku?" Dyvette bertanya pada dirinya sendiri.
"Tapi kenapa dada ini rasanya sesak? Sesak sekali...." Dyvette menahan air matanya dengan mati-matian. Dia memukul-mukul dadanya, berharap kesesakkan itu hilang.
"Lucas... Kamu bukan pria lemah, bertahanlah sampai aku menemukanmu. Cukup ibu saja yang pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, kamu jangan meninggalkanku ya..."
Pada akhirnya, air mata itu keluar semakin deras.
๐บ๐บโค๏ธ๐บ๐บ
Istana Kadesh, kamar Ratu Zephyr.
Jamal melempar jubahnya dengan kesal, Zephyr mengamati perilaku suaminya itu dengan alis hampir menyatu. Zephyr sedang santai sambil membaca buku.
Apa yang membuat suaminya semarah ini?
"Bajingan! membuatku emosi saja!" Jamal mengumpat keras.
Zephyr : "Ada apa? Sesuatu telah terjadi?"
Jamal memandangnya dengan tatapan yang terlihat sedang menahan marah.
"Ankhamun sudah berani mengancamku, Zeze."
Alis Zephyr semakin keriting saja, Ankhamun mengancamnya? "Apa yang sudah dia katakan sampai kamu semarah ini?"
Jamal berjalan menghampirinya. Dia masih terlihat emosi. "Dia mengancam akan membunuh Estheria di depan panglima."
Zephyr menganga, untung saja dia tidak punya riwayat penyakit jantung.
"Kalian bertengkar? Bukannya kamu hanya akan menanyakan kenapa Estheria belum hamil saja? Kenapa Ankha sampai mengatakan hal itu?"
Kaisar meremas rambutnya, terlihat frustrasi, "Jawaban Ankhamun benar-benar membuatku marah, untung saja ada Ahmanet di sana, kalau tidak aku pasti sudah melukainya."
Zephyr meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas meja, lalu dia memberi isyarat agar Jamal tidur di pangkuannya. Wajah Jamal perlahan mulai melembut, sepertinya caranya berhasil (^v^)
"Apa jawaban Ankhamun?" Zephyr membelai kepala Jamal yang sedang tidur di atas pahanya. Lelaki itu terlihat sudah tidak marah lagi.
"Zeze, apakah kecantikanmu itu sebuah kutukan?"
Zephyr jadi kesal karena Jamal tidak menjawab pertanyaannya. "Kamu mengganti topik."
"Kamu juga sudah tahu kan? Kalau Ankhamun menginginkan Dyvette."
Hati Zephyr bergemuruh, sesuatu yang tabu untuk dibicarakan itu kembali diungkit. Dadanya menjadi sesak.
"Kalau Ankhamun benar-benar menginginkannya, aku takut dia akan benar-benar membunuh Estheria agar bisa bersama dengan putrimu. Dia sudah bersumpah hanya akan memiliki satu istri." Jamal membelai pipi Zephyr dengan lembut. Zephyr masih diam, dia tidak tahu harus menjawab apa.
Sebenarnya ini bukan salah Dyvette kalau Ankhamun ingin menikahinya. Tapi kenapa Jamal terlihat masih sangat membencinya? Apa salah putrinya? Ingin sekali Zephyr menanyakan hal itu, tapi dia juga tidak ingin mendengar jawaban Jamal. Dia tahu kalau Jamal pasti akan menjawab dengan pahit.
"Zeze, aku mencintai segala yang ada padamu, wajahmu, hatimu, tubuhmu, karaktermu, semuanya, dan aku sangat bersyukur untuk itu. Tapi maaf, meskipun Dyvette mewarisi wajah cantikmu, aku masih membencinya."
Hati Zephyr semakin teriris, kenapa lagi-lagi putrinya yang harus mendapat kebencian itu.
Zephyr tersenyum walaupun hatinya sedang bersedih. Dia mengusap pipi suaminya dengan lembut sebelum mengatakan "Kurasa, sudah waktunya kita menghubungi Assad."