Setengah tahun kemudian
"Selamat pagi.."
"Selamat pagi bu Dy.."
"Selamat pagi wakil presdir.."
"Selamat pagi bu Dyvette."
"Selamat pagi Nyonya..."
Sapaan ramah para karyawan di kantor saat Dyvette berjalan melewati mereka, Dyvette membalas dengan senyum tipis. "Pagi... Semoga beruntung hari ini.."
Sekretaris Fazan datang dan memberikan satu cup kopi hitam, mereka kemudian berlalu ke dalam ruangan bersama.
Dyvette sudah tidak di sana, tapi harum parfumnya masih tertinggal, para pekerja itu saling berbisik, beberapa karyawan pria ada yang bilang..
"Sungguh beruntung kita bisa bertemu dengan si putri Salem setiap hari, tidak semua orang seberuntung kita bisa bertemu dan bekerja padanya."
"Benar, melihat wajah cantiknya membuat semangatku selalu naik walaupun dalam suasana hati yang buruk."
"Bu Dyvette juga selalu menyemangati kita, sungguh baik hatinya."
"Padahal kudengar dia selalu berbicara pahit. Mungkinkah sekarang sudah berubah?"
"husst.. Itu hanya rumor. Tapi beliau belum memiliki pasangan sampai sekarang, mungkin bisa benar bisa juga tidak.."
"Ahh, dia selalu sangat wangi." seseorang yang terlihat kalem dan berkacamata bulat mengatakan itu setelah menghirup udara.
"Sekretaris Fazan beruntung sekali bisa selalu berdekatan dengan Putri kita.."
"Yah, mari bekerja keras supaya naik pangkat dan bisa lebih dekat dengan putri Salem.."
Dan bla bla bla...
Sudah menjadi hal biasa mereka bergosip dulu sebelum memulai pekerjaan. Dyvette awalnya agak risih dengan perhatian yang dia dapatkan, tapi sekarang dia sudah mulai bisa masabodoh walau kadang-kadang masih ada rasa kesalnya.
Semenjak Salem menjadi ibukota dan lebih ramai, Dyvette sudah tidak peduli lagi dengan gelar yang menurutnya 'norak' itu. Banyak pendatang baru dan mereka semua tidak mengenalnya kecuali yang berkerja padanya dan beberapa yang pernah tertarik dan mencari tahu.
Dyvette mulai merasa nyaman berada di publik.
🌺🌺🌺
Dyvette sedang bergulat dengan tumpukan berkas sebelum Darius tiba-tiba masuk dan terlihat tercengang.
Harusnya aku yang tercengang, ada apa dengan wajahnya?
Dyvette : "Kau mungkin lupa jika di kantorku sudah ada telepon sekarang."
"Tidak, ini memang harus dibicarakan secara langsung." Darius duduk pada kursi di depan meja Dyvette, lalu meletakan sebuah amplop coklat besar ke atas meja.
"Ada apa?"
"Baca saja."
Dyvette mengernyit, tapi dia tidak berkata-kata lagi dan langsung meraih berkas itu.
Dia membacanya dengan perlahan dan teliti, lalu matanya membulat.
"Ini... Ini beneran, kan? Ini serius sudah disetujui?" ucapnya yang terlihat sedang tidak percaya dengan apa yang telah dia baca.
"Benar, anda sangat beruntung dapat mewujudkan mimpi anda dalam waktu yang cukup singkat. Selamat nyonya."
Dyvette tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya lagi, dia tersenyum lepas untuk yang pertama kalinya dalam hari ini, dan yang pertama kalinya di depan Darius.
Dan untuk yang pertama kalinya juga Darius terpana. Dia menatap Dyvette tanpa berkedip.
Darius adalah salah satu orang yang sudah tahu reputasi Dyvette sejak dulu, dan dia juga salah satu pria yang tidak terlalu peduli dengan hal itu (kecantikan Dyvette) karna baginya, kecantikan fisik tidaklah penting, tapi kecantikan hatilah yang lebih menarik.
Dan sekarang, dia mulai mengerti kenapa Dyvette dijuluki Putri Salem. Dan dia mulai mengakui kalau Dyvette memang benar-benar cantik, baik fisik maupun hatinya.
"Yah, seseorang juga pernah mengatakan jika aku adalah orang yang beruntung. Terimakasih, Darius. Jika bukan karna bantuanmu aku mungkin tidak akan menggapainya secepat ini."
Darius masih dalam keterpanaannya. Dia tidak menjawab tapi menatap Dyvette dengan sorot mata yang mulai menghangat.
"Aku sangat menghargainya." lanjut Dyvette.
"Sudah menjadi tugasku, Nyonya."
Dyvette masih tersenyum.
"Kalau tidak ada halangan, pembangunannya bisa di mulai tahun ini. Arsitek yang anda tunjuk saat itu memberi kabar jika perkiraan waktu selesainya antara dua sampai tiga tahun. Itu pun kalau pembangunan dimulai sebelum akhir tahun ini." Darius menjelaskan.
"Itu bagus, dua atau tiga tahun akan berlalu dalam sekejap mata. Kita bisa menyerahkan semuanya pada Yohan, jadi kita bisa tetap fokus pada perkerjaan masing-masing."
Arsitek yang dipilih Dyvette adalah suami dari sahabatnya, Alma. Yohan cukup terkenal karena dia adalah keturunan arsitek kerajaan.
Dulu kakeknya adalah salah satu dari empat orang yang merancang istana Kadesh.
"Itu bisa dibicarakan lagi nanti."
Jadwalnya tidak terlalu padat hari ini, jadi dia memiliki banyak waktu untuk berbicara dengan Dyvette.
"Bolehkah saya bertanya?" Darius terlihat serius. Dyvette mengangguk satu kali.
"Kenapa anda sangat ingin membangun yayasan itu? Uang yang anda keluarkan juga tidak akan sedikit. Tidak banyak orang yang rela menghabiskan uang untuk orang lain seperti anda. Mereka akan menyimpan harta untuk diturunkan pada anak cucu dan buyut mereka. Tapi anda rela menggunakannya untuk menghidupi orang lain."Â
Dyvette lumayan terkejut dengan pertanyaan ini, namun dia tetap tenang dan menjawabnya dengan santai.
"Darius, saat sedang bersama keluargamu di rumah, saat kamu melihat putrimu yang tidur dengan selimut dan kasur yang hangat, dalam rumah yang nyaman, dan juga kasih sayang darimu dan istrimu yang berlimpah padanya, pernahkan terlintas dalam pikiranmu jika di luar sana, banyak anak-anak yang tidak seberuntung itu bisa merasakan kehangatan di rumahnya? Para anak yatim dan piatu yang tinggal bersama kerabatnya, menurutmu apakah mereka akan mendapatkan kasih sayang yang sama? Uang yang mereka dapatkan dari amal, apakah benar-benar mereka yang menikmati? Banyak anak-anak yang terlantar, bahkan mereka yang memiliki orangtua pun tidak semuanya memiliki masa kecil yang indah."
Darius merasa tertampar oleh pertanyaan Dyvette.
"Setidaknya, jika mereka berada di yayasanku, mereka tidak harus mengalami kesusahan dan mendengar kata-kata yang menyakitkan. Aku ingin mereka fokus pada diri mereka sendiri, tidak pada realita dunia, seperti yang seharusnya mereka jalani, sebagaimana anak-anak di usia mereka."
Darius : "Bagaimana jika mereka jadi terlena dan manja?"
"Aku sudah merancangnya dengan matang selama bertahun-tahun bahkan jauh sebelum ibu meninggal. Tapi aku baru berani memulainya sekarang karena aku sudah merasa mampu untuk melakukannya."Â Dyvette memandang Darius lebih serius, dia melanjutkan, "Dan, kenapa kamu tidak menanyakan itu pada dirimu sendiri? Bagaimana jika putrimu menjadi terlena dan manja?"
"Aku.. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu." lagi-lagi Darius merasa tertampar.
"Semua anak berhak mendapatkan kehidupan masa kecil yang indah. Dengan ataupun tanpa orangtua. Pendidikan dan asuhanlah yang akan menentukan kepribadian dan masa depan mereka. Aku juga sudah mempersiapkan ke mana mereka akan melanjutkan hidup setelah dewasa, mereka bisa bekerja dan memulai bisnis, atau apapun sesuai keinginan dan kemampuan mereka. Untuk itu aku membatasi usia anak yang bisa berada di yayasan."
Darius jadi mengagumi Dyvette. Pemikirannya begitu jauh ke depan, dan rasa pedulinya yang tinggi membuatnya menjadi terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
"Lalu, apa yang anda dapatkan dari semua itu? mereka akan mendapat kehidupan yang makmur secara gratis dan apa yang akan anda ambil dari semua kerja keras ini?" Darius semakin ingin melihat, sejauh mana kecantikan hati Dyvette ini.
Dyvette tersenyum, dia terlihat sangat tenang dan bijaksana.
"Kepuasan batin. Aku akan mencapai kemenanganku sendiri, kemenangan melawan keegoisan dan keserakahanku. Aku merasa, untuk itulah aku diberi berkat kekayaan, untuk membantu mereka yang membutuhkan. Apa gunanya harta jika tidak bermanfaat? Kalau aku mati, semua uang, emas, permata, berlian-berlian itu tidak akan ikut bersamaku ke akhirat."
Benarkah ini Dyvette yang dia kenal selama ini? Ataukah memang dia yang sebenarnya tidak mengenal Dyvette sama sekali? Dyvette yang selama ini dia tahu adalah perempuan berparas cantik yang biasa saja, bahkan terlihat sangat tidak berminat bekerja dan beberapa kali mengancam akan keluar dari perusahaan.
"Anda sungguh bijaksana."
Dyvette terkekeh pelan, "Tidak. Aku yakin banyak orang di luar sana yang juga memiliki keinginan untuk banyak membantu, mereka hanya belum mampu untuk melakukannya."
Darius tersenyum : "Tidak semua orang, nyonya. Tidak semua orang."
🌺🌺🌺
Siang ini Dyvette makan siang di restoran seberang kantornya, sendirian.
Sebenarnya dia tadi mengajak Lucas tapi pria itu katanya sudah makan siang duluan karna terlalu lapar.
Sekarang Lucas yang setiap hari mengantarnya ke kantor, biar sekaligus bisa menjaganya dari dekat.
Dyvette mengerjapkan mata beberapa kali saat melihat Ankhamun dan Tahtah berjalan menuju restoran. Dyvette duduk di dekat jendela jadi dia bisa melihatnya.
"Apakah dia sedang ada tugas di Salem?" Dyvette bertanya pada dirinya sendiri.
Delapan pengawalnya berjaga di sekitar bangunan. Ankha masuk bersama Tahtah dan mengambil duduk dekat pojokan, hanya terhalang beberapa meja dari meja Dyvette.
Tempat itu sedang tidak banyak pengunjung karena sebenarnya ini sudah lewat jam makan siang, restoran elit itu memang biasanya juga tidak terlalu ramai karena tempatnya berada di komplek perkantoran. Dyvette makan di sini hanya ketika sedang bosan dengan menu di kantin kantornya saja.
Dyvette menunduk dan memalingkan wajahnya, sambil dalam hati terus berdoa semoga Ankhamun tidak melihatnya.
Beberapa saat kemudian..
Terdengar suara seseorang duduk di depannya. Jantungnya mulai berdebar. Dyvette memberanikan diri untuk melihat dan...
Ankhamun duduk di sana. Memperhatikannya dalam diam.
"Em.. Selamat.. Selamat siang pangeran." salam Dyvette seadanya.
"Aku juga sudah tahu kalau ini siang." jawab Ankhamun singkat, dia jadi semakin gugup.
"Emm... Masih banyak tempat kosong." Dyvette mengedarkan pandangannya melihat sekeliling.
"Kamu mengusirku?" tanya Ankha dengan wajah tersinggung yang dibuat-buat
"Bu-bukan begitu.. Hem, cobalah, ini enak." Dyvette menyodorkan setusuk bola daging ke depan wajah Ankhamun.
Entah apa yang ada dalam otaknya sekarang, Dyvette tiba-tiba tidak bisa berpikir jernih karena kelewat gugup.
Ankhamun sekuat tenaga menahan tawa, untunglah dia bisa mempertahankan wajah pokernya.
"Baru bertemu sudah diusir, lalu ditodong makanan pula. Dyvette, kamu semakin menyebalkan ya."
Di belakang, Tahtah menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.
"Maaf. Habisnya anda seperti hantu, datang tiba-tiba, bilang permisi numpang duduk juga engga. Bikin jantungan saja." Kesal Dyvette.
"Kita kan sudah kenal dekat, memangnya aku masih harus bilang permisi ya?"
"Sejak kapan kita kenal dekat? Jangan sembarangan, yang Mulia."
"Untuk mengingatkan saja jika kamu lupa. Kita sudah berciuman." Ankhamun bicara dengan santai. Tahtah tercengang di belakang, karna dia baru mengetahui hal ini.
Dyvette tidak bisa berkata-kata, matanya mengerjap-ngerjap dan berkedut menahan kesal.
"Untuk pengingat juga jika anda lupa, saat itu anda yang menciumku dengan tiba-tiba. Itu tidak bisa disebut berciuman."
Ankhamun tersenyum, terlihat ramah : "Oh benarkah, jadi menurutmu seperti apa yang berciuman itu?"
Tahtah menutup telinganya dan melihat ke arah lain. Ankha sedang dalam suasana hati yang bagus sekarang, dia ingin melihat Dyvette marah-marah.
"Kamu...." Dyvette mengacungkan jarinya dan menunjuk pada Ankhamun. Tapi kemudian dia bersidekap.
"Baru bertemu langsung dibuat jengkel. Yang Mulia, anda semakin tidak tahu malu ya." balasnya dengan nada kesal.
Ankhamun tersenyum lebar, Dyvette melirik dengan hati-hati.
Kalau dia seperti ini, terlihat lebih manusiawi.
"Lama tidak berjumpa, Nyonya Dyvette." balas Ankhamun dengan wajah menyebalkan dan nada suara yang jenaka.
Dyvette bangkit dan pergi.
"Dasar kurang kerjaan, bisa-bisanya mengganggu ketenangan rakyat di siang bolong." tanpa mempedulikan panggilan Ankhamun, Dyvette tetap melangkah pergi dengan gaya nyonya bos (^v^)b
Ankhamun tertawa setelah Dyvette menghilang.
Tahtah terpana, "Pangeran, ini pertama kalinya anda tertawa lepas sejak menikah."
"Kau lihat betapa masam muka Dyvette barusan? Menggemaskan sekali."
Percayalah, Tahtah lebih tercengang lagi sekarang.
"Anda memang banyak berubah sejak mengenal nona Dyvette.." gumam Tahtah pelan.
Untuk pertama kalinya juga Tahtah mendengar Ankhamun gemas pada seseorang, bahkan pada Putri Estheria saja pangeran tidak seperti itu.