Pada hari yang sama.
Sore harinya setelah Dyvette pulang kerja, dia kembali bertemu dengan Ankhamun ketika sedang membeli eskrim di toko langganannya.
Ankhamun melambaikan tangan padanya, di sebelahnya terlihat Tahtah sedang santai memakan eskrim rasa coklat.
Dyvette membalasnya dengan senyum tipis dan melambaikan tangan satu kali. Kemudian langsung keluar setelah pesanannya selesai.
Entah sedang sial atau bagaimana, Dyvette merasa agak bingung dengan 'kebetulan bertemu lagi' ini.
"Ada apa nona, kenapa terburu-buru?" tanya Lucas yang melihat Dyvette berjalan dengan cepat dan langsung membanting pintu mobil setelah masuk.
"Cepat Lucas, jangan bertanya lagi."
Lucas patuh walau masih penasaran dengan kelakuan Dyvette.
Malamnya, saat Dyvette berwisata kuliner di sebuah pasar malam, dia bertemu lagi dengan Ankhamun.
Pangeran itu sedang berjalan kaki dan melihat-lihat setiap kios pedagang. Dyvette buru-buru berbalik agar tidak berpapasan dengannya. Dalam hati dia terus berucap "Semoga dia tidak melihatku."
Lucas dan Vivian sedang membeli makanan sendiri-sendiri, sedangkan Dyvette masih terus mencari yang sesuai dengan suasana hatinya, mereka sudah sepakat untuk berpisah dan bertemu di parkiran jam 12 malam nanti.
"Kenapa dia menjadi seperti kotoran. Ada di mana-mana." gumamnya pelan setelah berhenti di depan pedagang kebab.
"Siapa yang seperti kotoran?"
Dyvette memutar tubuhnya perlahan, dengan jantung yang berdebar kencang dia menatap orang itu dengan wajah tanpa dosa.
Ankhamun sedang bersidekap tangan, tidak ada Tahtah, kali ini pangeran itu terlihat sendirian.
"Se-Selamat Malam pangeran. Selamat bersenang-senang." Dyvette langsung berbalik dan berjalan cepat-cepat.
"Apa yang salah dengan hari ini?" gumamnya sambil berjalan.
Dyvette melewati pedagang ayam bakar, sosis bakar, daging bakar, kebab, jagung bakar, bebek panggang, minuman buah, mie, berbagai olahan kurma, sup daging, nasi goreng, pizza, roti isi daging, dan banyak lagi. Semua itu terlihat tidak menarik karena dia terlalu fokus untuk menjauh dari Ankhamun.
Dyvette berhenti di bawah pohon, di bawah lampu jalan. Di seberang pohon itu adalah taman. Dyvette memegangi dadanya, ia bisa merasakan betapa keras jantungnya berdetak. Yve agak terengah karena lelah sudah berjalan cukup jauh dari pasar kuliner.
"Aku ini kenapa?" Dyvette bertanya pada dirinya sendiri.
"Mungkin kamu sebenarnya merindukanku.."
Sejak kapan Ankhamun di belakangku? Aku tidak mendengar langkah kakinya samasekali.
"Yang Mulia, berhentilah menggangguku!"
Dyvette berbalik dan menatap Ankhamun dengan mata sayu. Entah kenapa dia merasa begini, tapi sungguh, dia tidak merindukan Ankhamun.
Ankhamun tersenyum hangat, semakin di lihat, Dyvette merasa kalau Ankhamun semakin tampan.
Selama ini Dyvette merasa jika dirinya sudah cukup pintar dan bermulut pedas, dia bisa membuat lelaki sakit hati hanya dengan ucapannya, dia juga selalu bisa menata hatinya agar lebih tenang saat bertemu dengan lawan jenis. Tapi kenapa, sekarang dia menjadi seperti orang bodoh saat bertemu Ankhamun?
"Aku merindukanmu." dengan suara lembut Ankhamun mengatakan itu.
Hati Dyvette sudah berantakan seperti terkena angin topan. "Jangan seperti ini. Anda sudah menikah." Dyvette berbalik dan akan pergi tapi Ankhamun dengan cepat mencekal tangannya dan menariknya ke dalam pelukan.
Dyvette terpaku karena terkejut, ini terlalu mendadak. Meskipun dia sudah tahu kalau Ankhamun selalu semena-mena, tapi dia juga tidak pernah berpikir Ankha akan berlaku sesukanya di publik begini.
Di bawah lampu jalan yang bersinar kuning seperti labu, waktu seolah berjalan lebih lambat, sentuhan angin malam yang menerpa kulit menjadi terasa lebih hangat.
Dyvette berusaha mengendalikan ketenangannya dalam suasana asing seperti ini.
Tidak, sebenarnya sejak pertemuan mereka di pesta pernikahan Ankhamun, Dyvette sudah merasakan kehangatan seperti ini.
Namun Dyvette masih tidak mengerti, kenapa?
Saat dia berhadapan dengan Fatih, memang jantungnya juga berdebar, dia selalu merona dengan setiap ucapan manis Fatih. Tapi perasaan tidak asing ini hanya datang saat dia bersama dengan Ankhamun.
"Aku tidak peduli, lagipula aku tidak mencintainya." jawab Ankha dengan suara berat.
"Kalian sudah bersama cukup lama, Yang Mulia, apakah anda tidak bisa belajar untuk mencintainya?"
Ankhamun melepaskan pelukannya, dia memegang kedua lengan Dyvette. Dyvette bisa melihat ada sedikit kesedihan di mata Ankhamun.
"Apakah hatiku begitu murahan di matamu, Dyvette? Kamu memintaku untuk mencintai Estheria, seolah itu adalah hal yang mudah."
Dyvette merasa sedikit menyesali ucapannya barusan, Ankhamun terlihat sangat terluka. "Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Estheria dengan merebutmu darinya."
"Kamu tidak merusak kebahagiaan siapapun. Kamu juga tidak merebutku, karena akulah yang datang sendiri, dan aku yang lebih dulu jatuh cinta padamu."
Jantungnya berdebar semakin keras, "Apa yang kau inginkan, Ankhamun? Katakan dan setelah itu berhentilah mengikutiku. Akan banyak gosip kalau kita terlihat seperti ini."
Dyvette menoleh ke sana dan ke sini, takut-takut ada orang yang diam-diam memperhatikan mereka. Tapi tidak ada orang, karena sebenarnya pengawal Ankhamun sudah mengosongkan area itu saat dia sedang mengejar Dyvette tadi.
"Kamu. Aku mau kamu."
Sial, jantungku berdebar terlalu kencang, ini terasa sedikit menyakitkan. Aku ini kenapa?
Dyvette sudah tidak bisa berpikir lagi, otaknya seperti berhenti berfungsi. Namun suatu insting dalam dirinya menuntunnya untuk melakukan sesuatu.
Dyvette memegang sisi wajah Ankhamun, lalu berjinjit dan memejamkan mata.
Dia menciumnya.
Menciumnya
Menciumnya....
Mata Ankhamun membulat karena sangat terkejut dengan tindakannya yang tidak terduga sama sekali. Yve hanya menempelkan bibir dengan pelan, karna sebenarnya dia tidak tahu cara berciuman.
Setelah tersadar, Ankhamun melingkarkan tangannya di pinggang Dyvette, tangan satunya lagi meraba tengkuk Dyvette dengan lembut lalu menekannya untuk semakin memperdalam ciuman mereka.
Ankhamun semakin merapatkan tubuh mereka, matanya terpejam menikmati rasa senang ini.
"Mmhh.."
Dia membuka mulut dan lidahnya mencoba menjelajahi bibir manis Dyvette. Tapi gadis itu hanya diam, matanya masih terpejam, tangannya bergetar dan melingkar di leher Ankhamun.
"Buka, Dy." Ankhamun membelai pipi Dyvette dengan lembut. Dia melepaskan ciumannya karena Dyvette tidak membalas. Ankhamun mulai sadar kalau Dyvette tidak bisa berciuman.
"Apanya?"
"Ikuti apa yang aku lakukan.." Ankhamun kembali mencium bibirnya, lalu menggigit pelan sampai akhirnya bibir Dyvette terbuka.
Ankhamun kembali memeluknya, ia menyusuri setiap inci dalam mulut Dyvette menggunakan lidahnya, menjilat, membelit, dan menyesap lidahnya dengan erotis sampai gadis itu melenguh.
Debaran di dadanya semakin tidak karuan, Dyvette merasa sudah akan meledak. Tapi sensasi menyenangkan ini, dia juga tidak ingin segera mengakhirinya.
Sensasi yang sangat membingungkan..
Mereka berciuman sangat lama sampai tangan Ankhamun sudah meraba di mana-mana kecuali di payudaranya.
"Hah." Dyvette terengah-engah kehabisan oksigen.
"Kau mau membunuhku ya?" kesalnya pada Ankhamun. Pria itu juga tidak jauh berbeda darinya, dia sedang mengambil napas banyak-banyak.
Dyvette membatu setelah tersadar, jika dia yang telah mencium Ankhamun terlebih dulu..
Dyvette bodoh, apa yang sudah kau lakukan?! ~~
Dengan hati-hati dia memperhatikan Ankhamun, napas pria itu berubah lebih berat, tapi wajahnya terlihat sedang bahagia.
"Maaf." kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Ankhamun menatap Dyvette dengan bingung, untuk apa Dyvette meminta maaf pikirnya.
Sebelum Ankha menggerakkan bibirnya untuk menjawab dia sudah berlari dengan cepat meninggalkannya di sana.
"Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan.."
🌺🌺🌺
Istana Kadesh.
"Hahahaha..." tawa putri Ellea menggema
Estheria sedang bermain permainan papan dengan saudari iparnya. Peraturannya adalah siapa yang kalah wajahnya harus dicoret dengan tinta. Dan sejak tadi Putri Haya dan Estheria yang terus kalah sedangkan Ellea selalu menang.
Estheria terperanjat saat melihat Ankhamun barusaja tiba, ini jam dua belas siang.
Ia menghampiri suaminya untuk mencium tangan, Ankhamun baru pulang dari Salem setelah bertugas selama tiga hari di sana.
"Selamat datang, yang Mulia." Estheria tersenyum manis.
Jika di mata orang lain, mungkin dia akan terlihat menggemaskan dengan wajah yang terdapat coretan tinta. Tapi Ankhamun sama sekali tidak tersenyum melihatnya.
"Aku lelah, lanjutkan permainanmu, Putri Esther. Aku akan pergi istirahat." balas Ankha dingin.
Estheria terlihat menahan kekecewaan, suaminya masih belum berubah. Dia tersenyum dan mengangguk satu kali dengan pelan. "Baiklah. Selamat beristirahat, yang Mulia."
Ankhamun menyapa adik dan kakaknya sebelum pergi.
Setelah Ankamun hilang dari pandangan, Esteria jadi melamun. Haya dan Ellea yang sudah terbiasa dengan hal itu langsung pamit dan meninggalkan dia di sana. Biarlah dia menenangkan hatinya dulu.
Sudah lebih dari setengah tahun mereka menikah, tapi sikap dingin Ankhamun belum berubah.
Ankhamun hanya akan berbeda saat berada di atas ranjang, dan itupun hanya sesaat saja karena setelah 'urusan' mereka selesai, Ankha akan kembali dingin.
Sampai saat ini Estheria belum mengandung karena Ankhamun tidak pernah menaruh benihnya pada rahimnya.
Ankhamun menyetubuhinya seperti seorang pelacur, tapi Estheria tetap bersyukur dan menerima hal itu karna dia sadar, Ankhamun belum mencintainya.
"Kapan kau akan membuka hatimu untukku, yang Mulia? Apakah sudah ada seseorang di dalamnya hingga tidak ada tempat untukku di sana?"