Chereads / Cintai Aku Dengan Keras / Chapter 3 - Chapter 3 : Lamaran Dadakan

Chapter 3 - Chapter 3 : Lamaran Dadakan

Dengan langkah tergesa-gesa dan tidak terlihat sedikitpun raut ramah, Dyvette menuju ruang kerja ibunya.

Kepala pelayan mengatakan kalau sedang ada kunjungan rekan bisnis ibu dari luar negeri, Dyvette merasa marah karena belum pernah Laila mengabaikan dia sebelumnya, dan itu gara-gara rekan bisnis sialannya itu.

Tok.. Tok...tok...

"Ibu! Ini aku! Pelayan sialan itu melarangku bertemu denganmu! Apa ibu sibuk sekali malam ini?!" teriaknya di depan pintu.

Kepala pelayan yang bernama Dinar itu menunduk takut.

Dyvette terus mengetuk-ngetuk pintu dengan nafas yang terengah-engah, dia marah, ya Tuhan... Kenapa ibunya lama sekali?!

Laila membuka pintu agak lama setelah dia selesai marah-marah, tanpa menjawab pertanyaannya Laila mematung menatap ramah pada putrinya.

Kenapa wajah ibu merah seperti itu, apa yang sedang dia lakukan di dalam?! Bukankah katanya dia sedang tidak enak badan tadi?

Dyvette menengok ke belakang Laila untuk melihat, seorang lelaki yang terlihat seusia dengan ibunya sedang duduk tegak dan terlihat sangat canggung dengan rambut acak-acakan. Wajahnya terlihat asing seperti bukan orang sini. Di depannya kertas-kertas berserakan bahkan ada yang jatuh ke lantai.

Dan lihatlah keadaan ibunya, jauh dari kata rapi padahal biasanya Laila sangat memperhatikan penampilan. Nafasnya juga sedikit terengah-engah seperti habis berlari, walaupun ibunya berwajah tenang tapi Dyvette tahu perbedaannya.

Dyvette tidak ingin berpikir negatif namun otak nya benar-benar gelap. Ia memandang penuh selidik pada ibunya.

"Apakah ada masalah yang sangat mendesak untuk dibicarakan denganku, sayang? Ibu sedang membicarakan kontrak bisnis dengan Tuan Marten."

"Ya, ini sangat mendesak. Aku ingin ibu melakukan sesuatu untukku."

Laila membawa Dyvette ke kamarnya setelah meminta maaf pada tuan Marten karna pembicaraan mereka harus ditunda dulu, Marten tersenyum dan mengatakan kalau tidak apa-apa.

Dyvette berdiri, Laila mengambil duduk di sofa.

"Ada apa, sayang?"

"Aku ingin ibu membebaskan seorang budak."

"Membebaskan seorang budak?"

"Ya. Dia budak dari pemilik ternak domba bernama Qinan dari daerah selatan Salem."

Laila diam berpikir, mengingat-ngingat. Salem bukan daerah yang terlalu luas jadi dia merasa pasti pernah mengenalnya.

Qinan adalah salah satu pemasok bulu domba untuk bisnis pakaiannya, Laila mengangguk paham.

"Kenapa kamu ingin membebaskannya?"

"Aku tidak suka dengan sifat majikannya yang kejam dan semena-mena."

"Kamu kenal dengan budak itu?"

Dyvette, mulai kesal : "Kalau aku tidak kenal, aku tidak akan mengatakannya sejak awal."

"Siapa namanya?" Laila duduk meminum tehnya dengan anggun. Menatap putrinya dengan suasana hati yang sudah lebih baik..

"Namanya Lucas."

"Seorang pria?"

"Apakah itu terdengar seperti nama seorang wanita?" Dyvette semakin kesal dan menjawab agak ketus.

"Kamu tiba-tiba ingin membebaskannya." Laila meneliti pakaian Dyvette "Kamu baru pulang dari festival?"

Apakah putrinya menyukai budak itu? Dia menolak semua lamaran pria tampan dan kaya, dan malah menyukai seorang budak yang tidak jelas asal usulnya?

"Sebaiknya kita tidak ikut campur dengan urusan mereka. Itu resikonya sebagai seorang budak, jika dia tidak melakukan kesalahan majikannya tentu tidak akan marah dan menghukumnya." Laila menyeringai, lihatlah wajah merah padam putrinya, dia sepertinya benar-benar marah.

"Aku tidak mau tahu! bebaskan Lucas dan bawa dia ke sini secepatnya. Aku tidak ingin mendengar alasan apapun yang tidak bisa membawanya ke tempat ini."

Laila tercengang, sifat Dyvette yang keras dan memerintah seperti ini membuatnya teringat pada seseorang, ya, siapa lagi kalau bukan ayahnya, Sultan Assad.

Tentu saja itu hal mudah, tapi apa tujuan putrinya itu?

"Setelah kubawa dia kemari, akan kamu apakan dia?"

Hening untuk beberapa saat.

Dyvette terdiam berpikir. Ia memperhatikan gerak-gerik ibunya, Laila memang terlihat sangat santai padahal dirinya jelas sedang kesal. Kalau dipikir-pikir lagi, apa yang akan dia lakukan pada Lucas? Jika Lucas sudah bebas bukankah dia akan menjadi gelandangan tanpa pekerjaan dan tempat tinggal? Dia akan hidup bebas sih tapi....

"Jadikan dia pengawal pribadiku."

Laila tersenyum penuh arti, dia mengangguk dengan wajah puas. Dyvette tidak tahu apa arti dari senyuman itu, jadi dia masih mempertahankan wajah merengutnya.

Laila jadi tidak sabar ingin melihat, seperti apa bocah bernama Lucas itu hingga putrinya sampai merengek seperti ini.

Walaupun tidak bisa dibilang merengek juga, lebih tepatnya, memerintah ibunya seperti ini..

❤️❤️❤️❤️❤️

Pagi ini Dyvette sedang memetik bunga mawar di taman, dia paling suka matahari pagi, setiap pagi dia akan berjemur sambil menikmati teh.

Dyvette tinggal di sebuah mansion besar, terpisah jauh dari rumah-rumah penduduk lain, agak masuk ke area hutan, dan hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai ke pantai dari sana.

Meskipun seumur hidupnya Dyvette tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, namun semua tentang dirinya Assad tahu karena diam-diam Assad selalu mengawasi perkembangan hidup putrinya.

Dyvette mengernyit saat melihat beberapa mobil mewah masuk melewati gerbang, dia mengamati dengan alis berkerut.

Dia.... Dia laki-laki yang kemarin. Dia pangeran Kadesh. Mau apa dia ke sini?

Ankhamun turun setelah seseorang membukakan pintu mobil untuknya, dia keluar kemudian berjalan dengan wajah tanpa ekspresi dan angkuh, sialnya dia memang sangat tampan.

Di belakangnya beberapa pria berpakaian rapi membawa bingkisan-bingkisan yang sepertinya...

Dyvette buru-buru masuk melalui samping, Vivian tidak sengaja tertabrak karena Dyvette berlari kecil.

"Nona, apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Dyvette panik : "Vian. Kamu lihat ke depan, ada orang berkunjung."

Vivian membatin. Ah, hanya lelaki lain yang akan masuk ke dalam daftar orang yang ditolak Nona Dyvette. Sungguh malang orang itu.. Tapi tenang saja dia akan sembuh kok.

Vivian tahu jika Dyvette memang tidak ingin menikah, dia sering marah-marah ketika orang yang melamarnya sudah pulang.

"Apakah lelaki lain yang akan melamar Nona lagi?" Tanya Vivian

"Entahlah, aku sudah lelah berhadapan dengan situasi seperti ini."

Vivian tersenyum, "Salahkan Tuhan yang memberkati Nona dengan kecantikan ini. Hehe."

"Kamu mulai menyebalkan lagi, Vian."

Laila datang dari belakang. "Sayang, ada tamu untukmu. Vivian, tolong bantu Nona Dyvette mandi dan berdandan." Suara Laila yang lembut terdengar menakutkan bagi Dyvette untuk saat ini.

Dia langsung membuat alasan, "Ah... Aku tiba-tiba merasa pusing, perutku rasanya seperti diremas-remas. Katakan saja aku tidak bisa menemui siapapun." Dyvette sudah berbalik untuk menghindari tatapan ibunya, namun Laila bergerak lebih cepat, dia meraih kerah pakaian belakangnya dan menariknya dengan pelan.

Dyvette tersenyum canggung. Dia nyengir menatap wajah datar Laila.

"Apa kalian sudah saling kenal?"

"Aku tidak kenal dia! Kami hanya bertemu kemarin di festival, aku bersumpah. Tanyakan saja pada Alma kalau ibu tidak percaya." Dyvette mengangkat tangannya sebagai sumpah.

Laila menarik satu alisnya ke atas, tidak percaya pada ucapan putrinya. Baru beberapa hari yang lalu dia menanyakan tentang pangeran Kadesh, dan hari ini orang itu datang ke rumah. Jangan-jangan.....

"Sudahlah. Cepat mandi dan ganti pakaian, kita juga belum tahu apa tujuannya. Tapi jika dia ingin melamarmu, kamu harus menolak. Dia adalah calon suami dari Nona Estheria putri Panglima, mengerti?" Dyvette mengangguk dengan cepat, ibunya terlihat tidak suka pada pangeran, Dyvette jadi penasaran.

Tapi kalau Dyvette menerimanya, bukankah itu berarti dia akan menjadi calon Permaisuri masa depan Kadesh? Apakah ibunya tidak ingin itu terjadi?

**

Laila tersenyum ramah seperti biasa. Di atas meja sudah tertata banyak bingkisan hadiah-hadiah, kain-kain sutera mahal, perhiasan, dan makanan-makanan yang dibawa oleh Ankhamun.

Laila tidak menyukai Ankhamun bukan tanpa alasan. Karena Ankhamun adalah bukti nyata bahwa Jamal benar-benar berpaling dan menyentuh wanita lain selain Zephyr, betapa malang nasib nonanya itu.

"Selamat datang, pangeran. Silakan dinikmati dulu hidangan sederhananya. Putriku akan turun sebentar lagi." Laila mencoba seramah mungkin, putra Ahmanet memang tampan, itu pikirnya saat sudah melihat Ankhamun dari jarak dekat begini.

"Terimakasih, nyonya." Jawabnya sopan.

Laila memperhatikan gerak-gerik Ankhamun, benar-benar seorang pangeran yang terdidik tatakrama, sangat mempesona. Sekejap Laila merasa tersihir oleh pesona Ankha, sebelum dia tersadar oleh kedatangan Dyvette.

Suara langkah yang diciptakan oleh sepatu hak tinggi dan gelang-gelang kaki Dyvette membuat semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arahnya. Dyvette menampilkan wajah tanpa ekspresi pada Ankhamun, pandangan mata mereka terhubung begitu lama.

Ankhamun terpana melihat Dyvette, dia menuruni tangga dengan anggun, gaunnya sederhana namun terlihat berkelas, anting-anting dan kalung berlian kecil yang melengkapi penampilannya, bentuk tubuh yang indah, rambut-rambut kecil yang keluar dari sanggul, ekspresi jutek yang sangat menggemaskan, itu isi pikiran Ankhamun saat ini.

Tahtah mengalihkan pandangan darinya, dia melihat ke arah lain setelah beberapa detik terpesona oleh wanita itu.

Dyvette duduk di seberang Ankhamun, itu membuatnya mau tidak mau harus berhadapan dengan wajah yang terlihat sedang menahan air liur, menjijikkan. Dyvette merasa risih karena Ankhamun sama sekali tidak menyembunyikan tatapan memujanya.

Tahtah memulai percakapan : "Dengan segala hormat dan ketulusan, tujuan kami datang ke sini adalah karena pangeran kami, Ankhamun Mena telah jatuh hati pada putri anda, Nyonya. Nona Dyvette, sudikah anda menerima hadiah dari pangeran kami sebagai hadiah perkenalan." dia bersuara dengan lugas.

Hening*

"Terimakasih karena pangeran sudah repot-repot membawa hadiah, kalau begitu akan saya terima." Jawab Laila karena Dyvette hanya diam tidak menjawab. Wajah ketusnya bertambah berkali-kali lipat.

"Tidak perlu merasa sungkan, hadiah itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan putrimu yang berharga." Jawab Ankhamun dengan lembut, dia tersenyum pada Laila.

Tahtah tercengang melihatnya, kalau sampai Dyvette menolak pangeran, sungguh sia-sia senyum yang mahal itu.

Laila merasa tersentuh dengan ucapan Ankhamun, pandai sekali mencuri hati calon ibu mertua.

Dyvette masih bergeming, memperhatikan semua hadiah yang ada di hadapannya.

Dia bilang apa barusan? Tidak seberapa? Benar-benar tukang menghamburkan harta

"Nona Dyvette, maukah engkau menerima pinanganku? Aku tidak pandai berkata manis, tapi aku sungguh-sungguh ingin menjadi suamimu."

Ankhamun menatap Dyvette lekat, Dyvette tidak bisa membaca arti pandangan matanya itu.

Dia tidak sedang mencoba bukan? Dia pasti sudah tahu kalau aku sudah menolak banyak lamaran pernikahan, dan dia penasaran ingin mencobanya?

"Dik Ankhamun, pangeran Kadesh yang terhormat. Apakah anda tidak tahu kalau saya lebih tua dari anda?"

Mata Tahtah membulat, bahkan hampir lepas dari tempatnya, Laila menganga, dan Ankhamun mengerutkan alis untuk sesaat. Sedangkan yang lain pura-pura tidak mendengar dan memilih untuk menatap langit-langit yang menurut mereka nyaman untuk dipandang saat ini.

Luar biasa...

"Aku tidak peduli dengan perbedaan usia, usia tidaklah penting. Aku benar-benar telah jatuh hati pada pandangan pertama kita. Maukah kamu menjadi wanitaku, Nona Dyvette?"

Jatuh hati? Kau menatapku dengan ketus saat kita pertama bertemu! Dasar pembual

"Ini terlalu cepat, kita hanya pernah bertemu satu kali. Dan aku... tidak tertarik padamu." Dyvette bersidekap tangan, memandang Ankhamun dengan wajah datarnya.

Tahtah semakin tercengang lagi dengan jawaban blak-blakan Dyvette.

Ternyata kabar itu benar, dia wanita yang berani dan bermulut pahit. Pada calon Kaisar saja dia berani seperti ini? Apalagi pada pria-pria biasa yang hanya anak dari orang kaya. Aku tidak bisa membayangkan apa saja yang dia ucapkan pada mereka. Sungguh malang nasib mereka. (Suara hati Tahtah)

"Sayang sekali, padahal niatku tulus ingin menjadikanmu istriku." nadanya terdengar lemah..

Dyvette tersenyum manis : "Aku sangat menghargai niat tulusmu, dik."

"Aku tidak bisa membayangkan wajah lain selain wajahmu yang akan kulihat setelah aku membuka mata pada pagi hari."

Laila hampir berkaca-kaca. Sesaat melupakan bahwa dia adalah putera Ahmanet.

"Bukankah anda akan menikah dengan Estheria? Dia adalah calon permaisuri anda."

Ankhamun agak terkejut, "Kamu sudah mendengar tentang itu rupanya. Benar, dia adalah gadis yang dijodohkan denganku oleh Kaisar."

"Anda seharusnya tidak usah banyak bertingkah dan lebih baik mengikuti titah Kaisar. Istri pertama anda haruslah seseorang yang sudah disiapkan untuk menjadi Permaisuri masa depan, sesuai persetujuan Kaisar, sedangkan saya? Kenapa anda begitu yakin mereka akan menerima saya? Atau jangan-jangan anda hanya ingin menjadikan saya wanita simpanan yang anda nikahi? Maaf, saya sangat sangat tidak berminat."

Ankhamun mengepalkan tangan, wajahnya mengeras. Namun dia tetap menahan amarah karena di sini ada Laila.

Aku akan mendapatkanmu, aku mau kamu yang menjadi permaisuriku, bukan gadis bernama Estheria itu!

"Nona, bibirmu sangat manis, tapi ucapanmu begitu pahit. Aku sedikit terluka."

Laila menatap Dyvette dengan cemas, apakah putrinya akan mendapat masalah karena ini? Dia memang menyuruhnya menolak jika pangeran datang untuk melamarnya, tapi bukan dengan cara seperti ini!

"Mohon maafkan putri hamba, yang Mulia. Dyvette memang gadis yang tidak tahu sopan santun, dia selalu mengatakan apa saja yang ingin dia katakan tanpa disaring dulu, itu kesalahan saya yang tidak mendidiknya dengan benar. Mohon pangeran memaafkan saya." Laila menatap Ankhamun dengan memohon, dia tidak ingin ke depannya Dyvette mendapat masalah karena telah menyinggung putera mahkota.

"Tidak apa, Nyonya. Aku seorang pria tangguh, tidak akan berdarah hanya dengan ucapan putri anda saja." Ankhamun tersenyum. Dyvette memutar matanya ke atas.

"Nona, jika aku tidak bisa menjadikanmu milikku, jangan panggil aku Ankhamun Mena Al-Manayah. Kamu akan menjadi istriku, entah akan menjadi istri yang ke berapa, kamu akan menjadi milikku pada akhirnya. Kami permisi." Ankhamun menoleh pada Laila lalu berdiri setelah memberi anggukan pelan, sebagai bentuk hormat pada yang lebih tua.

"Pangeran, tolong maafkan putriku, saya akan mendidiknya dengan lebih keras mulai sekarang. Dyvette, cepat minta maaf pada pangeran!" Laila benar-benar takut dengan ucapan Ankhamun yang terakhir. Apalagi dia langsung pamit seperti itu, pangeran pasti benar-benar tersinggung

"Kenapa aku harus meminta maaf hanya karena menyampaikan apa yang kurasakan dengan jujur? Aku tidak akan melakukannya!"

Ankhamun tersenyum tanpa menoleh ke belakang, dia semakin merasa tertantang.

Selamat, Nona. Kamu tidak akan bisa lepas dariku mulai sekarang. Aku sudah mengikat takdirmu untuk menjadi milikku. Sampai berjumpa lain waktu...

Dyvette menatap kepergian mereka dengan alis berkerut. Sedangkan Laila sangat cemas, dia tidak mengejar mereka karena sepertinya pangeran sudah sangat tersinggung sampai tidak menoleh lagi.

Laila berubah dingin, "Bisa kita bicara?"

Dyvette merasakan tulangnya seperti beku melihat raut wajah ibunya..