Empat Tahun Kemudian
Adakah sesuatu yang lebih kejam dari waktu?
Waktu terus berlalu tanpa peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Bahkan jika kau menangis sampai darahmu kering sekalipun, waktu tidak akan menoleh dan berhenti untukmu. Dia akan terus berjalan, karena itu adalah sifatnya.
Peresmian Ibukota terjadi dua tahun yang lalu, sekarang Salem menjadi lebih ramai dari sebelumnya.
Salem merupakan sebuah pulau yang tadinya hanya memiliki populasi sebanyak 38000 jiwa saja. Sekarang dengan banyaknya para pendatang baru, tentu jumlahnya sudah lebih dari itu.
Salem Selatan berisi area pabrik, pesawahan, hutan dan peternakan. Para petani, penggembala, dan perbudakan semuanya berada di Selatan.
Salem Tengah menjadi tempat balai kota, berisi gedung-gedung pemerintahan, pengadilan, dan taman kota. Para menteri dan anggota dewan tinggal di Salem Tengah. Rumah-rumah keluarga mereka berdiri dengan megah di tengah Salem, tempat itu hanya terbuka untuk umum pada waktu-waktu tertentu saja.
Sedangkan Salem Utara adalah pusat ekonomi kota ini, pusat perbelanjaan, kantor-kantor, bisnis, sekolah, perguruan tinggi, akademi, dan pasar besar yang menjadi ikon kota Salem berada di sini. Para pendatang kebanyakan bermukim di Salem Utara, penjagaan di Salem masih sangat ketat, pendatang tidak diberi izin tinggal di sembarang tempat. Jika ada yang melanggar, maka hukumannya adalah mati.
Di bagian Salem Timur adalah area perumahan, dari mulai yang menengah sampai menengah ke atas. Yang membuat wilayah ini selalu ramai adalah karena adanya wisata kuliner yang buka setiap malam.
Salem adalah kota yang tertata dengan sangat rapi, apalagi setelah menjadi ibukota Kekaisaran Kadesh, sekarang Kaisar jadi lebih sering berkunjung.
Lalu di manakah Dyvette tinggal? Dyvette tinggal di Salem Barat, Laila memiliki hampir setengah tanah di sana. Salem Barat adalah wilayah campuran, pusat-pusat latihan, sekolah seni, berbagai pelatihan bela diri, dan perpustakaan terbesar di Salem ada di sini.
Salem Barat, jam empat sore...
Alma duduk dan memakan buah semangka, ia sedang menonton Dyvette berlatih.
"Apa kamu akan menghadiri pekan busana di Utara besok, Yve?"
Senyuman itu, lihatlah betapa ringan dan indah gerakan tubuhnya, Dyvette seperti seorang peri yang sedang melayang.
"Terdengar membosankan."
Dyvette mengambil duduk di dekat Alma setelah musik berhenti.
Alma selalu mengagumi sahabatnya, dia bahkan sampai pernah ragu dengan orientasi seksualnya saat berhadapan dengan Dyvette yang seperti ini, melihat Dyvette terengah-engah dengan wajah memerah, dan keringat yang turun di setiap sisi wajahnya yang halus, aroma Dyvette yang manis dan lembut, menyeruak ke dalam otaknya seolah berusaha melepaskan insting hewan liar dalam dirinya.
Alma kembali pada kewarasannya setelah beberapa saat terpesona.
"Para putri kerajaan akan hadir, aku yakin mereka akan berburu gaun untuk acara pernikahan putra mahkota."
Dyvette lumayan terkejut. Tapi dia masih bisa mempertahankan raut wajahnya untuk tetap santai. "Putra mahkota akan menikah?"
"Ya, Pangeran sekarang sudah siap menikah. Padahal sebelumnya dia selalu mengatakan belum ingin. Estheria sering bercerita padaku, betapa frustrasinya dia digantungkan oleh Ankhamun. Padahal mereka bertunangan sudah lama."
Jadi, Ankhamun akan menikah?
"Itu bagus, lagipula usia Nona Estheria sudah sangat cukup untuk menikah."
Alma melirik dengan sinis, mengamati Dyvette dengan tatapan datar dan menusuk.
"Lalu kamu sendiri? Kamu pikir usiamu berapa sekarang? Kamu juga sudah sangat sangat cukup usia untuk menikah."
Hatinya terasa ngilu.
"Aku belum menemukan yang cocok."
Sekarang sudah tidak ada lelaki yang meminangnya, atau setidaknya, hanya mendekatinya pun tidak ada yang berani. Mungkin mereka sekarang berpikir kalau Dyvette akan berakhir sama seperti ibunya.
Tidak menikah seumur hidup.
"Kamu mau mencari yang seperti apa memangnya? Tunggu ada manusia yang turun dari langit, begitu? Baru kamu akan jatuh cinta?"
"Semua lelaki itu menyebalkan."
"Yohan tidak menyebalkan, dia sangat manis dan menyayangiku." jawab Alma tidak terima.
"Ya Ya Ya, suamimu terbaik. Jangan ulangi kata-kata itu lagi, aku hampir muntah." Dyvette mengibaskan tangan, Alma masih merengut.
Alma sudah menikah satu tahun yang lalu dan sekarang sedang mengandung buah hatinya. Itulah sebabnya dia hanya duduk memperhatikan Dyvette latihan, karna dia sudah tidak bisa menari selincah dulu sejak hamil.
"Aku merasa kasihan pada ibumu dan nenek moyang keluarga Mebraah. Gara-gara dirimu garis keturunan mereka akan terputus. Jika aku jadi kamu, aku pasti akan menerima pinangan dari putra Walikota dan memiliki banyak anak dengannya." Alma dan imajinasi liarnya
"Yakkk.... Hentikan wajah mesummu itu, menjijikkan." Dyvette melempar satu buah anggur pada lengan Alma.
"Jahannam, aku sedang mencoba mengasah otakmu yang tumpul itu!"
"Kamu tidak boleh mengumpat, ingat kamu sedang hamil."
"Sialan aku lupa."
"Kamu mengumpat lagi."
Alma memutar matanya ke atas.
"Sudahlah, apa juga gunanya aku berbaik hati membantumu, kamu memang manusia paling keras kepala yang pernah kukenal." Alma berdiri setelah melirik jam.
"Aku pulang duluan, suamiku bilang akan menjemput jam empat sore di depan."
Dyvette, menarik sudut bibirnya, "Kamu istri yang taat ya, apa kamu izin padanya akan menemaniku berlatih hari ini?"
"Tentu saja, aku harus taat. Cepatlah menikah, banyak hal menyenangkan dalam pernikahan, kamu akan menyesal jika melewatkannya." ini adalah ucapan yang tulus dari hatinya. Alma benar-benar ingin melihat Dyvette menikah, akan ada banyak hal yang bisa mereka bahas dan diskusikan kalau mereka sudah sama-sama menikah, itu hayalan Alma.
Dyvette tersenyum. Semenjak sahabatnya menikah, mereka jadi jarang sekali bertemu. Kadang-kadang saja secara tidak sengaja mereka bertemu di jalan atau di pusat perbelanjaan.
"Aku akan mengantarmu keluar."
Alma mengangguk.
Setelah Alma masuk ke dalam mobil, Dyvette melambaikan tangan, namun ia enggan melangkah pergi. Dia memperhatikan mobil yang sudah mengecil di pandangannya itu dengan tersenyum tipis.
Menikah ya?
Dengan siapa?
Dia terlalu banyak menolak lelaki dan sekarang dia mendapatkan balasannya. Walaupun dia tidak terlalu merana, tapi tetap terkadang terbesit rasa...
Dia kesepian, dia ingin ada yang menemaninya bercerita saat malam, menemaninya belanja, bercanda, dia ingin ada sosok pria yang akan selalu melindunginya. Alma terlihat bahagia setelah menikah dengan Yohan, apakah dia akan bahagia juga nanti setelah menikah?
Putra Walikota sudah menikah, dia bahkan memiliki tiga istri yang semuanya adalah anak pejabat. Benarkan? Kebanyakan lelaki itu busuk, coba kalau dulu Dyvette mau menikah dengannya, dia pasti sedang membatin sekarang karena suaminya dimiliki banyak wanita.
Di sepanjang jalan pulang Dyvette hanya melamun. Memandang ke luar jendela mobil, menopang dagu.
"Langsung ke pantai saja. Aku mau lihat matahari terbenam."
Baili mengangguk, "Baik, Nona."
🌹🌹🌹
Dyvette bertelanjang kaki menyusuri garis pantai, dia masih memakai gaun penari berwarna merah hati yang tadi. Gaun itu memperlihatkan perutnya yang rata dan putih, rambutnya yang dikepang sudah berantakan, banyak anak rambut yang terjatuh di sisi wajahnya.
Dyvette selalu penuh dengan perhiasan saat menari, dia sangat suka mendengar suara gemericik yang ditimbulkan ketika ia bergerak, di keningnya Yve menempelkan sebuah batu permata berbentuk oval panjang. Dia benar-benar terlihat seperti bidadari yang jatuh dari langit..
Yve menghirup aroma parfum yang sudah bercampur dengan keringatnya, terasa menenangkan.
Ia memejamkan mata, berusaha menikmati setiap detik suasana pantai yang indah, suara deburan ombak, suara burung-burung, suara gesekan daun kelapa...
Seperti kerasukan iblis betina, Yve menari dengan sangat erotis, setiap lekukan tubuhnya mengkilap dan bersinar memantulkan cahaya dari matahari yang akan tenggelam karena basah oleh keringat, nafasnya sudah tidak beraturan. Dia berputar-putar seolah ingin membuat pusing dirinya sendiri dan menghempaskan semua rasa sepi yang berkecamuk.
Sampai akhirnya dia sempoyongan dan akan terjatuh, itu yang Yve pikirkan sebelum ada seseorang yang menangkapnya.
Dyvette membuka mata namun yang dia lihat hanyalah langit jingga dan awan yang berputar-putar, Yve kembali memejamkan mata.
"Uh.... Aku mau muntah." ucapnya dengan nafas tersengal-sengal
Tunggu, siapa yang sedang memegangku sekarang? Ini tidak tercium seperti Baili. Lelaki ini seperti habis ikut lomba lari saja..
Dyvette berusaha melepaskan rengkuhan di tubuhnya, tapi dia tidak punya cukup tenaga
"Nona, kepala anda akan terbentur pasir jika saya melepaskannya sekarang."
Merinding....
Itu yang dia rasakan sekarang.
Suara itu...
Dyvette membuka matanya kembali, sekarang penglihatannya sudah lebih baik.
Dia menghempaskan rengkuhan pria itu lalu buru-buru menjauh dan duduk, Yve menepuk-nepuk pelipisnya dengan pelan. Setelah rasa pusing itu sepenuhnya hilang, dia menoleh dan alangkah terkejutnya..
"Siapa kau?!" Dyvette memeluk dirinya sendiri, mencoba menutupi belahan dada dan perutnya yang terbuka. Pakaian itu memang cukup meresahkan.
Lelaki itu mendekat sambil melepas jaket lalu memakaikan jaket kulit miliknya pada Dyvette dengan pelan dan sopan.
"Anda bisa sakit dengan pakaian seperti itu di tempat berangin seperti ini."
Dyvette mematung, memandangi lelaki tampan yang sedang mengalihkan pandangannya itu.
Dia.... Dia Merona? Lelaki itu merona? Apakah dia merasa malu karna sudah melihat bagian tubuh wanita yang tidak seharusnya dia lihat?
"Aku ingin, memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu aku mau pakai apa...."
Hening, lelaki itu terlihat semakin canggung. Dyvette masih seperti dulu, kadar ketusnya tidak berkurang sedikitpun, lelaki itu membatin.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku, siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk ke area pribadiku? Apa kau adalah orang mesum yang mengikutiku sampai ke sini? Kuperingatkan, jangan macam-macam denganku!"
Dyvette baru ingat kalau pantai ini masih masuk dalam wilayah perumahannya.
Lelaki itu menunduk, nuraninya sedikit terluka. Kenapa Nona Dyvette berpikir begitu, apakah aku terlihat seperti orang mesum?
"Saya adalah pengawal pribadi anda, Nona."
Alis Dyvette keriting, "Aku tidak ingat kalau aku memiliki pengawal pribadi dengan wajah asing, kita baru bertemu hari ini.. Oh Ya Tuhan....." dia memekik sembari menutup mulutnya yang menganga.
Wajah itu, suara itu, dan wajah malunya yang khas itu...
Kenapa dia baru sadar?
"Lucas?!!"
Dyvette tidak mungkin salah. Kenapa, kenapa Lucas sekarang berbeda sekali? Dia belum mempersiapkan mentalnya untuk bertemu Lucas yang seperti ini.. Ya Tuhan, dia tidak sanggup (>_<)
"Benar, saya Lucas. Nyonya menugaskan saya untuk menjadi pengawal pribadi anda mulai hari ini."
Dyvette berusaha menjaga imej kalemnya. Padahal dia ingin sekali berteriak sekarang
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?" selidiknya
"Saya sudah mengikuti anda seharian ini, dari sebelum anda masuk ke tempat latihan, saya menunggu di kedai kopi di seberang jalan, lalu saat anda keluar dan akan pulang saya mengikuti anda. Niatnya saya akan tetap tidak terlihat tapi anda hampir jatuh tadi, nyonya tidak ingin ada sesuatu yang terjadi pada anda sekecil apapun itu, jadi saya terpaksa menyentuh anda. Tolong maafkan kelancanganku, Nona." Jawabnya dengan rinci, Dyvette tertegun memperhatikannya.
"Hentikan bahasa asing itu, aku sudah bilang pakai 'aku kamu' saja kan."
Setelah merasa lebih nyaman, Lucas berani melihat Dyvette. Ia kembali teringat pada kejadian empat tahun lalu saat Dyvette meminta hal yang sama.
Dyvette tertawa, entah menertawakan apa. Lucas tidak berkedip memandangnya.
Dia benar-benar cantik....
Sadar, Lucas, sadar!
Dyvette : "Kamu banyak berubah, aku hampir tidak mengenalimu tadi." dia sudah bisa menyesuaikan suasana hatinya sekarang
"Nona juga banyak berubah."
"Oh, benarkah? Apa yang berubah dariku?"
"Anda.... Ehem.. Kamu, jauh lebih dewasa sekarang."
Dyvette agak tersinggung, "Maksudmu aku tua, begitu?"
"Tidak! Bukan begitu. Maksudku, kamu semakin cantik."
Blushhhh.... Dyvette dan Lucas sama-sama merona.
Bagaimana dia bisa mengatakan hal itu dengan mudah? Lucas sudah berbeda sekarang, ah iya, usianya juga sudah bertambah matang. Di tempat latihannya pasti dia sudah diajarkan banyak hal oleh teman-teman lelakinya.
Dyvette batuk-batuk setelah sadar dari keterpanaannya.
"Ah... Aku memang selalu cantik, kamu kemana saja selama ini sampai baru sadar?" Dyvette tertawa dengan canggung.
Tapi sepertinya Lucas tidak menangkap maksud Dyvette dan malah mengira dia bertanya dirinya ada ke mana saja selama ini.
"Aku berlatih bela diri selama empat tahun ini, Nona." jawabnya dengan wajah polos
Dyvette menghentikan tawanya, baiklah, dia masih bodoh. Semoga saja Lucas belum terkontaminasi virus-virus buruk dari teman-teman latihannya.
"Ini sudah hampir gelap, sebaiknya kita kembali sebelum nyonya khawatir."
Dyvette mengangguk.. "Baiklah."
Lucas, kenapa kamu semakin tampan saja? Kamu berubah banyak, ingin sekali Dyvette mengatakan itu, namun egonya melarang.
Sepanjang malam, Lucas menemaninya di teras kamar, bercerita banyak hal. Yang entah sejak kapan mereka menjadi akrab begitu. Seperti teman lama yang baru bertemu setelah sekian tahun.
Sampai akhirnya Dyvette ketiduran dan Lucas menggendongnya ke atas ranjang. Dia menyelimuti Dyvette dengan sangat hati-hati..
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"
Laila sudah menunggunya di depan pintu kamar Dyvette saat dia barusaja keluar dari sana.
Lucas menjawab, "Semuanya baik, seperti harapan Nyonya."
Laila tersenyum puas.
"Sudah lama aku tidak melihatnya seceria ini, terimakasih, Lucas. Aku berharap banyak hal padamu."
Laila pergi setelah menepuk pundak Lucas dua kali.
Lucas terdiam merenung, pundaknya terasa jauh lebih berat sekarang.....