Salem Barat, Mansion Mebraah, jam tujuh pagi.
"Syalalala~"
Dyvette bersenandung ceria, pagi ini dia merasa lebih energik dari pagi-pagi sebelumnya.
Lucas sedang latihan di halaman belakang, sedangkan Vivian sibuk di dapur bersama para maid yang lain.
Dyvette memetik beberapa jenis bunga untuk dia jadikan hiasan di kamarnya. Dia juga akan membuat karangan bunga untuk ditaruh di atas makam Laila.
Laila dimakamkan di taman belakang mansion. Di dalam rumah kaca yang berisi berbagai macam jenis bunga dari banyak negara. Dyvette sangat senang mengoleksi bunga, dia bahkan sempat berencana untuk membuka toko bunganya sendiri. Namun sejak kematian ibunya, dia mengubur rencananya itu. Perusahaan ibunya jauh lebih penting dari sebuah toko kecil impiannya.
Dyvette duduk dalam rumah kaca, ada sebuah bangku kayu panjang berwarna putih, setelah dia meletakkan karangan bunga dia langsung duduk melamun. Sinar matahari pagi membuat tempat itu terlihat semakin indah.
Kemudian dia berbicara sendiri.
"Bu, bagaimana kabarmu hari ini?"
"Aku baik-baik saja. Aku menyelesaikan pertunjukanku di pesta pernikahan pangeran Ankhamun."
Dyvette kembali mengingat-ngingat kejadian malam itu.
"Aku bertemu seorang pangeran tampan lainnya, dia baik dan sopan. Kau tahu bu, dia memiliki mata yang sama denganku, apakah kebetulan? Ataukah kami memang ditakdirkan untuk bertemu?"
Dyvette tersenyum membayangkan wajah Fatih.
"Aku memberinya alamat kita, aku sungguh berharap ibu masih ada, ibu pasti akan mendukungku, kan?"
Dyvette menghela nafas memandangi batu nisan yang diam tidak bergerak itu, dia tersenyum.
"Semoga kau tidur dengan damai ya, bu? aku bisa menjaga diriku sendiri kok, aku juga akan berusaha untuk menjadi lebih lembut. Ibu tenang saja, aku tidak kesepian, ada Lucas dan Vivian yang selalu menemaniku. Aku pergi dulu ya, aku sayang ibu."
Dyvette menyeka ujung matanya yang mulai berair, ia bangkit dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir ibunya. Air matanya masih jatuh saat dia menutup pintu kaca itu.
🌺🌺🌺
Berminggu-minggu telah berlalu sejak pernikahan Ankhamun, Dyvette tidak memiliki waktu untuk bersedih lagi. Dia disibukkan dengan pekerjaan dan kelas privatnya. Dia ingin belajar bahasa asing agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan rekan kerja dari luar negri, seperti ibunya.
"Nona, selesaikan sarapannya dulu." ujar Vivian setelah melihat Dyvette sangat terburu-buru dan tidak menghabiskan makanannya.
"Aku akan terlambat, nanti siang antarkan saja ke kantor." balasnya setelah bangkit dari meja makan.
"Baiklah, hati-hati. Semangat nona!" teriak Vivian,
Dyvette mengangkat tangannya ke udara memberi tanda kalau dia akan melakukannya.
Lucas sudah menunggu di dalam mobil, hari ini dia yang akan menyetir. Setelah Dyvette masuk Lucas langsung menginjak gas.
Rapat pagi ini berjalan lancar, Darius yang memimpin. Dia meminta pendapat pada Dyvette tentang bagaimana jika bonus karyawan dinaikkan karena penjualan perhiasan mereka bulan ini meningkat sebanyak 3x lipat dari bulan kemarin. Dan Dyvette menyetujuinya.
"Saya ingin melihat desain baru untuk musim depan secepatnya, pastikan kenyamanan di dalam terlebih dulu sebelum tampilan di luar. Itu saja untuk hari ini. Semoga beruntung." Darius menutup rapat.
Darius sudah berkeluarga, anak pertamanya adalah perempuan dan baru berusia sembilan bulan. Dia sangat berwibawa dan pekerja keras. Darius sangat menghargai kejujuran, dia paling benci dengan karyawan pemalas. Dia sangat menjunjung tinggi profesionalisme dan ketertiban.
Semua orang menghormatinya, begitupun dengan Dyvette. Walaupun usia mereka hanya berjarak satu tahun, Dyvette tetap menghormati dan memanggilnya senior.
🌺🌺🌺
Dyvette memijat keningnya yang terasa pusing, ia sedang membaca surat-surat yang diterima pagi ini. Mengeceknya satu persatu, sesekali ia memberikan tanda tangannya di sana.
Tok tok tok..... (Seseorang mengetuk pintu)
"Masuk."
Itu Vivian. Dia membawa makan siang untuk Dyvette. Dyvette mengernyit melihat Vivian yang juga membawa sebuah buket bunga besar dan menaruhnya di atas meja.
"Kiriman dari seseorang, tidak tahu dari siapa, aku tidak membacanya." jelas Vivian sebelum Dyvette bertanya.
"Kiriman dari seseorang?" Dyvette berdiri dan melihat bunga itu. Ia menciumnya, wangi sekali.
Ada sebuah kertas kecil yang terselip, Yve mengambil itu dan membacanya dalam hati.
Hallo... Salam sejahtera untukmu.
Mawar putih, aku langsung terbayang wajahmu begitu melihatnya. Nona Dyvette, apakah kau masih mengingatku?
Aku sedang ada beberapa urusan di Kadesh untuk tiga hari ke depan. Bisakah kita berjumpa? Jika ada waktu, aku ingin menjemputmu untuk makan malam di luar.
Semoga harimu menyenangkan.
Kenalanmu.
FAF
Dyvette memutar otaknya dengan keras.
"FAF?"
"Siapa nona?"
"FAF katanya."
"Apakah itu sebuah singkatan?"
"Tidak tahu. Tunggu."
Vivian menatapnya dengan penasaran, setelah menyadarinya, wajah Dyvette langsung merona.
"Fatih Al-Farishi?"
Mata Vivian membulat mendengar itu.
"Nona, sejak kapan nona memiliki hubungan dengan pangeran negara sebelah itu?"
"Kamu tahu dia?"
"Tentu saja, keluarganya dibahas dalam pelajaran sejarah saat aku sekolah dulu." jawabnya dengan wajah antusias.
"Benarkah? Aku tidak tahu kalau di pelajaran sejarah ada mereka."
Dulu Dyvette tidak sekolah di sekolah umum, sejak kecil dia memiliki guru privatnya sendiri dan dia sekolah di rumah. Laila tidak mau Dyvette terlalu berbaur dan membuat putrinya harus mendengar sesuatu yang tidak seharusnya dia dengar.
"Dia pewaris tunggal nona, putera satu-satunya Sultan Assad. Ya Tuhan.. Aku tidak menyangka nona kami memiliki hubungan dengannya."
Malah Vivian yang jingkrak-jingkrak kegirangan sementara Dyvette masih sangat tenang.
"Apa yang kamu bicarakan, Vian. Aku tidak memiliki hubungan seperti itu dengan pangeran Fatih." bantahnya, namun wajahnya sudah memerah karena malu.
"Ahhh, masa dia sampai mengirim bunga kalau tidak ada hubungan apa-apa? Atau jangan-jangan dia menyukai nona? Terima saja nona, jangan lewatkan kesempatan berlian ini."
"Aww..." Vivian mengaduh karena Dyvette menggeplak pundaknya, pelan sih.
"Aduh sudah sudah, itu bisa dibahas nanti. Aku masih banyak kerjaan. Huss huss~, makasih sudah bawakan makan siang, aku akan memakannya nanti."
Vivian mengerucutkan bibirnya.
"Baiklah~.. Putri Salem kami belum berubah juga ternyata. Hufft..." ucapnya dengan nada pasrah yang dibuat-buat.
Masa sih Fatih menyukaiku?
Setelah Vivian pergi, Dyvette kembali mencium bunga itu. Dia tersenyum.
🌺🌺🌺
Istana Kadesh
"Wajahmu masam sekali, kurang jatah ya?" celetuk Fatih begitu Ankhamun datang.
Mereka sedang berada di kebun binatang kecil milik Ankhamun, di belakang istana.
"Kurang jatah apanya?"
"Dari Estheria?"
Ankhamun menatapnya dengan sangat, sangat ketus. "Josephh..!" panggilnya.
Lalu tidak lama kemudian seekor singa jantan terlihat berlari menuju ke arah mereka. Fatih mundur beberapa langkah, dia menatap Ankhamun dengan wajah cemas.
"Sialan, kau tidak bisa diajak becanda lagi."
Ankhamun terkekeh. Joseph datang dan langsung memeluknya, Fatih melongo melihat itu.
"Kukira dia liar."
"Apa kau pernah melihat singa liar memakai perhiasan?"
Fatih mengangguk pelan, "Masuk akal juga."
Setelahnya mereka berjalan melihat hewan-hewan, sambil mengobrol santai.
Fatih : "Bagaimana rasanya menikah?"
"Bagaimana rasanya bersetubuh maksudmu?"
Fatih tertawa, "Kau frontal sekali."
"Ya seperti itu. Banyak warna dan rasa." lirih Ankha.
"Kau membuatnya terdengar menarik."
"Sulit dijelaskan."
Mereka berhenti di depan habitat buatan untuk buaya. Isi kebun binatang kecil itu hewan predator semua.
Fatih bertanya, "Apa kau bahagia?"
Ankhamun menoleh, ia menatapnya dengan alis bertaut.
"Jangan bilang kau datang ke sini untuk memberi undangan? Dengan siapa Al?" Ankha berubah antusias setelah pikiran itu terlintas di kepalanya.
"Omong kosong. Aku ke sini memang ingin bertemu seseorang, tapi nanti saja kalau sudah pasti akan kuberi tahu."
"Dasar perjaka tua. Akhirnya kau jatuh cinta juga, kukira kau menyimpang karena selama ini tidak pernah terlihat tertarik dengan wanita." Ankha menepuk pundak Fatih dua kali.
"Pantatmu yang tua! Umurku baru mau 28."
"Pria seusiamu harusnya sudah punya anak banyak." ledek Ankha
"Mau bertaruh? Siapa yang akan punya anak lebih banyak?" Fatih tersenyum menantang
"Dasar sinting, perlombaan macam apa itu."
"Hemm... Untungnya baba tidak pernah menjodohkanku dengan siapapun." Fatih menatap buaya yang sedang menganga, dia jadi penasaran kenapa buaya itu membuka mulutnya lebar-lebar padahal matanya tertutup.
"Kau cukup beruntung. Tapi sungguh, menikah tidak semengerikan itu. Aku memang masih belum bisa mencintai Estheria, tapi aku sudah mulai belajar menerima kehadirannya." Ankhamun jadi melamun, di belakangnya Joseph terus mengikuti sejak tadi.
"Cinta tidak datang semudah itu, ya?"
Ankhamun masih diam, karena dia tidak tahu mau menjawab apa.
"Baba pernah bilang, akan banyak ujian yang datang pada orang yang sedang membangun cinta. Jika kau berjodoh dengannya maka kau akan bisa melewati itu. Tapi jika tidak, sebaiknya memang dilepaskan saja, daripada terus sakit hati." Fatih jadi teringat sesuatu, tapi dia lupa apa itu. Tapi dia merasakan perih setelah mengatakannya, tapi perihnya kenapa? Kenapa dia merasa kalau ada sesuatu yang telah dia lupakan?
"Itu terdengar sangat merepotkan."
Ankhamun jadi membayangkan sesuatu.
"Memang, tapi kita juga tidak boleh skeptis dan menyamaratakan semuanya. Mungkin kau hanya butuh ujian agar bisa mencintai Estheria."
Ankhamun terkekeh, "Terimakasih, aku tidak butuh ujian lagi, pernikahan ini saja untukku adalah sebuah ujian. Aku tidak mau bertambah pusing. Ujian sepertinya lebih dibutuhkan olehmu, Al."
"Sialan, aku jadi takut. Semoga saja ujianku nanti tidak terlalu berat."
Ankha membalas, "Semoga saja lebih berat dariku. Hahaha."