(Dyvette POV)
Aku sungguh tidak pernah, sekalipun dalam hidupku bermimpi untuk makan malam dengan seorang Pangeran Mahkota.
Apalagi dengan Pangeran Mahkota setampan ini (>v<). Yah, Ankhamun juga tampan sih, tapi mengingat kalau dia lebih muda dariku entah kenapa aku tidak bisa membayangkan aku yang akan tunduk di bawahnya.
Pangeran Fatih terpana melihatku, tapi itu bukan sesuatu hal yang menjijikkan. Aku hanya bisa melihat kekaguman dan kelembutan di matanya. Tidak seperti kebanyakan lelaki yang biasanya memandangku dengan tatapan lapar.
Tapi status sosial kami terlalu jauh, aku tidak berani berharap lebih meskipun benar kalau aku menyukainya.
"Kamu adalah wanita tercantik yang pernah dilihat oleh mataku."
Ucapnya dengan lembut, dia meminta tanganku.
Rasanya dada ini mau meledak, aaaaah, aku ini kenapa? Disanjung oleh lelaki seperti Pangeran Fatih sungguh membuat jantung tidak sehat. Suaranya sangat meresahkan.
Pipiku rasanya panas sekali..
"Anda juga sangat tampan, Yang Mulia."
"Ah, soal itu.." Dia terdiam untuk sesaat. Setelah aku memberikan tanganku, dia menciumnya dengan sopan. Tatapan matanya sungguh membuat orang jadi hilang arah.
Wajahku sungguh terasa lebih panas dari sebelumnya.
"Panggil aku Al, Fatih, atau Farish, sesukamu saja. Jangan panggil aku dengan gelarku."
"Tapi anda adalah seorang putra mahkota, tidak sopan kalau aku memanggil anda hanya dengan nama."
"Aku yang perintahkan, mau menolak?"
Dia tersenyum, manis sekali (T~T)
"Baiklah, Fatih."
Pangeran Fatih sangat tampan, tingginya hampir sama dengan Ankhamun, tapi sepertinya lebih tinggi Ankhamun sedikit.
Sifat mereka benar-benar sangat berbeda. Ankhamun, meskipun dia selalu blak-blakan dan langsung mengutarakan apa yang dia pikirkan, tapi sikapnya dingin dan jarang senyum. Berbeda dengan Fatih yang hangat dan murah senyum, Fatih terlihat jauh lebih dewasa dan berpikiran luas.
🌺🌺🌺
Kami makan malam di restoran milik ibu. Semua menu di sana adalah makanan khas timur tengah, sepertinya sangat cocok untuk lidah Fatih jadi aku membawanya ke sana.
Kami masih saling diam sampai selesai memilih menu.
"Apa urusanmu sudah selesai?" tanyaku, aku baru ingat kalau Fatih bilang dia ada beberapa urusan di Kadesh.
"Sudah, besok aku akan kembali. Dan entah kapan aku bisa ke sini lagi."
Wajahnya terlihat seperti tidak rela, kenapa?
"Kamu seorang pangeran, pasti tugasmu banyak."
"Aku memimpin tentara laut dan sebuah organisasi amal. Tapi akhir-akhir ini baba sudah mulai memberi tugas yang lebih berat. Kalau tidak aku sekarang tidak mungkin ada di Kadesh."
Dia samasekali tidak terlihat seperti pangeran yang suka panas-panasan di laut, kulitnya lebih terang dari Ankhamun. Apakah itu bawaan genetik orangtuanya?
"Apa kamu sudah menikah?" sialan mulut ini, kenapa aku bertanya begitu...
Aku meliriknya dengan hati-hati
"Belum. Aku tidak akan tega kalau meninggalkan istriku untuk waktu yang lama, makanya belum menikah." dia tersenyum lagi, mataku terberkati~
"Setidaknya rasa lelahmu saat bertugas akan hilang begitu melihat istri dan anakmu di rumah."
"Kamu sendiri, kenapa belum menikah, Dyvette?"
~Krakk~
"Aku memiliki kesan yang buruk terhadap pernikahan."
Dia terlihat heran dengan jawabanku.
"Kesan yang buruk bagaimana?" tanyanya, baiklah, mari kita bahas.
Aku harus mengatakan semuanya dengan jelas tanpa menutupi apapun, kalau dia bersedia menerimaku bahkan setelah tahu tentang kehidupanku yang tidak sempurna, berarti dia adalah orang yang tepat.
"Aku adalah anak yang dibesarkan oleh orangtua tunggal. Ibuku membesarkanku seorang diri, bahkan sampai saat ini aku tidak tahu siapa ayahku. Belum lagi lelaki akan memiliki istri lebih dari satu, itu sudah hal biasa dalam budaya kita, dan aku samasekali tidak berminat."
Dia terlihat agak tercengang dengan jawabanku. Apakah dia akan tetap melihatku dengan cara yang sama setelah tahu kalau aku adalah anak haram?
Seorang pelayan laki-laki datang membawa pesanan kami, Fatih terlihat sudah tidak sabar menunggu pelayan itu meletakkan makanan-makanan di atas meja. Aku menahan geli melihat ekspresinya yang sedang kesal itu (>.<)
"Selamat menikmati Nyonya besar dan Tuan."
Pelayan itu mengenalku karena aku adalah anak bos mereka. Aku mengangguk dan melambaikan tangan menyuruhnya segera pergi.
"Tidak semua lelaki akan menikah lebih dari satu, Dyvette. Walaupun aku belum menikah, aku sudah bersumpah kalau aku tidak akan menikah lebih dari satu kali. Bahkan jika suatu saat nanti akan ada masanya baba memintaku untuk menikah lagi atas alasan politik, aku tidak akan melakukannya." jawabnya dengan wajah serius.
"Jangan sama ratakan kalau semua pernikahan itu buruk, buktinya banyak juga pasangan yang bahagia dengan pernikahan mereka. Semua itu tergantung yang menjalankan. Bahagia itu kita yang menentukan dan itu adalah sebuah pilihan. Kita bisa memilih untuk berkomitmen atau melanggarnya karena merasa kurang, itu semua ada di tangan kita sendiri." lanjutnya.
"Mungkin saja. Tapi sangat jarang ada yang berpikiran seperti itu, kan." dia diam, wajahnya seolah mengatakan jika masih banyak yang perlu diluruskan di sini.
Tapi kemudian dia berubah santai. Fatih mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
"Aku memang tidak bisa merubah pandangan seseorang, apalagi orang yang sudah memiliki pemikiran seperti itu dalam waktu yang lama."
Aku mengangguk.
"Aku juga tidak akan memintamu untuk mengubah pandanganku."
Lalu aku dan Fatih canggung lagi, kami memakan makan malam kami dalam keheningan. Aku sesekali meliriknya, Fatih juga sepertinya sama sepertiku, merasa penasaran namun canggung untuk membicarakannya.
"Aku juga sebenarnya pernah memiliki kesan yang buruk terhadap pernikahan. Pengasuhku, ibu Ana menceritakan banyak hal tentang masa lalu pernikahan ayahku. Tapi aku akan menganggap kalau itu adalah 'pelajaran' yang akan setiap orang lewati dalam kehidupannya. Aku tidak memiliki hak untuk menilai, karna aku percaya. Takdir setiap manusia itu berbeda, tidak ada yang sama dan tidak ada yang sempurna."
Aku melihat sedikit kesedihan di matanya, apa yang sudah pengasuhnya ceritakan? Bukankah itu termasuk melanggar privasi?
"Begitupun dengan hati dan pemikiran setiap orang, mereka tidak akan pernah sama."
Kami sama-sama setuju untuk yang satu ini.
"Tapi tidak ada salahnya juga untuk melangkah maju, bagaimana kita bisa menilai saat kita bahkan belum pernah mencobanya? Mungkin jalannya tidak akan selalu mulus, tapi setidaknya kita akan sampai pada tujuan."
"Dan tujuan menikahnya apa, itu juga perlu dipikirkan."
Fatih sepertinya setuju denganku, kemudian dia bertanya, "Bagaimana denganmu? Apa kamu tidak memiliki tujuan apapun?"
"Aku belum menemukan alasan apapun yang membuatku harus menikah."
Dia tersenyum, lalu menunduk dan menggerak-gerakkan sendok, "Aku juga belum memiliki alasan, bahkan sampai kemarin aku masih belum memiliki alasan."
Maksudnya dia hari ini sudah memilikinya, begitu?
Fatih terdiam, dia diam dalam waktu yang cukup lama.
Melihatnya hanya diam aku jadi haus, ini sungguh pembicaraan yang berat. Tapi aku senang karena akhirnya ada orang yang cocok dengan pemikiranku dan membahasnya bersama.
"Tapi jika itu denganmu, aku bersedia untuk membangun sebuah keluarga."
Aku tersedak, sial, ini sakit. Lucas, aku benar-benar menyesal sudah membuatmu sering tersedak.
Fatih terlihat cemas dan langsung menghampiriku, dia memberikan segelas air putih. Untunglah dia adalah lelaki yang sopan, Fatih tidak menepuk atau mengusap punggungku. Walaupun kelihatannya dia ingin..
"Hati-hati, maaf. Aku mengejutkanmu ya?"
(....)
"Tidak, tidak apa-apa." oh Tuhan, dia begitu peka dan pengertian.
Kalau Ankhamun yang ada di sini sekarang lelaki itu mungkin akan langsung mengusap punggungku.
"Bukankah terlalu cepat bagi kita untuk membicarakan soal membangun keluarga."
Fatih sudah kembali duduk di kursinya. Dia memandangku, masih dengan wajah cemasnya.
"Aku juga sebenarnya tidak ingin terburu-buru. Tapi, bukankah usia kita sudah sama-sama dewasa, apa ada yang perlu ditunggu lagi?"
"Jangan jadikan usia sebagai alasan menikah. Kesiapan seseorang itu tidak bisa diukur dari usianya."
"Apakah karena aku adalah anak Sultan?"
"Ya, kamu pikir akan semudah itu? Bukankah status sosial kita terlalu jauh menurutmu?"
"Aku tidak terlalu peduli dengan status sosial."
"TAPI Sultanmu akan peduli."
Dia menunduk, apakah ucapanku melukai hatinya?
"Aku akan membicarakan ini dengan baba nanti. Kalau aku bisa meyakinkan baba, apakah kamu mau mempertimbangkan untuk menjadi istriku?"
Wajah tulusnya, nada lembutnya, sikap sopan dan santunnya.... Apakah dia tidak bisa lebih sempurna lagi? Ya Tuhan... Aku harus bagaimana?
Aku memang sempat berasumsi kalau dia akan melamarku, tapi aku juga tidak terlalu berharap begitu karena akan sangat tidak tahu malu kalau aku menyangka seorang pangeran agung seperti dia menyukaiku.
Memangnya siapa aku? Bukankah aku adalah anak haram yang tidak memiliki ayah? Apakah pantas untukku bersanding dengannya?
"Perhatianku sudah teralihkan sejak kehadiranmu dalam hidupku. Sejak pertama kali kamu menginjakkan kaki di pertunjukan itu, keadaan hatiku sudah berubah."
Wajahku panas sekali... Kenapa dia bilang begitu sih.....
"Rasanya ingin langsung memasukkanmu ke dalam karung agar tidak ada yang bisa melihatmu selain aku sendiri benar-benar terlintas dalam pikiranku. Aneh ya?"
Panas.. Panas.. Panas...
"Hemm... Tidak tahu." Aku mengalihkan padangan ke arah lain, tidak bisa, aku tidak bisa memperhatikan wajahnya lebih lama lagi.
"Dyvette, aku bersungguh-sungguh. Jika menikah terlalu cepat, bagaimana kalau pacaran dulu?"
Wahai jantungku, tolong tenangkan dirimu.
Apasih dia ini, pacaran dulu? Apakah aku bisa melakukannya? Membangun sebuah hubungan itu terdengar lebih rumit dari menikah.
"Aku akan mempertimbangkannya." jawabku seadanya. Dia terlihat puas dengan jawabanku.
"Terimakasih Dyvette. Terimakasih."
(Dyvette POV end)
🌺🌺🌺
Selesai makan, mereka pergi sebentar ke pasar malam, Dyvette yang ingin kesana. Mereka menghabiskan waktu terakhir dengan bermain permainan-permainan yang berhadiah boneka dan berbagai macam souvenir khas Salem.
Pengawal Fatih menjaga dari kejauhan, Dyvette tidak ingin terlalu menjadi pusat perhatian meskipun pada akhirnya mereka tetap menjadi pusat perhatian juga.
Mereka terlihat sangat serasi, cantik dan tampan, yang satu anak konglomerat, yang satunya lagi pangeran mahkota. Walaupun tentu saja tidak akan yang akan tahu kalau Fatih adalah seorang Putra Mahkota. Ini juga adalah pertama kalinya Fatih datang ke Salem.
Dyvette tertawa ceria tapi tidak dengan Fatih, lelaki itu butuh beberapa waktu untuk mengimbangi Dyvette, tapi tidak lama dia langsung bisa membaur dengannya. Melewati malam seperti rakyat biasa, di tempat yang ramai dan tentunya tidak sebaik standar tempat bermain yang sering Fatih kunjungi saat kecil.
Yah, awalnya Fatih hanya berniat untuk mengobrol saja sampai malam, seperti pasangan-pasangan romantis begitu. Tapi Dyvette sepertinya tidak terlalu suka dengan melodrama seperti itu.
"Yahh~ gak kena." Keluh Dyvette saat lemparan bolanya tidak masuk.
Fatih mengambil satu bola dan menatapnya dengan tampang mengejek.
"Lihat aku." dia mengacungkan bolanya pada Dyvette sebelum melemparnya ke depan.
Dyvette balas menatapnya dengan tampang meragukan.
Dan wusshhh...
Bolanya juga tidak masuk.
Dyvette menertawakannya dengan renyah.
Fatih berkali-kali mencobanya kembali, namun satupun tidak ada yang masuk. Pemilik kios itu sampai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Pak, aku akan membeli semua hadiah yang ada di sini. Berapa semuanya?"
Dyvette memukul lengan Fatih agak keras, Lelaki itu meringis.
"Kamu harus mendapatkannya, bukan membelinya!" bisiknya pelan.
"Ehem... Kak, kalian sudah bermain terlalu lama. Sekarang giliranku."
Seorang bocah perempuan sekitar umur 6 tahun yang berdiri di belakang mereka berbicara. Anak itu memakai dress warna pink, kulitnya putih dan gemuk. Rambutnya coklat lebat dikepang dua. Matanya bulat dengan hidung dan bibir merah muda yang mungil. Dia terlihat seperti boneka hidup.
Awww... Kamu imut sekalii~
Dyvette menatapnya dengan pandangan gemas.
"Tidak. Kami belum selesai." balas Fatih dengan wajah yang masih belum puas, Dyvette menatapnya dengan tampang mengancam.
"Sini nak, ayo siapa yang bisa masukkan bola lebih banyak, nanti kakak kasih hadiah." ajak Dyvette.
"Hei, kamu ingin aku bertarung dengan anak kecil?" Fatih merasa dirugikan, harga dirinya agak tersentil.
"Memangnya kenapa, ada masalah? Ayo mulai."
Anak kecil itu mengangguk senang.
"Hadiahnya apa?" tanya Fatih sambil mengelus-ngelus bola yang sedang dia pegang. Dyvette tersenyum penuh maksud.
"Rahasia."
Dan akhirnya mereka melakukannya. Dengan semangat perjuangan.
Fatih : (Wushhh...)
Wushhhh... Kringgg... Bola yang dilempar anak itu masuk.
"Yeayy.." teriaknya senang.
Wushh wushh wushh...
Kring kring kring....
Lagi-lagi lemparan anak itu masuk sedangkan Fatih sudah hampir frustrasi karena satupun bolanya tidak ada yang masuk.
Entah Fatih melakukannya dengan sengaja karena ingin membuat Dyvette tertawa, atau dia memang sangat payah.
"Hahahaha." Dyvette memegangi perutnya yang sudah sakit karena terus tertawa sejak tadi.
Fatih tersenyum tipis melihatnya, sepertinya, begini memang lebih baik. Dia jadi bisa melihat Dyvette yang lebih hidup, tertawa tanpa beban, seperti manusia pada umumnya. Jika mereka hanya mengobrol di sana tadi, mungkin suasananya tidak akan seperti ini.
"Kakak, hadiahku apa?" tanya anak itu dengan suara imutnya. Dia sudah mendapatkan hadiahnya, sebuah boneka berbentuk paus kecil dan gajah.
Dyvette : "Namamu siapa nak?"
"Namaku Yori."
Yve mengusap pipi gemuk anak itu.
Lalu ia menunduk untuk mengambil gelang kakinya, itu adalah gelang rantai yang dipenuhi oleh batu ruby dan terdapat dua lonceng kecil pada ujungnya. Kemudian ia memasangkan gelang itu di tangan Yori.
"Wow... Ini apa kak? Cantik sekali." Yori berbinar mengamati gelang di tangannya.
"Mulai sekarang kalau kamu lihat gelang ini, ingat aku ya?" Yori mengangguk dan memeluk Dyvette.
"Terimakasih kakak cantik!" balasnya dengan riang.
"Nama kakak cantik siapa?"
Yori menjulurkan lidahnya pada Fatih yang masih berdiri di belakang Dyvette. Fatih agak melotot melihatnya.
Sialan anak ini mengejekku.
"Aku Dyvette."
"Baiklah, kakak Dyvette. Sampai jumpa lagi. Dadahh." setelah melepaskan pelukannya, Yori melambaikan tangan dan pergi dari sana.
"Yori menggemaskan ya." celetuk Dyvette yang sedang menatap kepergian Yori.
Fatih masih sedikit kesal, "Menurutku dia menyebalkan."
"Ah ayolahh~... Itu hanya sebuah permainan. Aku yakin masih banyak hal yang kamu bisa melakukannya dengan baik."
Fatih menyeringai.
"Ya... Memang banyak."
Setelah selesai membayar, mereka pergi ke tempat lain untuk mencoba permainan lagi.
Begitulah malam itu berakhir..
Dyvette pulang jam setengah dua belas malam, sebelum berpisah, Fatih mencium punggung tangan Dyvette sekali lagi.
🌺🌺🌺
Fatih berniat akan membicarakan tentang perasaannya pada Dyvette segera setelah sampai di istana Zabbana.
Entah apapun tanggapan babanya tentang perbedaan status sosial mereka, Fatih akan terus berusaha meminta izin pada babanya untuk menikahi Dyvette.
Dia terus tersenyum membayangkan wajah Dyvette yang sedang tersipu, tersenyum, dan tertawa. Dia sampai tidak menyadari kalau Ankhamun sedang berdiri memperhatikannya di ujung tangga.
"Kencan berjalan lancar?" tanya Ankhamun setelah Fatih sampai di tengah tangga, karena dia terus saja tersenyum semenjak kedatangannya di istana.
"Kau belum tidur?"Â
"Belum, aku sedang memikirkan sesuatu."
Fatih terus menaiki tangga lalu merangkul pundak Ankhamun dan membawanya berjalan bersama. "Ayo kita bicarakan sambil berendam."
Ankha mengernyit heran. Ini pertama kalinya dia melihat Fatih seceria ini. "Sebenarnya siapa gadis itu?"
Fatih berwajah kasmaran.
"Gadis penari itu, kau ingat?"
Pe-penari? Jangan bilang kalau itu... Ankhamun terbata dalam batinnya.
"Penari?" Ankhamun melepaskan rangkulan tangan Fatih dengan pelan.
"Dyvette Mebraah, yang dari Salem itu."