Chereads / Cintai Aku Dengan Keras / Chapter 10 - Chapter 10 : Setelah Pesta

Chapter 10 - Chapter 10 : Setelah Pesta

Istana Kadesh, jam sebelas malam.

"Wow... Aku tidak menyangka kamu akan membawakan tarian itu malam ini. Itu luar biasa indah sekaligus luar biasa kurang ajar karena kamu membawakan lagu kematian pada acara pernikahan seorang putera mahkota." 

Alma geleng-geleng kepala pada sahabatnya yang sedang duduk melamun. Mereka masih di istana, Dyvette belum berniat pulang.

"Bukankah pernikahan itu memang seperti pemakaman? Kamu mengubur semua kebebasanmu dan terikat pada manusia yang berstatus pasangan sah di mata Tuhan."

Alma tercengang, "Kamu menilai pernikahan seperti itu? Pantas saja kamu belum mau menikah sampai sekarang."

"Tidak semua orang seberuntung dirimu, Al. Kamu bahagia dengan pernikahanmu karena Yohan adalah satu dari seribu."

"Kamu juga akan mendapatkannya, Yve. Aku selalu berdo'a agar kamu juga mendapatkan suami yang luar biasa mencintaimu. Kamu boleh bilang aku terlalu drama atau apalah, tapi aku benar-benar selalu mendo'akan kebahagiaanmu. Aku ingin kamu mendapatkan pernikahan yang bahagia."  Alma tersenyum, Dyvette berkaca-kaca mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Aaaa~... Alma, kamu memang yang terbaik~.." Dyvette memeluk Alma, wanita hamil itu terkekeh sambil mengusap-usap rambutnya.

"Selamat malam, nona-nona."

Alma menghadap ke dalam jadi dia tahu siapa yang menyapa mereka, sedangkan Dyvette mengarah ke luar.

Dyvette melepaskan pelukannya dan menoleh ke asal suara. Itu Tahtah

"Maaf sudah menganggu waktu kalian berdua. Ini perintah dari Yang Mulia Pangeran Mahkota, Nona Dyvette diminta untuk menghadap beliau."

Alma dan Dyvette saling pandang

Dyvette : "Pangeran? Pangeran siapa?"

"Yang Mulia Ankhamun Mena, beliau sudah menunggu anda, Nona. Mari, saya akan membawa anda ke sana."

Dyvette melirik pada Alma, wanita itu menggelengkan kepala țanda tidak tahu menahu, lalu memberi isyarat agar dia nurut saja untuk ikut dengan Tahtah.

"Baiklah. Alma, aku pergi dulu ya."

Alma mengangguk, dia tersenyum. Dalam hati dia penasaran, untuk apa Ankhamun memanggil Dyvette?

Tahtah membawanya ke lantai tiga, di sana Ankhamun sudah menunggu di teras sebuah ruangan. Ini adalah malam bulan penuh, Dyvette agak berdebar melihat Ankhamun di bawah sinar bulan, lelaki itu sedang membelakanginya.

"Yang Mulia, Nona Dyvette sudah tiba." Tahtah memberi hormat, lalu pergi meninggalkan mereka berdua dan menutup pintu.

Dyvette memandangi pintu yang sudah tertutup itu lumayan lama, dia jadi semakin berdebar saja.

Dengan tekad yang bulat, Dyvette memberanikan diri menghampiri Ankhamun yang sedang berdiri dekat pagar. Pemandangan dari sana adalah air terjun kecil dan kolam yang airnya begitu jernih.

"Yang Mulia, ada perlu apa memanggilku?"

Ankhamun masih diam. Dyvette menunggu dengan gugup, dia pernah menyinggung pria ini empat tahun yang lalu, dia bukan memanggilnya untuk balas dendam dan berbuat jahat, kan?

Setelah beberapa saat, Ankhamun berbalik.

Dyvette merasa jika jantungnya akan melompat keluar.

"Kupikir kamu akan menolak ajakan Tahtah."

Dyvette membisu.

Ankhamun tersenyum, "Sudah lama sekali, bagaimana kabarmu, Nona Dyvette?"

Dyvette memaksakan senyumnya, dia sudah berjanji untuk tidak akan membuat masalah lagi. "Aku masih sehat dan hidup, yang Mulia. Terimakasih sudah bertanya."

Ngomong-ngomong, Dyvette sudah berganti pakaian dan sekarang dia memakai gaun pesta yang tidak terlalu ribet.

"Mungkin sudah terlambat untuk mengatakan ini, aku turut berduka atas kematian ibumu. Semoga beliau mendapatkan tempat yang baik di sisi Tuhan." Ankhamun berjalan mendekat.

Dyvette menundukkan kepalanya, matanya sudah panas akan menangis. Dia kembali mengingat rasa kehilangan itu.

"Terimakasih, yang Mulia. Anda sama sekali tidak terlambat, aku sangat menghargainya, terimakasih."

Ankhamun menyentuh wajah Dyvette, gadis itu tersentak kaget, lalu dia mengangkat wajahnya.

"Kamu masih menangisinya." mata mereka saling berpandangan.

"Aku hanya terharu karena ucapan anda, yang Mulia."

"Maaf kalau begitu, aku tidak bermaksud untuk membuatmu kembali mengingat rasa kehilangan ibumu."

Dyvette menggeleng dengan cepat.

"Tidak, sungguh. Anda tidak perlu minta maaf. Aku memang agak cengeng akhir-akhir ini."

Ankhamun melepaskan tangannya dari wajah Dyvette.

"Jangan terlalu lama menangisinya, nanti dia tidak tenang."

Dyvette tidak bisa berkata-kata, hening untuk  beberapa saat setelah Ankhamun mengatakan itu.

"Ngomong-ngomong, selamat atas pernikahan anda yang Mulia. Semoga kalian bahagia dan segera memiliki keturunan."

Ankhamun menatapnya dengan tatapan itu lagi, Dyvette merasakan hal aneh setiap kali dia dipandangi seperti itu.

"Terimakasih. Tapi aku akan lebih senang jika saja pengantinnya adalah kamu, mungkin saat ini kita sudah mulai membuat keturunan."

(Blushh) ... Wajah Dyvette memerah. Dia benar-benar malu sekaligus ingin sekali bicara pedas menjawab kata-kata penuh maksud itu.

"Hahaha... Pangeran becandanya lucu." Dyvette tertawa dengan garing

"Aku tidak bergurau, Nona Dyvette. Meskipun kamu lebih tua dua tahun dariku, tapi aku benar-benar serius dengan ucapanku. Dari empat tahun yang lalu hingga sekarang, aku tidak pernah menganggapnya sebagai suatu candaan." Wajahnya begitu serius, Dyvette menelan saliva karena gugup.

"Yang Mulia.."

"Sekarang aku harus bagaimana? Aku benar-benar tidak ingin membuat keturunan dengannya."

Lihatlah wajah merengut itu, apakah Ankhamun sedang menjual keimutannya pada Dyvette?

Apakah Dyvette akan tergerak?

Tidak.

Dyvette menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Yang Mulia, Nona Estheria begitu cantik dan berbakat, dia benar-benar serasi bersanding denganmu. Mengapa anda tidak ingin?"

"Karena itu bukan kamu."

"Aku bukan siapa-siapa, tidak akan ada yang mendukung keinginanmu karena aku hanya rakyat biasa."

Ankhamun menghela nafas, sebelum menjawab : "Kamu bukan rakyat biasa. Aku sudah tahu semua tentangmu, termasuk asal usul keluargamu. Dalam pandanganmu apakah aku adalah tipe pria yang dengan sembarangan jatuh cinta pada wanita? Aku tidak akan sampai seperti ini jika aku tidak tahu siapa dirimu, Dyvette Aliya Mebraah."

Dyvette menatapnya dengan wajah terkejut.

"Anda... Anda bilang apa?"

"Aku tahu semua tentangmu, jadi, Dyvette, apakah kamu masih menganggap perasaanku ini sebagai sebuah candaan?"

Dyvette menggeleng

"Bagaimana anda bisa tahu, Yang Mulia?"

Ankha tersenyum, menjawab lembut, "Jadilah wanitaku, aku akan memberikan segalanya untukmu. Cinta, harta, dan perlindungan. Aku bersedia menjadi pelayanmu asalkan kamu bersedia bersamaku."

Ankhamun menggenggam kedua tangan Dyvette. Gadis itu menatapnya dengan wajah cemas.

"Ankhamun, hidupku sudah terlalu rumit, tolong jangan menambah benang lain lagi pada benang kusutku."

"Aku akan membuang benang kusut itu, Dyvette. Hanya aku yang bisa melindungimu, aku sudah datang sejauh ini, apakah kamu masih ragu?"

Dyvette diam, dia terlihat berpikir.

"Kalau begitu, anda juga tahu siapa ayahku?" mengabaikan pertanyaan Ankha, Dyvette ingin tahu sejauh apa dia tahu tentangnya.

Ankhamun mengangguk sekali. "Ayahmu adalah seorang Sultan, hanya itu yang bisa aku katakan untuk saat ini."

Tiba-tiba kakinya terasa lemas, kepalanya terasa berat, namun Yve berusaha tetap kuat.

Dia bahkan tidak tahu siapa ayahnya, tapi Ankhamun yang merupakan orang asing bahkan tahu siapa ayahnya?

Ibu, berapa banyak lagi rahasia yang kau sembunyikan dariku?

Tunggu, jika ayahku seorang sultan, apakah itu adalah Kaisar Jamal? Bukankah suami Ibu Zephyr adalah Kaisar Jamal? Kalau begitu Ankhamun bisa dibilang adalah adikku?

"Mengapa hanya anda yang bisa melindungiku?" Dyvette sudah menangis, dia tidak bisa menahan air mata sialan itu.

"Karena aku adalah calon Kaisar, kamu akan aman bersamaku."

"Anda barusaja menikah, bagaimana bisa anda dengan sangat mudah memintaku untuk menjadi wanita anda? Anda ingin aku menjadi selir?"

Ankhamun sedikit meninggikan suaranya, "Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini! Apakah kamu masih tidak mengerti juga?!"

Apa haknya untuk memprotes padaku? Memangnya dia menikah dengan Estheria gara-gara aku?

"Ya! Aku tidak mengerti dan juga tidak ingin mengerti! Kalian para pria tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya tubuh pasanganmu dibagi dengan orang lain, menyentuh orang lain, anda sudah menikah jadi belajarlah untuk menerimanya! Karena Estheria akan- Hmmphh."

Ankhamun menciumnya dengan tiba-tiba..

PLAK!

Dyvette menampar pipi Ankha dengan keras. Setelah tersadar dengan perbuatannya, Ankhamun melepaskan tangannya dari Dyvette.

"Bajingan, itu adalah ciuman pertamaku!"

Dyvette memukul-mukul dada Ankhamun dengan wajah merah padam. Ankhamun berusaha menggenggam tangannya agar dia berhenti memukulinya, tidak sakit sih, hanya berisik saja.

"Aku merasa sangat terhormat kalau begitu, Dyvette dengar-"

"Pergi ke neraka sana! Lepaskan!"

Dyvette menatapnya tajam. Ankhamun sudah berhasil mengunci kedua tangannya.

"Dyvette. Aku benar-benar tidak ingin dengannya, tinggallah bersamaku malam ini, ya?" Ankhamun memeluknya, Yve masih memberontak ingin lepas.

Tapi pada akhirnya dia pasrah menerima pelukan itu. Entah mengapa dia merasa kasihan, dia bisa mengerti rasa frustrasi Ankhamun.

Bagaimana rasanya dipaksa menikah dengan orang yang sama sekali tidak kau sukai?

Mereka hening dalam pelukan itu, sama-sama meresapi rasa aneh yang sulit untuk dijelaskan. Mereka berdua sama-sama bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah drastis ini. Jelas sekali mereka hanya pernah bertemu 3x, di festival, di rumah, dan di butik permata.

Tapi kenapa rasanya mereka sudah kenal lama pada malam ini? Darimana rasa tidak asing ini datang?

"Ankhamun. Kau harus bersama Estheria malam ini, dia pasti sedang mencarimu sekarang." Dyvette memecah keheningan. Dia sudah tidak memanggilnya dengan sebutan Anda karena dia sudah malas untuk bersikap terlalu sopan.

"Aku tidak peduli."

"Kau harus peduli."

"Aku tidak mau."

"Lepaskan dulu, aku tidak akan kabur. Sungguh."

Ankha melepaskan pelukannya setelah berpikir cukup lama.

"Aku tidak akan menikah, Ankhamun. Kalau aku berniat, mungkin aku sudah menikah sejak lama. Aku benar-benar tidak memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga. Apalagi dengan orang sepertimu, kita tidak cocok."

"Orang sepertiku?"

"Kau tidak akan memiliki satu istri, kan?"

"Kalau kamu yang menikah denganku, tentu saja aku hanya akan memilikimu."

"Aku benar-benar tidak ingin menikah."

"Kamu belum pernah mencobanya sih, jadi bilang begitu."

"Mencoba apa?"

"Menikah denganku."

"Itu tidak lucu."

"Aku sedang serius"

"Aku juga serius."

"Tidak peduli, pokoknya malam ini aku mau denganmu."

"Dasar gila!"

"Hanya kamu satu-satunya orang yang berani mengatakan aku gila dan masih hidup sampai sekarang."

"Ankhamun--

Tok tok tok...

"Pangeran Farish." suara Tahtah terdengar.

"Sial.." umpat Ankhamun pelan.

"Biarkan dia masuk."

Pintu terbuka, Fatih menatap mereka berdua dengan wajah penuh rasa curiga. Ankha duduk bersebrangan dengan Dyvette, teras itu luas dan terdapat tempat untuk santai.

Ankha bertanya, "Ada apa, Fatih?"

Fatih tidak menjawab, dia malah mendekat pada Dyvette setelah melihat gadis itu tersenyum padanya.

"Perkenalkan, aku Fatih dari Zabbana."

Dyvette membalas uluran tangannya, "Dyvette, dari Salem."

"Salem? Kau dari ibukota rupanya."

Dyvette mengangguk.

"Kalian sedang apa berduaan di sini? Ankhamun, Paman Jamal mencarimu sejak tadi." lanjutnya.

Ankamun dan Dyvette saling pandang.

"Kami hanya mengobrol. Untuk apa ayah mencariku?"

"Dasar anak kurang ajar! Pengantin wanitamu ditinggal sendirian dan kau malah berduaan dengan seorang penari di sini, kalau aku tidak datang kalian bisa-bisa-.

Dyvette segera menyela, "Kami tidak melakukan hal-hal aneh, Tuan. Pangeran Ankhamun mencariku lewat Tahtah, aku hanya datang ke sini sesuai perintahnya." dia tidak ingin orang ini berpikiran macam-macam tentangnya. Jangan sampai dirinya dikira penari yang menjual tubuh!

Ankhamun membenarkan, "Dyvette benar. Aku hanya ingin berkenalan, aku akan memberinya hadiah atas penampilannya."

Wajah Fatih berubah lebih santai. Entah kenapa juga dia merasa kesal setelah tahu mereka berduaan di sini.

Sepertinya masih wajar, Fatih juga tadi sempat berpikir akan menyuruh orang untuk mencari Dyvette dan meminta gadis itu menemuinya, rupanya Ankhamun lebih dulu melakukannya.

"Baiklah. Kau bisa pergi, jangan sampai paman Jamal tahu kalau kau berduaan di sini dengan wanita lain, kau barusaja menikah, itu tidak pantas."

Ankha memandang Dyvette, Dyvette mengangguk tanda tidak keberatan.

Ankhamun dengan berat hati meninggalkan mereka berdua.

"Boleh aku bertanya, nona?" dia bertanya dengan sopan.

"Silakan."

"Berapa usiamu, Nona Dyvette?" Fatih duduk lebih santai, dia memperhatikan Dyvette tanpa berkedip.

"Dua puluh empat tahun, Tuan."

"Kau sudah menikah?"

"Aku tidak menikah."

Fatih jadi lebih intents memperhatikannya. Sangat aneh ada wanita berumur dua puluh empat tahun dan belum menikah, walaupun dia seorang penari juga seharusnya sudah memiliki keluarga, kan? Meskipun Dyvette memang terlihat masih muda, tapi usianya sudah dewasa.

"Kenapa tidak menikah?"

Dyvette tersenyum tipis, "Tidak ingin saja."

Fatih terdiam sejenak, sebelum bertanya, "Apa aku boleh menghubungimu lagi di masa mendatang?"

Dyvette sejak tadi sudah terpesona oleh ketampanan Fatih, dia juga menyadari kalau mata mereka mirip, warnanya juga hampir sama.

Dyvette : Apakah dia jodohku?

"Tentu saja. Apakah anda akan tinggal lama di Kadesh?"

"Hanya sampai besok siang, boleh aku minta alamatmu kalau begitu?"

Inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Fatih merasa sudah cocok dan ingin memilikinya. Dyvette benar-benar kriteria idamannya, tapi dia tidak akan terburu-buru, dia akan mencari tahu tentangnya dulu setelah ini. Darimana asal usul dan keluarganya.

"Aku tinggal di Salem Barat, anda bisa menanyakan di mana Mansion Mebraah jika sudah sampai di jalan mawar 19."

Mansion? Dia orang kaya?

"Terimakasih, Aku akan mengingatnya."

"Tidak masalah." Dyvette merasa gerogi terus dipandangi olehnya, suasana menjadi canggung.

Fatih : "Kamu sudah makan malam belum?"

Tok tok tok..

"Pangeran Farish, Yang Mulia Sultan Assad mencari anda." Suara Tahtah di balik pintu.

Fatih jadi curiga jika itu adalah perbuatan Ankha yang tidak rela mereka berduaan saja.

Dyvette membeku, "Anda... seorang pangeran?"

Fatih tersenyum.

Dyvette tidak menyangka kalau lelaki yang sedang berada di hadapannya ini adalah seorang pangeran, pantas saja auranya berbeda! Tadi Yve tidak terlalu fokus saat Tahtah menyebut namanya karena dia terlalu panik.

"Aku Pangeran Fatih, putra Sultan Assad. Yah, jadi ketahuan deh." awas saja Tahtah, dia akan menghukum tangan kanan Ankha itu nanti.

"Maaf, aku tidak tahu." Dyvette berdiri dan akan memberi hormat tapi Fatih buru-buru mencegahnya

"Tidak perlu, Nona. Aku bukan pangeran yang seperti itu."

Dyvette membisu menatapnya.

"Sepertinya sampai di sini saja pertemuan kita, tidak baik juga kalau terus berduaan, nanti namamu tercemar. Aku pergi dulu, sampai bertemu lagi jika berjodoh."

Dyvette tersenyum, "Sampai jumpa lagi kalau begitu." Lalu Fatih meninggalkannya di sana.

Dyvette masih tersenyum, sepertinya malam ini adalah awal perubahan yang baik untuk hidupnya.

"Ankhamun, selamat bermalam pengantin." Setelah mengatakan itu Dyvette melangkah keluar.

Dia bertemu Lucas di aula dansa, pria itu sedang berdiri di dekat tumpukan gelas wine.

"Aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi, kamu dari mana nona?" tanya Lucas cemas setelah Dyvette menghampirinya.

"Ngobrol dengan Alma. Ayo pulang, aku ngantuk." ia tersenyum lepas, Lucas menatapnya tanpa berkedip.

Di sepanjang jalan, Dyvette terus terbayang-bayang dua pangeran itu. Dia terus saja tersenyum dan menyentuh bibirnya yang sudah tidak perawan lagi. Aroma Ankhamun terus menghantui kewarasannya, ternyata Ankhamun memiliki sisi lembut dan manja juga, Dyvette terus membayangkan kejadian tadi.

"Lucas, aku ingin tahu semua informasi tentang pangeran Fatih secepatnya."

"Pangeran kerajaan sebelah?"

"Iya."

Setelah sampai di depan kamar penginapan, Dyvette memberikan sebuah gelang platinum bertuliskan Ankhamun&Estheria.

"Untukmu saja. Selamat malam Lucas." Dyvette masuk dan menutup pintu.

"Selamat malam." Lucas memperhatikan gelang itu, lalu menggenggamnya dengan erat.

Lucas akan pergi mencari informasi tentang Fatih malam ini, sekalian datang ke suatu tempat. Pelatihnya mengundang dia untuk berkumpul.

Mereka bermalam di Kadesh karena Dyvette ingin cepat-cepat istirahat.

🌺🌺🌺

Sementara itu, di istana Kadesh.

Di kamar pengantin, Estheria sedang menunggu Ankhamun. Suaminya itu entah kemana, padahal dia mengajak Ankhamun untuk pergi lebih awal dari pesta karna ingin berduaan dengannya, tapi Ankhamun malah pergi lagi dan bilang ada sedikit urusan.

Fatih sedang berkumpul dengan keluarganya, mereka bercanda sampai tengah malam. Assad dan Jamal bermain catur, sedangkan istri-istri mereka mengobrol ria dengan anak-anak.

Ahmanet : "Apakah Ankha sudah ketemu?"

Fatih : "Sudah, mungkin sedang bersama istrinya sekarang."

Salimah : "Anak itu terlihat sangat tertekan, mari berdoa semoga setelah malam pengantin, rasa cinta yang besar tumbuh pada hati mereka." Ahmanet dan Fatih mengamini.

Zephyr : "Cinta datang karena terbiasa."

Ellea juga sedang bermain permainan papan dengan Haya. Dan Zephyr menjadi wasit mereka berdua karena sejak tadi Haya selalu usil mencurangi adiknya.

💋💋💋

Di tengah malam, Ankhamun berniat untuk langsung tidur dengan alasan sedang lelah.

Tapi Estheria yang begitu mencintainya memulai duluan, Ankhamun bersusah payah menahan sisi liarnya karena dia masih terbayang-bayang Dyvette.

Pada akhirnya, mereka melakukannya. Dan percayalah, Ankhamun adalah seorang predator dalam aspek itu.

Estheria berubah dari rubah yang pintar menggoda menjadi seekor kelinci kecil di tangan Ankhamun..

"Pangeran, aku sudah tidak sanggup."

"Kau yang meminta ini."

Ankhamun menyeringai seperti iblis..