Satu minggu sudah berlalu sejak lamarannya ditolak oleh si putri Salem..
Ankhamun juga tidak tahu mengapa ia murung berkepanjangan begini, seperti pemuda yang patah hati..
Dia sudah kembali ke Kadesh lima hari yang lalu dan terus menghindari ayahnya sebisa mungkin setelah sampai di istana. Ayahnya pasti akan melemparkan banyak pertanyaan jika melihatnya seperti ini.
Ayahnya sudah seperti dukun, terlalu peka.
Dan Ankhamun tidak pandai mengatur ekspresi wajah, jika dia kesal, dia akan terlihat kesal, jika dia murung, dia akan terlihat murung, jika dia terpana, dia akan terlihat terpana. Dia masih belum terlalu dewasa sampai ke tahap pandai mengatur isi hatinya, dia masih terlalu jujur..
Ankhamun sedang memberi makan ikan dengan gontai, dia duduk di sebuah gazebo di taman, di bawah gazebo itu terdapat kolam ikan yang cukup besar.
Tahtah dengan wajah tanpa ekspresi terus berada di dekatnya sejak tadi..
Pangeran lama-lama bisa gila kalau terus seperti ini. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya juga, ini pertama kalinya dia menyatakan cinta, dan ditolak dengan cara yang tidak ramah.
Suara deheman Tahtah berhasil membuat pangeran Kadesh itu menghentikan kegiatan melempar makanan ikannya dan menoleh dengan malas..
"Pangeran, yang Mulia Permaisuri Zephyr dan Ibu suri Ahmanet datang."
Dua orang wanita sedang berjalan beriringan dengan senyuman hangat yang menghiasi wajah mereka. Meskipun mereka sudah tidak bisa dibilang muda lagi, tetapi kecantikan mereka sungguh tidak pernah memudar.
Awalnya Ankhamun sering bertanya-tanya, mengapa ayahnya bisa memiliki dua istri, dan tidak hanya bersama ibunya saja. Tapi ayahnya selalu menjawab kalau suatu hari nanti Ankhamun akan mengerti dengan sendiri tanpa perlu dijelaskan..
Sial, sampai detik ini dia belum mengerti...
"Selamat siang, Yang Mulia permaisuri, ibu." Ankhamun tetap hormat pada kedua ibunya meskipun dalam suasana hati yang buruk.
Ahmanet langsung memeluknya setelah Ankhamun selesai mencium punggung tangan Zephyr.
"Ayahmu bilang kalau kamu terus menghindarinya setelah kembali dari Salem."
Ahmanet duduk di sebelah putera semata wayangnya. Sedangkan Zephyr memilih untuk duduk agak jauh dari mereka, membiarkan pasangan ibu dan anak itu saling menumpahkan isi hati.
"Dia berbohong padaku." Keluh Ankhamun manja sambil memeluk pinggang ibunya.
Ahmanet tersenyum melihat kelakuan manja Ankha, inikah calon Kaisar masa depan itu? Tapi Ahmanet selalu bahagia setiap kali puteranya bermanja-manja seperti ini. Dia selalu berharap Ankhamun tidak cepat besar, tapi waktu sungguh kejam padanya...
Selama ini Ahmanet sangat kasihan dengan pelatihan keras yang diberikan Jamal, di matanya Ankhamun masih anak bayi yang butuh kelembutan. Walaupun Jamal juga memberikan kasih sayang yang seimbang dengan pelatihan kerasnya. Tetap saja, ibu mana sih, yang tega melihat anaknya menderita? Apalagi dia adalah anak satu-satunya, putera yang dia lahirkan dengan susah payah.
Namun tanggungan yang akan dipikul oleh pundak Ankhamun sangat besar, Ahmanet selalu berusaha menerimanya dengan lapang.
Jika biasanya para permaisuri akan berlomba menjadikan anak mereka penerus tahta, itu tidak berlaku pada Zephyr dan Ahmanet.
Mereka malah saling ogah-ogahan menjadikan anak mereka penerus tahta, dan Zephyr menang.
Dia melahirkan dua puteri, sedangkan Ahmanet melahirkan seorang putera.
Ahmanet : "Dia ingin melatihmu sejak dini agar kamu dekat dengan rakyat, supaya suatu hari nanti kamu akan mendapatkan dukungan penuh dari mereka. Kehormatan yang ayahmu dapatkan juga karena sikap merakyatnya, Ankhamun. Bukan karena kebengisannya merebut wilayah dengan berperang."
Ankhamun termenung. Mungkin ayahnya adalah satu-satunya Kaisar yang tidak pernah memicu perang. Dia melebarkan daerah kekuasaannya dengan hal yang lebih manusiawi. Yaitu bisnis.
Dulu, kota-kota yang berada di Kadesh hanya sebuah desa miskin yang tidak terurus. Mereka tetap membayar pajak pada Zabbana setiap tahun, karena jarak yang sangat jauhlah yang membuat desa-desa itu tidak terurus dengan benar.
Tapi sejak Sultan Assad mengangkat ayahnya menjadi Kaisar, semuanya berubah. Ayahnya berhasil mengubah kemiskinan itu hanya dalam waktu dua puluh tahun masa pemerintahan.
Dan sekarang desa-desa itu berubah menjadi kota-kota besar yang lebih maju.
Terutama Salem, Salem adalah kota yang paling maju di antara yang lain. Bisnis di sana berkembang dengan sangat pesat, Kaisar rencananya akan menjadikan Salem sebagai ibu kota Kadesh.
Itulah mengapa Kaisar sangat melindungi Salem, dan kebetulan Panglima Bekra juga berasal dari kota itu.
Kadesh terkenal sebagai Kerajaan Emas. Sumber daya alam melimpah, wilayah Kadesh merupakan pulau-pulau yang dikelilingi oleh laut.
Ankhamun melamun, pikirannya bercabang ke mana-mana.
"Ibumu benar, Ankha. Dengan mendapatkan hati rakyat, kamu akan lebih dihormati, sering-seringlah tersenyum ramah pada mereka, tunjukkan kepedulianmu. Rakyat akan sangat senang, mereka akan menghargai kamu sebagai dirimu sendiri, sebagai Ankhamun Mena, bukan hanya karena kamu adalah anak Kaisar." Zephyr tersenyum hangat, dia meminun teh dengan anggun setelah mengucapkan itu.
Ankhamun tersenyum, dia mengangguk pada Zephyr.
"Aku akan mencobanya, ibu." Ankhamun menjawabnya dengan lemas.
"Tahtah, ceritakan padaku apa saja kejadian yang telah menimpa pangeran selama di Salem, kenapa dia jadi murung begini setelah kembali dari sana?." Zephyr bertanya pada Tahtah, lelaki itu menelan saliva dengan pahit.
"Emm... Pangeran.." Tahtah melirik dengan hati-hati pada Ankha, tapi lelaki itu masih diam seperti tidak mempedulikan pertanyaan Zephyr padanya. Apakah dia kasih tahu saja yang sebenarnya?
"Pangeran ditolak seorang gadis, yang Mulia." jawabnya dengan jujur.
Sebuah tawa keras membuat ke-empat manusia itu merinding, kemudian menoleh bersamaan ke sumber suara.
Kaisar Jamal, berdiri di sana dengan wajah gelinya. Masih belum berniat menghentikan tawanya juga.
Ankhamun mendengus kesal, dia semakin erat memeluk ibunya setelah melemparkan tatapan membunuh pada Tahtah. Tahtah membeku, dia merasa bersalah sudah menjawab seadanya..
Pangeran tidak akan membuangku ke kandang singa, kan?
"Apa kau bilang, Tahtah? Seorang gadis menolak puteraku?" gelak tawa itu semakin kencang terdengar, sedangkan Zephyr dan Ahmanet menatap Jamal dengan tatapan seolah siap menebas leher lelaki itu.
"Jadi itu rupanya, yang membuat Ankhamun-ku murung setelah kembali dari sana. Kupikir dia hanya kesal padaku karena aku sudah berbohong dan membuatnya terpaksa menggantikanku pergi ke Salem." Jamal ikut bergabung, dia membelai kepala Zephyr dengan sayang sebelum duduk.
"Aku tidak! Jangan dengarkan omong kosong Tahtah, itu tidak benar!" sanggahnya, Ankhamun bangkit dan duduk tegak dengan wajah suram yang berlipat ganda.
Seperti seorang kriminal yang sedang disidang oleh hakim, dia menatap horror pada ketiga orang tuanya itu. Untung saja kedua saudara perempuannya tidak ikut bergabung. Kalau tidak, runtuh sudah harga dirinya, pasti adik dan kakak perempuannya yang manis itu akan meledeknya habis-habisan seumur hidupnya.
"Kau masih di sana? Enyahlah sebelum aku berubah pikiran dan melemparmu ke kandang Joseph."
Tahtah merinding mendengar kekesalan Ankhamun, setelah memberi hormat pada Kaisar dan Permaisuri, dia langsung lari dengan terbirit-birit meninggalkan taman.
"Katakan, gadis bodoh mana yang sudah berani menolak puteraku ini?"
Ankha diam, apakah dia harus jujur?
Zephyr dan Ahmanet menatapnya penuh antusias. Ankhamun berdeham untuk menghilangkan gugup.
"Hanya gadis biasa. Aku juga tidak bersungguh-sungguh, hanya senang menggodanya saja." jawab Ankha sekenanya.
"Benarkah? Tapi kamu murung selama berhari-hari begini?" tanya Jamal penuh selidik, Ankhamun mengangguk satu kali.
Zephyr : "Siapa nama gadis itu? Aku penasaran, dia pasti bukan orang biasa karena sudah berani menolak putera mahkota."
"Ya, kak Zephyr benar. Aku juga penasaran, katakan siapa gadis itu, Ankha?" Ahmanet menimpali dengan wajah sedikit kesal.
"Dia memang sangat luar biasa. Dia menolakku dan mengatakan jika dia tidak tertarik dan sangat sangat tidak berminat untuk menjadi istriku."
Zephyr dan Ahmanet menganga mendengar jawaban Ankhamun. Sedangkan Jamal tidak bisa berkata-kata..
Dia memang gadis yang luar biasa angkuh dan sombong. Tuhan, Jangan sampai aku bertemu dengannya, karna kalau iya, hari itu akan menjadi hari terakhirnya berjalan di atas bumi.. Beraninya dia membuat puteraku merana seperti ini..... (Suara hati Jamal)
Melihat reaksi ke-tiga orang tuanya membuat Ankhamun meringis, apalagi melihat tatapan ayahnya. Sudah pasti gadis itu tidak akan baik-baik saja jika dia memberitahukan identitasnya.. Semoga ayahnya tidak berlebihan seperti apa yang sedang dia pikirkan sekarang..
"Ya Tuhan.. Aku tidak seserius itu, sudahlah, tidak usah dibahas. Dia tidak penting." jawab Ankha dengan malas sambil mengibaskan tangannya di udara
Hening untuk beberapa saat, Jamal memperhatikan puteranya dengan seksama.
"Kamu sudah mulai memiliki ketertarikan ke arah itu ya, kamu sudah dewasa. Kurasa sudah saatnya kamu menikah." Jamal mengusap dagunya saat bicara.
Menikah?
"Me...Menikah?" tanyanya gugup.
"Ya, kamu lebih baik segera memiliki istri sebelum melampiaskan rasa itu pada sembarang wanita.." jawab Jamal dengan santai
"Sebenarnya apa yang ada dipikiran ayah? Aku belum ingin menikah. Aku masih kecil."
Jamal terkekeh,
"Kamu melamar gadis itu untuk menikah, bukan? Apa kamu ingin dia menjadi istri pertamamu? Apakah seorang anak kecil bisa melakukan tindakan seperti itu?"
Apa juga maksudnya dengan pertama, memangnya Ankhamun akan memiliki istri berapa? Dia tidak mau memiliki istri lebih dari satu!
"Lupakan angan-anganmu untuk menikahi gadis lain, Ankhamun. Wanita yang akan menjadi permaisurimu adalah puteri ke sembilan panglima. Kalau perlu akan kupercepat pernikahan kalian.."
Ankhamun melongo mendengar jawaban ayahnya.
"Tapi..."
"Ini perintah. Pembicaraan selesai."
Bahkan ayahnya tidak ingin mendengar penolakan Ankhamun. Luar biasa....
Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya, kenapa ayah setega itu.....
🍀🍀🍀
Jamal dan Zephyr sudah meninggalkan mereka beberapa menit yang lalu, sekarang hanya tinggal mereka berdua.
"Kamu kan belum pernah bertemu dengan Nona Estheria, jangan terburu-buru dulu memutuskan untuk menolak perjodohan ini. Ayahmu juga tidak mungkin akan memberikan wanita yang gendut jelek dan burik untuk bersanding denganmu, sayang. Nona Estheria adalah gadis yang cantik dan berbakat, kamu pasti akan menyukainya." Ahmanet mengelus rambut Ankha saat mengatakan itu.
"Ibu.... Maaf.. Tinggalkan aku sendiri. Aku hanya ingin sendiri untuk saat ini..."
Ahmanet menatap putranya dengan cemas, apakah dia benar-benar menyukai gadis yang sudah menolaknya dengan kasar itu?
Setelah mencium kening Ankhamun, Ahmanet meninggalkannya sendiri.
Ya.... Biarkan dia memikirkan semua ini sendiri...
___
Sore ini Dyvette berjalan dengan gontai menyusuri sisi kolam renang sambil membawa satu buku favoritnya. Dress putihnya bergerak karena tertiup angin, dia bertelanjang kaki, suasana begitu sunyi sampai yang terdengar hanya suara angin dan gemericik gelang di kakinya.
Sejak Laila memarahinya hari itu, Dyvette menjadi lebih pendiam.
Itu pertama kalinya ia dimarahi dengan keras oleh Laila, tapi saat Dyvette bertanya alasan mengapa ibunya begitu membenci hal yang berkaitan dengan Kekaisaran, ibunya itu selalu enggan menjawab.
Dia hanya mengatakan, sebaiknya mereka menjauhi kemungkinan untuk bertemu dan berhubungan dengan anggota kerajaan.
Memangnya siapa yang ingin? Dan lagi, memangnya ibu pikir aku mau apa, dilamar oleh pangeran Ankhamun? Tidak sama sekali....
Dyvette terus menggerutu dalam hati, ibunya juga bilang kalau dia tidak akan membebaskan Lucas sebagai hukuman atas kesalahannya.
Kenapa harus disangkut pautkan dengan itu sih? Dyvette semakin keras menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang merajuk tidak dibelikan permen.
Vivian, dengan wajah cemas : "Nona.... Anda belum makan sejak pagi, makanlah sedikit saja, anda bisa sakit jika tidak memperhatikan pola makan anda dengan benar.."
Dyvette memutar bola matanya ke atas,
"Aku tidak lapar, nanti juga aku makan kalau lapar." jawabnya
"Nyonya akan memarahi saya jika tidak berhasil membuat anda makan, Nona." ucapnya dengan sangat hati-hati
"Peduli apa dia? Suruh dia bawa Lucas ke sini kalau dia ingin aku makan!"
Vivian bingung harus apa.. Ya Tuhan... Nona memang keras kepala...
"Biarkan saja, Vivian. Nanti kalau dia mati karna kelaparan, kita lempar mayatnya ke laut biar dimakan sama hiu.."
Dyvette menoleh, lihatlah ibunya, mengatakan kata sadis itu dengan tersenyum manis, sungguh terlalu.
"Ibu.... Apakah aku ini benar-benar anakmu? Kau kejam sekali. Kau sudah seperti ibu tiri sekarang..." Dyvette menekuk wajahnya
Laila malah terkekeh,
"Untuk menjadi seorang pengawal dia harus pintar bela diri, sayang. Lalu apa gunanya dia kalau dia tidak bisa melakukan apa-apa saat ada sesuatu yang terjadi padamu?"
Dyvette mencoba mencerna kata-kata ibunya.
"Aku tidak mengerti..."
"Ibu sudah membebaskan Lucas, sekarang dia berada di tempat pelatihan, nanti setelah dia benar-benar layak menjadi pengawalmu, baru akan ibu bawa ke sini..." jawabnya
"Benarkah?" mata Dyvette berbinar. Laila mengangguk.
Kini dia mengerti mengapa putrinya begitu peduli, Lucas memang pria yang malang, dia menjadi budak sejak masih kecil, dia adalah korban perdagangan manusia yang entah berasal dari negara mana. Laila sudah dua kali menemui Lucas di pusat pelatihan, setelah luka-luka cambuk di tubuhnya pulih, Lucas jadi lebih maksimal dalam latihannya. Lelaki itu sangat bersemangat, Laila senang melihat semangat membaranya.
Dan setelah dia berganti pakaian dengan yang lebih pantas, Laila menyadari bahwa ternyata Lucas sangat tampan, sangat berbeda dari sebelumnya yang lusuh dengan pakaian kotor. Betapa penampilan bisa merubah imej seseorang, itu benar.
Putrinya pasti akan pangling setelah bertemu dengan Lucas yang baru nanti. Laila jadi tidak sabar ingin segera melihat itu...
"Terimakasih bu, kamu yang terbaik." Dyvette memeluk Laila dengan erat. Laila tertawa melihat respon Dyvette.
"Apasih yang tidak untukmu? Nyawa ibupun akan ibu serahkan untuk menyenangkanmu." Laila mengelus punggung putrinya.. Ya.. Dia adalah putrinya...
"Siapa yang ingin nyawamu? Bagaimana aku bisa hidup tanpa ibu?" Dyvette jadi tersentuh. Laila tertawa.
"Sudahlah, kamu bisa tenang sekarang. Karena Lucas sudah hidup dengan lebih baik."
Dyvette mengangguk.
Dengan wajah ceria dia mengatakan, "Aku jadi lapar, ayo temani aku makan."