Chereads / I Love You CEO / Chapter 24 - Senyummu Memabukan

Chapter 24 - Senyummu Memabukan

"Mas minta maaf iya sayang.."

Suara bariton yang tidak asing bagi Kania mengalun lembut di gendang telinga Kania sehingga menyadarkan Kania dari apa yang sedang terjadi kepada dirinya dan sang suami saat ini. Sontak Kania mengurai dekapan dari sang suami yang kini masih mendekap dirinya dengan hangat.

Devan menautkan kedua alis melihat Kania telah mengurai dekapan dari dirinya. Tampak air muka canggung dari Kania setelah Kania dan Devan mengurai dekapan hangat mereka saat ini.

"Mas minta maaf iya Kania. Mas tidak ada niat melanggar perjanjian kita dengan menyentuh kamu. Mas refleks mendekap kamu karena mas merasa bersalah sama kamu, Kania," ucap Devan dengan tulus.

Kania menatap manik mata sang suami yang berwarna hitam dengan lekat. Kania dapat melihat di dalam pendar netra sang suami jika apa yang diucapkan oleh sang suami itu tulus dan tidak ada kebohongan dalam ucapan sang suami.

Kania masih diam seribu bahasa tanpa membalas apa yang diucapkan oleh sang suami. Dilema. Itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh Kania. Kania merasa bingung dengan apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Ya. Kania merasa di satu sisi jika sang suami telah melanggar perjanjian di antara mereka yang telah mereka buat sebelum menikah jika tidak boleh saling bersentuhan fisik selain mengecup telapak tangan. Di sisi lain Kania merasa dirinya bersalah karena status Kania dan Devan kini suami istri yang sah di mata hukum dan agama sehingga tidak ada yang salah dengan apa yang telah dilakukan oleh Devan kepada Kania yakni mendekap erat tubuh Kania.

"Tidak mas. Mas tidak salah kok sama Kania. Kania yang minta maaf sama mas belum bisa menjadi istri yang baik buat mas," balas Kania.

Devan mengulas senyuman manis kepada sang istri. "Tidak ada yang salah dengan kamu, Kania. By the way apa mas boleh bertanya satu hal sama kamu, Kania?"

Kania menautkan kedua alis mendengar ucapan dari sang suami. "Iya mas. Apa yang ingin mas tanyakan ke Kania?"

"Apa mas tidak salah mendengar kamu memanggil suami kamu yang tampan ini dengan mas? Apa kamu bisa kasih tahu alasan kamu kenapa kamu tiba-tiba manggil suami kamu ini dengan mas?" tanya Devan dengan menatap ke arah sang istri.

Bungkam. Kania bungkam setelah mendengarkan pertanyaan dari sang suami tentang kenapa Kania memanggil sang suami dengan mas. Kania sendiri tidak tahu hari menjawab apa pertanyaan sang suami kali ini. Kania juga tidak mengerti kenapa dirinya memanggil sang suami dengan panggilan mas saat terjadi keributan di kampus tadi.

Devan menatap ke arah sang istri yang masih diam seribu bahasa sambil menundukan kepala saat ini. Ya. Devan dapat memahami jika sang istri tidak dapat menjawab pertanyaan dari dirinya. Devan telah dapat menerka jika Kania memanggil dirinya dengan panggilan mas hanya reflkes atau ketidaksengajaan akibat keributan yang diciptakan oleh Devan di kampus hari ini. Namun satu hal yang janggal dalam benak Devan kali ini yaitu jika Kania hanya reflek memanggil Devan dengan panggilan mas di kampus, kenapa Kania memanggil sang suami dengan panggilan mas saat mereka ada di rumah.

"Tidak apa-apa jika kamu tidak dapat menjawab pertanyaan dari mas, Kania. Mas dapat memahami apa yang ada di dalam benak kamu saat ini," ucap Devan.

Deg..

Ada yang terasa nyeri dalam hati Kania mendengar apa yang diucapkan oleh sang suami saat ini. Ah.. Lebih tepatnya perasaan bersalah Kania kepada sang suami.

Baiklah.. Kania akan mencoba untuk membuka diri kepada sang suami. Walaupun hati Kania belum dapat menerima sang suami di dalamnya. Namun Kania akan mencoba membuka diri untuk menerima kehadiran sang suami saat ini. Kania juga tidak ingin berdosa kepada sang suami dengan apa yang telah dilakukan oleh Kania. Apalagi Kania pasti akan semakin berdosa jika belum dapat menerima sang suami dalam hidupnya. Dalam hidupnya. Bukan dalam hatinya.

Bukankah ridho istri ada pada sang suami yang kini telah menajdi imannya. Itulah yang kini ada dalam pikiran Kania saat ini. Mending ayah Kania juga selalu berpesan jika Kania menikah suatu saat nanti, Kania harus patuh dengan sang suami. Tapi patuh dalam hal positif, bukan dalam kemudharatan.

"Iya mas. Bukankah wajar jika seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan mas? Itu lebih luwes daripada Kania memanggil suami Kania dengan panggilan Pak Devan. Bukankah itu benar mas! Kania minta maaf jika Kania salah karena telah memanggil suami mas dengan panggilan mas tanpa meminta ijin kepada mas," balas Kania.

"Apa mas boleh menggenggam tangan kamu, Kania?" tanya Devan sebelum menjawab pertanyaan dari sang istri.

Anggukan kepala pelan menjawab pertanyaan dari sang suami. "Iya mas."

Devan menggenggam tangan sang istri dengan lembut. "Kamu tidak perlu minta ijin untuk manggil mas dengan panggilan mas. Kamu istri mas. Jadi kamu berhak atas apa yang mas miliki dan kamu inginkan dari mas selama itu hak positif. Mas bahgia Kania. Mas sangat bahagia saat mendengar kamu memanggil mas dengan panggilan mas itu Kania. Kebahagiaan mas kali ini tidak dapat mas ungkapan dengan kata-kata atau apapun itu Kania. Terima kasih iya istri aku." Devan mengecup punggung tangan sang istri dengan penuh rasa sayang.

"Iya mas. Kania yang seharusnya mengucapkan Terima kasih kepada mas karena mas telah banyak membantu Kania selama ini. Apalagi mas membantu biaya kuliah Kania. Itu tidak perlu mas Devan. Kania bisa membiayai kuliah Kania sendiri mas. Kania ingin kuliah sambil bekerja mas. Apa mas mengijinkan Kania bekerja?" sambung Kania.

Devan menatap dengan lekat manik mata hitam milik sang istri setelah mendengarkan apa yang diucapkan oleh sang istri. Ada perasaan kecewa dalam diri Devan mendengar permintaan sang istri yang ingin bekerja demi membiayai kuliah sang istri sendiri. Entah kenapa Devan tidak suka mendengarkan apa yang telah diucapkan oleh sang istri beberapa detik yang lalu.

Kania dapat merasakan air muka sang suami yang seketika berubah setelah mendengarkan apa yang diucapkan oleh dirinya itu. Kania merasa bersalah dengan apa yang diucapkan oleh dirinya. Tapi Kania tetap bersikukuh jika tidak ada yang salah dengan apa yang telah diucapkan oleh dirinya saat ini.

"Apa di mata kamu, mas semiskin itu Kania sehingga kamu berpikir mas tidak bisa membiayai kuliah kamu? Apa kamu pikir mas akan tega membiarkan istri mas banting tulang bekerja di luar, sedangkan harta yang mas miliki banyak? Bahkan untuk membiayai kamu kuliah S3 mas mampu Kania," tukas Devan dengan nada dingin.

Deg..

Ada yang terasa nyeri dalam hati Kania melihat sang suami yang berbicara kepada Kania dengan nada dingin tidak seperti beberapa saat yang lalu sebelum Kania meminta ijin untuk bekerja kepada sang suami.

Baiklah. Kania lebih baik mengalah kepada sang suami daripada harus berdebat yang pasti tidak baik buat kesehatan jantung dan hati Kania dan Devan nanti.

"Iya mas. Kania tahu harta mas banyak. Kania minta maaf jika apa yang telah Kania ucapkan meyakiti atau menyinggung hati mas. Kania tidak ada niat seperti itu mas. Kania hanya merasa tidak enak dengan mas. Tapi jika mas tidak mengijinkan Kania untuk bekerja, Kania tidak akan memaksakan diri untuk bekerja mas. Ra hek akan mengikuti apa yang diucapkan oleh sang suami. Bukankah ridho istri ada sama suami, mas?" ujar Kania.

Devan tersenyum dengan manis kepada sang istri. "Apa mas boleh memanggil kamu dengan panggilan sayang?"

Kania menautkan kedua alis. "Bukankah mas sudah memanggil Kania dengan panggilan sayang tadi? Bahkan mas tidak minta ijin terlebih dahulu kepada Kania bukan? Sama seperti apa yang Kania lakukan ke mas kan?"

Devan tertawa mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kania. "Iya Kania. Kamu benar sayang. Kita sama-sama salah disini. Baiklah. Mas tidak mengijinkan kamu bekerja iya sayang. Kamu itu istri mas sekarang dan selamanya. Kamu tanggung jawab mas, sayang."

"Iya mas. Terima kasih mas. Kania minta tolong tegur Kania jika Kania melakukan kesalahan atau mas tidak suka dengan ucapan dan sikap Kania kepada mas," sambung Kania.

"Iya sayang. Kita akan sama-sama saking mengingatkan iya sayang. Terima kasih iya sayang," tukas Devan sembari mengecup punggung tangan Kania.

Kania tersenyum menatap ke arah sang suami. Senyuman Kania dibalas oleh Devan dengan senyuman yang tidak kalah manis dari sang istri yang dapat mengganggu kesehatan jantung dan hati sang istri.

'Bisa tidak sih senyumnya jangan manis seperti itu,'