Kania menautkan alis melihat sosok yang kini berada di hadapan dirinya dan menghadang langkah kakinya menuju ke kelas. Sementara itu, laki-laki bernama Bagas yang sedang menghadang Kania tersenyum smirk ke arah Kania. Kania yang menyadari arti senyuman dari Bagas memasang sikap waspada dengan apa yang akan dilakukan oleh Bagas kepada dirinya saat ini. Ada rasa takut dalam diri Kania pagi ini mengingat Kania bersikap tidak baik kepada Bagas tempo hari itu.
"Kamu ikut aku sekarang!" ucap Bagas dengan nada tinggi sembari mencengkeram tangan Kania.
"Lepaskan! Aku tidak mau ikut dengan kamu." Kania melakukan pemberontakan melawan laki-laki yang bernama Bagas itu.
"Ikut atau aku akan menampar kamu!" sambung Bagas.
"Lepaskan!" Kania menghempaskan tangan Bagas yang berada di lengan tangannya, namun tidak berhasil karena tenang Bagas lebih besar daripada tenaga yang dimiliki oleh Kania.
Kania menatap ke arah Bagas dengan tatapan penuh kebencian. Bagas tidak mempedulikan tatapan dari Kania dan terus menyeret Kania dengan paksa menuju ke sebuah gedung kosong yang berada di samping Fakultas Seni dan budaya dalam kampus dimana tempat Kania menuntut ilmu.
"Lepaskan wanita itu Bagas!"
Langkah kaki Bagas terhenti saat mendengar suara baritin yang tidak asing di indera pendengaran Bagas. Bagas memutar tubuh menoleh ke arah sumber suara di mana telah berdiri sosok laki-laki tampan dengan tinggi menjulang di hadapan Kania dan Bagas saat ini. Bagas melepaskan tangan Kania lalu menghampiri sosok laki-laki itu dengan tatapan membunuh.
Kania meninggalkan mereka berdua setelah mendapatkan isyarat dari laki-laki yang menjadi dewasa penolong bagi Kania saat ini.
Huh..
Hah..
Huh..
Hah..
Kania berusaha mengatur pernafasan setelah berhasil melarikan diri dari Bagas dengan bantuan sosok laki-laki yang tidak Kania ketahui namanya itu. Siapapun laki-laki yang telah menolong dirinya pagi ini Kania akan mengucapkan terima kasih jika mereka bertemu suatu saat nanti. Kania akan mendoakan sosok laki-laki baik yang telah menolong dirinya dari laki-laki iblis yang bernama Bagas itu.
"Kenapa kamu, Kania?" tanya Amanda salah satu teman satu kelas Kania.
Huh..
Kania kembali menghembuskan nafas lalu menarik nafas dan menghembuskan kembali dengan perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari teman satu kelasnya yang kini telah berdiri di hadapan dirinya.
"Aku tidak apa-apa kok Amanda. Aku habis lari-lari takut terlambat masuk kelas Amanda. Kamu tahun kan pagi ini jam kuliah pertama dosen killer Amanda. Jadi aku tidak boleh datang terlambat Amanda," alibi Kania.
"Iya Kania. Benar juga kamu. Ayo.. Kita masuk kelas sebelum terlambat." Amanda dengan sangat mudah percaya dengan alasan yang diberikan oleh Kania.
Kania dan Amanda melangkahkan kaki bersama menuju ke kelas mereka sembari berbincang santai di sepanjang jalan. Tawa dan canda tampak kentara di wajah cantik Kania dan Amanda saat ini.
Kania dan Amanda kini telah berada di dalam kelas dan duduk dengan bersebelahan di bangku depan. Beruntung dosen killer pagi ini belum masuk ke dalam kelas Kania dan Amanda sehingga Kania dan Amanda merasa aman karena tidak terlambat masuk kelas pagi ini. Kania dan Amanda saling menatap lalu mengucapkan rasa syukur pagi ini.
***
Devan sedang memeriksa berkas pekerjaan terkesiap saat melihat Tio masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seperti biasanya. Devan menautkan kedua alis melihat sahabat baiknya itu masuk dengan nafas terengah-engah saat ini. Banyak tanya dalam pikiran Devan tentang sahabat baiknya yang tampak sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja saat ini. Apalagi tidak seperti biasanya Tio yang memiliki perusahaan sendiri dengan pekerjaan yang sangat sibuk menyempatkan diri datang ke perusahaan milik Devan sehingga Devan merasa ada sesuatu hal penting yang dibawa oleh Tio saat ini.
"Kenapa kamu, Tio?" tanya Devan dengan memicingkan mata.
"Gawat Nat. Gawat," jawab TioTio dengan nada panik.
Devan kembali menautkan kedua alis masih belum dapat mencerna apa yang dimaksud oleh Tio, sahabat baiknya itu.
"Apa yang gawat Tio? Kalau ngomong yang jelas Tio," sambung Devan dengan masa tinggi.
"Ini istri kamu bukan Devan?" tanya Tio sembari menunjukan sebuah foto dalam layar ponselnya.
Devan menatap ke layar ponsel Adi lalu mengerjakan giginya saat melihat sang istri sedang diseret oleh seorang laki-laki muda di kampus. Tanpa berbicara satu patah katapun, Devan mengambil kunciibil dan ponsel yang berada di atas meja kerjanya lalu pergi meninggalkan Tio yang masih berada di dalam ruangannya dengan kemarahan yang menyelimuti dalam diri Devan saat ini.
Tio tercengang melihat sikap sahabat baiknya itu lantas keluar meninggalkan ruangan Devan dengan langkah seribu menyusul sahabat baiknya itu yang telah berada di depan tabung kapsul khusus pemilik dan pimpinan perusaahn itu. Tio memutuskan untuk ikut bersama dengan Devan yang diyakini oleh Tio jika Devan akan datang ke kampus dimana sang istri sedang menempuh pendidikan saat ini. Tio tidak peduli dengan larangan dari Devan.
Tio memutuskan untuk mengendarai mobilnya mengikuti Devan yang sedang mengendarai mobil dengan kecepatan penuh di jalanan ibu kota yang tampak lengang siang ini. Tio terus mengikuti mobil yang dikemudikan dengan kecepatan penuh oleh Devan saat ini. Tio tidak ingin kehilangan jejak Devan karena Tio sangat mengetahui bagaimana sifat Devan saat sedang dilanda emosi seperti saat ini. Devan akan melakukan hal nekat dan di luar nalar kepada orang yang telah menyakiti orang yang berada di sekitar Devan atau dekat dengan Devan. Apalagi orang itu saat ini telah berbuat kasar kepada Kania wanita yang telah menjadi istri sah sahabat baiknya itu. Devan pasti akan melakukan hal di luar kendali nanti.
Tio tidak ingin terjadi sesuatu dengan sahabat baiknya itu sehingga memutuskan untuk tetap mengikuti Devan dan meninggalkan pekerjaan di kantornya sendiri saat ini.
"Brengsek!"