Devan mengantarkan Kania menuju ke kampus di mana kampus dan kantor Devan satu arah sehingga Devan tidak harus memutar balik arah setelah mengantarkan sang istri ke kampus. Keheningan kembali merajai sepanjang perjalanan pagi ini.
Kania mengecup punggung tangan sang suami dengan takdzim sebelum turun dari mobil mercy mewah milik sang suami. Devan mengecup kening Kania yang seketika membuat tubuh Kania membeku saat bibir Devan menempel dengan sempurna di kening Kania pagi ini. Devan tersenyum setelah mengecup kening sang istri lalu mengambil satu bingkisan yang berada di samping dirinya itu.
"Ini untuk kamu, Kania," ucap Devan sembari mengulurkan sebuah kotak berwarna putih dengan gambar buah apel digigit itu.
Kania menautkan kedua alis. "Ini terlalu mahal buat Kania, Pak Devan. Kania tidak pantas menerima ini Pak Devan."
"Kamu pantas menerima ini Kania. Kamu istri saya sekarang. Kamu tanggung jawab saya sekarang. Kebahagiaan hidup kamu tanggung jawab saya sekarang. Kamu terima ini iya Kania. Ini bisa buat kita komunikasi dan membantu kamu kuliah. Nanti pulang kuliah kita akan ke mall untuk mencari laptop buat kamu. Saya ingin membeli sendiri itu buat kamu, Kania. Tapi saya pikir lebih baik kamu memilih sendiri nanti iya Kania. Ponsel itu kontak hanya berisi nomor keluarga kita saja Kania. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi kontak yang ada di dalam ponsel kamu iya Kania. Satu pesan saya Kania. Kuliah yang rajin iya Kania. Kamu buktikan kepada mama dan ayah tiri kamu jika kamu bisa sukses dengan usaha kamu sendiri. Saya sebagai suami kamu hanya bisa mendukung dan memfasilitasi keperluan hidup dan kuliah kamu. Kamu jangan pernah berpikir balas budi atau apa iya Kania. Saya ikhlas memberikan ini dan membantu kamu. Di luar posisi saya yang menjadi suami kamu sekarang," balas Devan mencoba memberi pengertian kepada Kania, wanita yang kini telah menjadi istrinya itu.
Kania diam seribu bahasa mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh sang suami sembari memegang ponsel pemberian dari sang suami. Kania merasa tidak enak hati kepada laki-laki tampan yang telah baik dan banyak membantunya sejak kecelakaan yang tidak sengaja dilakukan oleh laki-laki yang kini sedang menatap ke arah dirinya itu. Kaki Kania juga telah sembuh dan dapat berjalan dengan sempurna kembali seperti sedia kala. Kania seharusnya meninggalkan apartemen dan kehiupan laki-laki ini setelah kakinya sembuh. Namun kenyataan dan takdir berkata lain kepada dirinya. Takdir memihak Kania dan Devan untuk bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan sah dan resmi dimata hukum dan negara. Bukan sekedar pernikahan kontrak seperti apa yang selama ini Kania baca dalam novel-novel romance itu. Devan tidak suka mempermainkan sebuah pernikahan karena pernikahan itu berhubungan dengan janji suci kepada Tuhan.
"Saya tidak dapat menggunakannya Pak Devan," sambung Kania dengan polos.
Devan mengulas senyuman mendengar ucapan polos dari sang istri. Ya. Devan cukup mengenal pribadi sang istri walaupun Devan dan Kania belum lama saling mengenal. Kania gadis sederhana dari kampung dengan segala kepolosan dan kesopanan yang dimiliki olehnya sehingga Devan dapat memahami jika dang istri benar-benar tidak dapat menggunakan ponsel canggih keluaran terbaru itu.
Devan dengan sabar mengajarkan kepada Kania cara menggunakan ponsel canggih itu dengan posisi masih berada di dalam mobil. Kania yang memiliki kecerdasan lebih seketika dapat memahami apa yang dijelaskan oleh sang suami. Devan meminta Kania mencoba apa yang dijelaskan oleh dirinya dan Devan seketika merasa takjub saat melihat Kania dapat menggunakan ponsel itu dengan satu kali penjelasan dari dirinya.
"Saya kuliah dulu iya Pak Devan. Saya akan selalu mengingat pesan dari Pak Devan. Pak Devan hati-hati iya di jalan ke kantor nanti. Terima kasih untuk ponselnya Pak Devan. Saya akan menggunakan ponsel ini dengan baik Pak Devan. Assalamu'alaikum." Kania keluar dari mobil Devan setelah beroamitan dengan sang suami dan sang suami telah menjawab ucapannya itu.
Devan memutar kemudi mobil meninggalkan kampus tempat sang istri menempuh pendidikan setelah memastikan sang istri masuk ke dalam kampus dengan aman. Devan mengemudikan mobil menuju ke kantor dengan kecepatan sedang menembus jalanan ibu kota yang cukup padat pagi ini. Namun Devan merasa bisa saja dan tidak emosi seperti biasanya. Aroma tubuh sang istri yang tertinggal di dalam mobil nyatanya mampu menenangkan hati Devan sehingga Devan tidak emosi menghadapi kemacetan ibu kota yang menjadi makanan sehari-hari bagi para pengguna jalan itu.
***
Kania menjalani kuliah dengan perasaan bahagia sehingga tanpa terasa mata kuliah yang dijalani oleh Kania telah selesai hari ini. Kania memutuskan menunggu sang suami di kantin sembari memesan minuman karena Kania merasa haus siang ini. Matahari yang cukup menyengat membuat Kania lebih sering merasa hais. Bahkan bekal dan minuman yang dibawa oleh Kania telah habis hari ini sehingga Kania memutuskan untuk membeli minuman dingin di kampus sebelum sang suami datang menjemput dirinya siang ini.
"Kamu yang kemarin menabrak aku kan iya," ucap seorang laki-laki yang kini sedang berdiri di samping Kania.
Kania tercengang mendengar suara bariton yang masih asing di gendang telinganya saat ini. Beruntung Kania yang sedang meneguk minumannya tidak tersedak setelah mendengarkan suara bariton laki-laki ading yang kini telah duduk di samping dirinya tanka ada sopan santun sama sekali karena tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Kania sebelum duduk di samping dirinya itu.
Kania yang merasa kesal dengan sikap seenaknya laki-laki asing yang duduk di samping dirinya itu hendak bangkit dari duduknya, namun laki-laki asing itu mencekal lengan Kania sehingga Kania kembali duduk di tempatnya saat ini. Mata menyalanh Kania tujukan kepada laki-laki asing itu.
"Kamu mau kemana?" tanya laki-laki itu.
"Aku mau kemana itu bukan urusan kamu," jawab Kania dengan nada tinggi.
"Berani iya kamu bicara dengan nada tinggi ke aku? Kamu belum minta maaf atas apa yang kamu lakukan ke aku kemarin? Kamu kan yang menabrak aku kemarin?" sambung laki-laki asing itu.
Kania berdecih. "Saya yang salah?" Rahel dengan sengaja menunjuk ke arah dirinya dengan menggunakan jari telunjuknya dan menjeda ucapannya untuk melihat ekpresi dari laki-laki basing itu. "Apa tidak salah kamu menunjuk orang lain yang salah? Kamu yang salah jalan main ponsel kenapa aku yang disalahin? Tolong katakan dimana letak kesalahan aku sehingga aku harus minta maaf kepada kamu? Hah?" tatapan menyalang masih Kania tujukan kepada laki-laki asing itu.
"Kamu minta maaf atau –" Laki-laki basing itu tidak melanjutkan ucapannya karena dipotong oleh Kania.
"Atau apa? Kamu mau nampar saya iya? Hah? Kamu laki-laki atau bukan? Kalau kamu laki-laki kamu tidak akan main kasar dengan wanita. Sebelum kamu main kasar dengan seorang wanita, ingat ibu kamu yang telah melahirkan kamu. Ingat juga kakak atau adik kamu jika nanti akan dikasari oleh laki-laki akibat sikap kamu yang suka main kasar sama wanita." Kania langsung meninggalkan laki-laki asing itu setelah ponsel dalam tasnya berdering yang diyakini oleh Kania jika sang suami telah menjemput dirinya saat ini.
Sementara itu suasana di kantin menjadi riuh setelah Kania dengan berani melawan mahasiswa yang terkenal bad boy bernama Bagas itu.. Semua orang yang sedang berada di kantin dan melihat apa yang dilakukan oleh Kania kepada Bagas beberapa saat yang lalu berdecak kagum dengan wanita pemberani itu.
Bagas yang sedang merasa kesal dan geram dengan sikap wanita itu menatap dengan tatapan menghunus tajam ke arah Kania yang sedang berjalan menuju ke pintu gerbang kampus.
"Tunggu pembalasanku!"